eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Kenaikan harga rumah bersubsidi bagi Masyarakat Bengpenghasilan Rendah (MBR) sejauh ini dinilai belum menjadi persoalan bagi para pengembang properti. Bahkan ini disambut baik oleh sejumlah pengembang.
Namun, hal yang menjadi perhatian yakni tingkat penghasilan masyarakat yang sedianya juga diharapkan tumbuh. Sehingga dapat meningkatkan daya beli.
“Sejauh ini untuk perkembangan rumah MBR sendiri, sampai sekarang masih bagus. Bahkan meski ada kenaikan harga, ini juga menggairahkan kami sebagai pengembang,” ujar Sekretaris Real Eestate Indonesia (REI) Kalbar, Mansur, di Pontianak, kemarin.
Mansur menyebutkan, justru yang menjadi dilema bagi para pengembang terutama di bawah payung REI adalah peraturan ini tak sejalan dengan kemampuan daya beli masyarakat untuk memiliki hunian.
Terlebih saat ini, ada perubahan batas maksimum penghasilan penerima bantuan subsidi KPR FLPP yang tadinya Rp4 juta ini dibuka lagi menjadi Rp7 juta.
“Kita berharap penghasilan atau gaji juga lebih meningkat sehingga dengan kenaikan ini bisa masuk. Sebab kalau tidak sama tentu akan berat, di satu sisi kita bangga harga naik, di lain sisi kemampuan masyarakat apakah bisa masuk dengan target tersebut,” terangnya.
Kata Mansur, Rp7 juta tersebut merupakan batas maksimum. Sehingga angka ini dinilai cukup tinggi khususnya di Kalbar. Berbeda halnya untuk daerah seperti Jakarta atau atau Papua, dimana angka ini dinilai tidak begitu tinggi.
“Artinya kita tidak berada di batas maksimum itu, tapi umum,” ucapnya .
Di samping itu, terkait hunian sendiri, pihaknya juga ingin mengembangkan dan menyasar pada masyarakat khususnya generasi milenial. Di mana ia menilai anak muda saat ini sudah memiliki kemampuan untuk dapat membeli hunian khususnya rumah MBR sendiri.
“Di beberapa daerah, milenial penghasilannya cukup, namun itu tadi tidak bisa masuk mengambil rumah MBR,” jelasnya.
Sebelumnya, Wakil Sekjen REI, Sukiryanto menanggapi aturan kenaikan harga rumah bersubsidi yang ditetapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bukan kendala bagi pengembang dalam merealisasikan perumahan MBR. Realisasi MBR justru terbentur oleh ketatnya SOP yang diterapkan oleh perbankan.
Sukir bilang, ada dua faktor pendorong persoalan ini. Bank konsisten mempertahankan SOP-nya sangat ketat, sementara pemerintah ingin program kebutuhan rumah bagi MBR ini bergulir cepat. Sehingga target program pemerintah untuk pencapaian sejuta rumah tercapai.
“Ini ada masalah yang kurang ketemu, sementara dari sisi pengembang untuk produksi tidak masalah selama pembelinya ada. Selama bank menyetujui untuk KPR apalagi didukung oleh pinjaman-pinjaman KPR,” sebutnya.
Sukir memandang ketatnya SOP yang diterapkan oleh perbankan ini guna mencegah persoalan kredit macet. Tak dipungkiri memang kasus seperti itu masih terjadi.
“Sebab ingin NPL atau kredit macetnya tidak tinggi. Dan ini yang menjadi masalah yang dihadapi oleh MBR. Bahkan ada yang baru satu dua bulan kredit sudah macet, ini juga kita tidak pungkiri. Sementara pemerintah ingin berkembang cepat,” sebutnya.
Dalam hal ini, Sukir berharap mesti ada jalan keluar dalam persoalan tersebut. Perbankan dan pemerintah harus sinkron sesuai dengan tujuan program sejuta rumah bagi MBR. Masalah ini menurutnya juga telah dibahas di tingkat pusat.
“Namun tingkat daerah tetap SOP harus berjalan. Sebab bank juga tidak ingin ada masalah ada konsumen bandel, baru kredit berapa bulan sudah macet. Bahkan ada pengembang yang menalangkan agar hubungan baik dengan bank tetap lancar,” ucapnya.
Sementara bagi pengembang, terutama di bawah payung REI, Sukir menjamin konsumen atau calon KPR-nya memang betul-betul telah disaring.
“Sebab kalau tidak disaring ini juga menjadi masalah bagi pengembang. Dan kadang bank sudah tahu developernya bertanggung jawab tapi tetap harus ada SOP yang ribet sehingga ini yang menjadi penghambat,” tandasnya.
Laporan: Nova Sari
Editor : Andriadi Perdana Putra