Saya lagi di Nha Trang saat berita ini muncul: neraca perdagangan Indonesia defisit lagi. Bahkan mencapai rekor baru lagi. Yang terparah lagi. Rekor baru itu: defisit 2,5 miliar dolar. Untuk satu bulan April 2019.
Alasan resminya: impor BBM masih besar. Padahal impor BBM itu sudah turun sedikit dibanding bulan Maret. Padahal, impor non-migas juga sudah dibuat turun. Dengan dua usaha itu mestinya defisit teratasi.
Tapi tidak.
Kunci jalan keluarnya memang hanya dua. Yang terpenting: mengurangi impor BBM dan menaikkan ekspor.
Usaha lain-lain bisa tapi tidak terlalu menentukan.
Tapi mungkinkah kita menurunkan impor BBM?
Mungkin, asal produksi minyak kita naik. Atau mobil listrik menjadi kenyataan.
Sayangnya, dua-duanya tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat.
Untuk meningkatkan produksi minyak perlu waktu bertahun-tahun. Sudah 15 tahun produksi kita turun terus. Di zaman pemerintahan lama maupun lima tahun pemerintahan sekarang.
Merealisasikan mobil listrik juga perlu waktu. Setidaknya dua tahun. Itu pun kalau sungguh-sungguh.
Berarti mengharap turunnya impor BBM tidak realistis. Bagaimana dengan B-20 maupun B-50 atau bahkan B-100?
Tentu membantu. Tapi tidak banyak. Untuk B-20 memang sudah bisa jalan. Pemerintah sudah cukup tegas. Penyedia BBM harus patuh. Bagi yang tidak mau mencampur 20 persen minyak sawit dikenakan penalti.
Itu sudah berlaku sejak tahun lalu. Nyatanya impor BBM masih meningkat.
Untuk meningkatkan lagi menjadi Biofuel 50 apalagi 100 masih perlu proses panjang.
Kondisi impor BBM itu kian sulit kalau harga minyak internasional naik. Dan sekarang sudah naik. Sudah di atas 70 dolar/barel.
Itu akibat ketegangan di selat Hormuz. Ketika Amerika sudah siap menyerang Iran.
Tidak menyerang pun harga minyak mentah sudah tinggi. Sejak bulan lalu. Sejak Amerika mencabut pengecualian pada lima negara: India, Taiwan/Tiongkok, Turki dan Pakistan.
Selama ini dunia dilarang membeli minyak dari Iran. Kecuali lima negara itu. Kini mereka pun sudah dilarang.
Bagaimana dengan peningkatan ekspor?
Ada dua kendala pokok. Pertama, permintaan komoditi Indonesia menurun. Sawit dan karet. Akibat melemahnya ekonomi dunia.
Setelah Amerika menyerang ekonomi Tiongkok.
Kedua, industri kita belum bangkit lagi dari masa deindustrialisasi. Tidak terlihat program sungguh-sungguh untuk melawan deindustrialisasi. Yang terus dikampanyekan adalah industri 4.0.
Kesimpulannya: ekonomi kita menghadapi pilihan-pilihan yang kurang baik.
Hanya kerja keras –ekstra keras– pemerintah yang bisa mengatasi itu.
Apakah pemerintah yang akan datang (siapa pun) bisa kerja lebih keras?
Itu tergantung dari dagang sapi di saat pembentukan kabinet nanti.
Apakah situasi sulit akibat perang dagang bisa diatasi Indonesia?
Harusnya bisa. Bangsa kita lebih besar dari Vietnam, Kamboja, Laos, Thailand, Malaysia dan Singapura dijadikan satu.
Vietnam bisa surplus. Neraca perdagangan Vietnam surplus 2 miliar dolar tahun lalu. Pertumbuhan ekonominya 7 persen. Bahkan di kwartal pertama tahun ini 7,1 persen.
Perang dagang itu memang parah. Tapi tetap ada yang bisa memanfaatkannya.
Ekspor Vietnam naik 28 persen. Investasi yang masuk naik hampir 10 persen. Sudah lebih satu minggu saya di Vietnam. Dari satu daerah ke daerah lain. Sudah enam daerah saya jelajah. Secara umum, Vietnam masih jauh ketinggalan dari kita. Masih seperti Indonesia di tahun 1990-an. Tapi berubahannya memang sangat cepat.
Kamboja juga tumbuh sangat cepat. Meski keadaannya masih seperti Indonesia tahun 1980-an. Saya alami jalan-jalan di Phnom Pehn sangat padat. Mobil-mobil umumnya relatif baru. Tidak terlihat mobil jelek apalagi reot. Kelas mobilnya juga menengah ke atas.
Saya tidak melihat satu pun mobil kelas Avansa atau Xenia. Kelihatannya paling rendah cc 1500. Begitu dominan Lexus di Phnom Pehn.
Vietnam dan Kamboja tampaknya yang paling bisa menarik keuntungan dari perang dagang ini. Malaysia juga, sedikit. Ekonomi Malaysia mulai tumbuh lagi. Sudah merangkak kembali ke 4,5 persen. Di kwartal pertama tahun ini.
Apa salahnya defisit?
Defisit tidak salah. Yang salah adalah yang membaca defisit itu. Begitu terbaca defisit mata uang rupiah anjlok.
Soalnya mereka tidak hanya membaca defisit. Mereka membaca yang terjadi di balik defisit. (Dahlan Iskan)