eQuator.co.id – UTANG jatuh tempo yang harus dibayar pemerintah pada tahun ini mencapai Rp 400 triliun. Meski angka tersebut fantastis, pemerintah optimistis mampu membayar utang.
Apalagi, lembaga pemeringkat kredit Moody’s, kemudian Fitch, JCRA serta R dan I, telah menaikkan peringkat utang Indonesia. Bahkan lembaga pemeringkat kredit Moody’s, belum lama ini menaikan peringkat utang menjadi Baa2 dengan outlook stabil. Dari sebelumnya Baa3 dengan outlook positif.
Adapun jumlah utang Pemerintah perakhir Febuari 2018 mencapai Rp 4.034,8 triliun, atau sebanyak 29,24 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan utang luar negeri swasta, berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia, perakhir Januari lalu, mencapai Rp 2.351,7 triliun.
“Itu (pembayaran utang) sudah dijadwalkan. Ada di APBN kok. Nggak ada masalah. Bayarnya tidak ada masalah kok,” ujar Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman kepada INDOPOS (Jawa Pos Group), Selasa (15/5).
Saat ditanyakan dari mana dana untuk membayar utang? Luky menegaskan dari penerimaan negara.
“Tiap bulan kita terima dari pajak,” ujarnya.
Hingga saat ini, penerimaan pajak untuk sementara sudah mencapai Rp 416,9 triliun. Atau 25,8 persen lebih tinggi dibanding tahun lalu.
Sebelumnya, saat berdialog dengan para wartawan di kantor Kemenkeu, Luky mengatakan, profil pemberi utang bukan spekulan. Yang sebentar-sebentar suka berspekulasi. Beli atau jual surat berharga.
“Surat Berharga Negara (SBN) domestik yang dimiliki pihak asing adalah SBN dengan tenor panjang. Atau investor jangka panjang, Bank Sentral, dan Dana Pensiun,” jelasnya.
Investor asing yang dominan yaitu lembaga keuangan, reksadana, dan Bank Sentral serta pemerintah negara asing. “Juga real money investor,” imbuhnya. Adapun kepemilikan SBN domestik oleh investor asing perakhir Maret 2018 mencapai 39,3 persen.
Lebih lanjut Luky mengatakan, ketika melakukan utang itu sudah terencana. Berapa jumlahnya ada di APBN.
“Bukan berarti kita butuh bulan Januari, bisa langsung ambil,” terangnya.
Terkait utang, dia mengakui banyak pertanyaan apakah Indonesia mampu bayar dengan angka yang fantastis itu. Dia pun menjabarkan, ibarat orang ke bank mau pinjam uang, bank tentu memiliki pertimbangan apakah debitur sanggup bayar atau tidak.
“Kalau mampu, ya bank pasti kasih dong kredit. Jadi ukuran mampu bayar itu bisa dilihat dari seberapa besar pemasukan debitur. Itu sama saja, berlaku untuk utang negara. Kalau nggak sanggup bayar, tidak akan diberi utang dong,” bebernya.
Dia juga menjabarkan, bahwa utang tersebut dipakai untuk belanja infrastruktur. “Kita berutang untuk mendukung kegiatan yang produktif. Utang dalam bentuk dollar tidak masalah. Kita juga punya penerimaan dalam bentuk dollar dari migas,” jelasnya.
Dia juga menambahkan, pemerintah selalu menjaga level defisit dan level utang tetap terarah dan terukur. Sesuai ketentuan Undang-Undang nomor 17 tahun 2003, tentang Keuangan Negara level defisit APBN ditetapkan maksimum 3 persen terhadap PDB. Sedangkan rasio utang terhadap PDB tidak boleh melewati 60 persen. Saat ini rasio utang terhadap PDB sekitar 29,2 persen.
“Langkah konsisten dan hati-hati dari pemerintah telah membuat kepercayaan yang makin kuat terhadap APBN dan perekonomian kita. Hal ini juga dikonfirmasi oleh peringkat investasi dari lima lembaga pemeringkat dunia, S dan P, Moodys, Fitch, JCR serta R dan I. Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang memiliki undang-undang yang menjaga disiplin APBN (fiscal responsibility rules) dan konsisten menjalankannya,” beber Luky.
Adapun defisit APBN 2018 yang besarnya Rp 325,9 triliun (2,19 persen dari PDB) dan juga pembiayaan utang yang besarnya Rp 399,2 triliun, menurun jika dibandingkan dengan realisasi APBNP 2017. “Yang defisitnya sebesar Rp 338,1 triliun atau 2,49 persen dari PDB. Dan pembiayaan utangnya sebesar Rp 426,1 triliun,” pungkasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pemerintah terus mempersiapkan berbagai alternatif sumber pembiayaan utang. Seperti penerbitan Surat Berharga Negara (SUN) yang tidak harus selalu melalui market.
“Kita juga bisa melakukan pinjaman program yang bersumber dari development parnert. Termasuk dari bilateral dan multilateral yang saat ini terdapat potensi USD 1,3 miliar dan 850 juta euro,” ungkapnya soal sumber dana alternatif yang dimiliki pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga bisa menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) valas, Samurai Bond, yang saat ini mencapai JPY 150 miliar. Pemerintah juga telah melakukan mekanisme penerbitan SBN valas yang mampu digunakan setiap saat.
“Kita juga ada BLU, yang dapat menyerap surat berharga negara yang mencapai Rp 12 trilun,” jelasnya. Dan pemerintah juga telah menyiagakan Bond Stabilization Framework di dalam menjaga perekonomian Indonesia.
Selain itu, sambung dia, ada juga pinjaman yang akan bisa ditarik pada semester pertama. Juga menerbitkan SBN valas, yang memilik stabilitas dari sisi market yang lebih bisa diprediksi.
“Kita juga menggunakan BLU yang sekarang ini memiliki jumlah stok sampai Rp 12 triliun untuk menjadi standby buyer,” bebernya.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE) Indonesia Pieter Abdullah mengatakan, utang itu sudah ada dalam jadwal pembayaran. Pemerintah, lanjutnya, sangat sanggup untuk melakukan pembayaran bunga utang dan pokok.
Sebab, hal itu sudah ada dalam nota keuangan. “Jadi saya tidak termasuk mereka yang mengkritisi utang pemerintah. Utang pemerintah sangat lazim di semua negara,” tegas Pieter.
Namun, menurutnya, utang luar negeri memang perlu dikritisi. Sebab, membayarnya pakai dollar.
“Kemampuannya tidak cukup besar. Walaupun devisa ada dari kegiatan ekspor impor. Utang luar negeri kita tidak cukup baik, mencapai 29 persen. Beda dengan Jepang dan Malaysia yang hanya 5 persen. Terlebihnya utang domestik. Ngaturnya gampang,” jelas Pieter.
Kalau utang luar negeri, dikatakannya, ada tekanan nilai tukar. Utang kita sehat, Pieter sependapat dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
“Namun dari total utang seperempatnya tidak domestik, melainkan dari asing. Penilaian semua negara, kita memang mampu bayar,” ujarnya.
Tetapi, sambungnya, yang sehat itu jangan banyak utang luar negeri. ”Harusnya utang dalam negeri, supaya ngaturnya gampang,” jelas Pieter.
Menurutnya, pembayaran utang akan membuat tekanan pada nilai tukar. Belum lagi jatuh tempo utang swasta.
“Jatuh tempo akan berpengaruh,” tambah Pieter. Saat ini menurutnya, Indonesia memiliki cadangan devisa sekitar USD 130 miliar. (INDOPOS/JPG)