eQuator.co.id – TIDAK ada salaman antarcalon presiden itu. Mungkin karena Covid-19. Tapi juga tidak ada tegur sapa. Padahal Covid-19 tidak melarang untuk sekadar saling memberi body language.
Itulah suasana debat calon presiden Amerika Serikat kemarin malam.
Sewaktu mereka berdua dipersilakan naik panggung mereka langsung menuju podium masing-masing. Capres Joe Biden seperti ingin memberikan tegur sapa lewat gerak tubuhnya tapi tidak jadi. Biden melihat Capres Donald Trump tapi lawannya itu lagi tidak melihatnya.
Chris Wallace, anchor Fox News TV, sangat baik memerankan diri menjadi moderator. Tapi beberapa kali kewalahan menghentikan cerocosan kata-kata Trump. Chris juga beberapa kali mengingatkan Trump yang hampir selalu menyerobot dan memotong kata-kata Biden.
Debat ini seperti menampilkan dua kepribadian. Trump adalah pribadi yang agresif, dominan, dan menekan. Biden adalah pribadi yang kalem, elegan dan bersuara lirih.
Secara fisik Trump kelihatan lebih dinamis dan energetik. Biden kelihatan tuanya dan sedikit mengalah.
Dari segi wajah, Trump kelihatan pemberang. Wajahnya seperti hampir selalu sedang emosi. Biden, wajahnya teduh dan lebih banyak tersenyum kecil.
Siapa yang menang?
Bagi yang suka agresif Trump lah yang menang. Tapi yang suka kalem dan elegan Biden yang menang.
Dua-duanya berhasil memojokkan lawan. Biden memojokkan Trump di bidang pajak. Trump memojokkan Biden di banyaknya kerusuhan.
Biden selalu menyebut Trump sebagai pembohong. Terus menerus. Trump menyebut Biden sebagai kelompok kiri radikal. Yang rusuh.
Moderator terlihat sangat independen dan berani. Moderator berhasil mendesakkan pertanyaan ke capres ketika jawaban mereka agak mbulet. Misalnya soal pajak. Pertanyaan pada Trump adalah: benarkah ia hanya membayar pajak USD 750 ke pemerintahan federal di tahun 2016 dan 2017.
Jawaban Trump: ia membayar pajak jutaan dolar. Masih panjang lagi jawaban Trump yang cenderung muter-muter. “Saya tahu semua itu. Tapi minta dijawab: benarkah hanya membayar pajak federal USD 750,” ujar Chris.
“Saya membayar jutaan dolar,” jawab Trump. “Itu yang ke federal?” tanya Chris lagi. “Ya, jutaan dolar,” jawab Trump.
Tentu ini akan menjadi isu besar di hari-hari setelah debat. Trump bohong besar. Atau ia benar.
Biden menimpali bahwa ia tidak percaya itu semua sampai Trump membuka ke publik laporan pajaknya. Biden sudah membuka laporan pajaknya, tapi Trump tetap belum mau. Pun saat Pemilu yang lalu.
Chris mengajukan pertanyaan yang menyulitkan Biden soal banyak kerusuhan di kota-kota yang dikuasai Demokrat. Pertanyaan Chris: apakah Anda secara pribadi pernah menghubungi wali kota Portland dan gubernur Oregon untuk mengakhiri kerusuhan yang sudah lebih 100 hari di sana?
Jawaban Biden agak mbulet. Biden mengatakan bahwa ia itu warga negara biasa. Bekas wakil presiden. Maksudnya: tidak punya kewenangan untuk itu. Tapi Chris mendesaknya: apakah secara pribadi pernah minta wali kota dan gubernur setempat untuk menghentikan kerusuhan itu?
Debat 1,5 jam di Cleaveland itu dilakukan di auditorium universitas di sana. Yang menjadi hadirinnya terbatas. Yang dibahas soal ekonomi, lapangan kerja, perubahan iklim, pajak, dan pemungutan suara lewat pos. Tapi melebarnya sampai ke mana-mana. Trump menyerang anak Biden yang ia katakan menerima uang puluhan juta dolar dari Tiongkok, Rusia, dan Ukraina. Biden kelihatan defensif di sini. “Tidak benar. Tidak benar,” kata Biden terus menerus, menyela tuduhan Trump.
Bukan hanya pajak 750 dolar yang terkonfirmasi di debat ini. Juga soal transisi pemerintahan. Chris berhasil menggiring Trump untuk konfirmasi: bahwa kalau pemilunya curang ia tidak bisa menerima kekalahan.
Trump pun menunjukkan fakta-fakta versi dirinya. Soal surat suara yang masuk kotak sampah itu misalnya (Disway edisi 28 September).
Bahkan Trump mengungkap kejadian terbaru. Yang terjadi beberapa saat sebelum debat. Katanya: di Pennsylvania saksi dari Partai Republik tidak diizinkan menyaksikan penghitungan suara.
Tentu Biden tidak bisa memberikan komentar. Kejadiannya baru hari itu. Tapi media di Amerika cepat mencari fakta di lapangan.
Ternyata duduk persoalannya begini: ada seorang ibu datang ke tempat pemungutan suara. Lalu minta sertifikat pembuktian bahwa dia sudah hadir di situ sebagai saksi.
Petugas di situ menolak memberi surat keterangan.
Itulah yang dianggap petugas menolak kedatangan saksi.
Tapi sang petugas mengatakan ia memang tidak berhak mengeluarkan surat apa pun. Itu karena tempat tersebut bukan TPS. Tempat itu hanya seperti ”TPS pembantu”. Tidak ada penghitungan suara di situ.
Tempat tersebut berada di daerah kecil yang amat jauh. Di sana disebut ”satelit” area. Tidak memadai untuk satu TPS di situ.
Trump mestinya malu dengan fakta seperti itu. Tapi ya begitulah Trump.
Banyak yang sebenarnya bisa diperlakukan dari pernyataan-pernyataan Trump. Tapi ia mengucapkannya dengan penuh semangat dan meyakinkan. Penonton debat yang tidak kritis cenderung mempercayainya.
Debat capres kali ini memang lebih menarik dari debat lawan Hillary Clinton yang lalu. Penuh dengan saling potong, saling tuding, saling menohok.
Minggu depan lebih menarik. Debatnya cawapres: Mike Pence lawan Kemala Harris. (*)