eQuator.co.id – Pontianak-RK. Sektor properti terutama perumahan (kecuali untuk rumah bersubsidi) anjlok dalam belakangan terakhir. Daya beli masyarakat yang tak kunjung membaik sehingga berimplikasi terhadap jual beli rumah komersial yang terbilang lesu.
Pakar ekonomi Untan, Eddy Suratman mengatakan, di saat rendahnya daya beli kuncinya adalah peran pemerintah lewat sejumlah aturan yang menghambat investasi.
Menurutnya, lewat berbagai paket kebijakan ekonomi, Presiden Joko Widodo sudah berupa melakukan pemangkasan untuk kemudahan investasi termasuk di sektor properti. Sayangnya paket Jokowi tersebut belum mampu diikuti sebagian kementerian dan pemerintah daerah di Provinsi Kalbar.
“Permintaan Presiden untuk pelayanan dan proses izin investasi hanya tiga jam tak berlaku di Kalbar. Kenyataannya hanya Kota Pontianak saja yang proses izinnya lebih cepat dari kabupaten lain di Kalbar. Proses izin kita masih berhari-hari,” bebernya, Jumat (2/9).
Mantan Ketua KNPI Kalbar itu menambahkan, faktor lain adalah biaya untuk izin investasi dari tarikan Pemda masih tinggi. Misalnya di sektor properti yang ada Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
“Misalnya biaya BPHTB untuk properti, Presiden mintanya hanya 0,5 persen. Tetapi Pemda kita masih banyak yang ambil angka 5 persen. Angka itu saya rasa lumayan tinggi untuk kondisi ekonomi saat ini,” paparnya.
Menurutnya, walaupun Undang-undang menyebut Pemda boleh memilih tarif maksimal 5% BPHTB dari transaksi jual-beli tanah/bangunan, namun Pemda semestinya bisa lebih fleksibel.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Perumahan Seluruh Indonesia (APERSI) Provinsi Kalbar, Ramadan menyebut, BPHTB memang bukan satu-satunya faktor yang bisa membuat penjualan propeti membaik. Namun, komponen BPHTB cukup besar pengaruhnya terhadap daya beli properti.
“Apalagi yang dibebankan adalah konsumen, dimana dia harus membayar BPHTB 5% dari transaksi. Seharusnya BPHTB bisa lebih fleksibel di kondisi seperti sekarang ini. Mungkin bisa diturunkan,” ucapnya.
Reporter: Gusnadi
Redaktur: Andry Soe