eQuator.co.id – Taiwan-RK. Sempat mencuat isu mahasiswa Indonesia menjalani kerja paksa di Taiwan. Dari pengakuan mahasiswa Indonesia di sana, terungkap sejumlah fakta baru. Sambil menangis, Khalif Al Badar memeluk erat rekannya ketika akan masuk ke ruang pemberangkatan Bandara Internasional Taoyuan, Taiwan, Kamis (10/1).
Dia memantapkan diri untuk pulang ke tanah air dan keluar dari program Industry Academia Collaboration (IAC) di kampus Chia Nan University of Pharmacy and Science, Tainan, Taiwan.
Khalif menceritakan, dirinya memutuskan keluar dari program kerja magang itu karena divonis tertular penyakit TBC. Penyakit tersebut diduga menular dari rekan sekelasnya.
Setelah melalui pemeriksaan darah oleh dokter, dia dinyatakan harus menjalani pengobatan selama enam bulan. “Saya sudah mentok. Biaya tidak ketulungan,” katanya.
Dengan harapan baru bisa bekerja enam bulan lagi, dia merasa biaya hidupnya tidak akan tertutup. Remaja kelahiran Indramayu itu lantas mengajukan resign dari program tersebut pada Desember lalu.
Khalif mengungkapkan, anak yang terkena TBC pertama berinisial D. Dia pulang lebih dulu ke tanah air. Saat ini Khalif memperkirakan ada sembilan peserta program IAC yang positif terkena TBC.
Tiga di antara mereka harus menjalani pengobatan enam bulan. Sisanya menjalani pengobatan selama tiga bulan.
Sulung tiga bersaudara itu menyatakan datang ke Taiwan September 2017. Sebelumnya, ada orang agensi atau yayasan yang mempromosikan program tersebut ke sekolahnya. Khalif adalah lulusan sebuah SMK di Kabupaten Bekasi.
Awalnya, dia dijanjikan mendapat beasiswa saat menjalani kuliah. Tetapi, ternyata tidak. “Biaya keberangkatan Rp 15 juta. Tapi, saya bayar Rp 7,5 juta,” katanya. Sisanya dibayarkan dengan model potong gaji kegiatan magang di perusahaan.
Di kampus yang berada di Taiwan bagian selatan itu, Khalif mengambil jurusan teknik informatika. Tetapi, saat magang, dia bekerja di pabrik pengolahan aluminium. Sehari-hari dia bersentuhan dengan oven bersuhu 500 derajat sebagai operator.
Dia hanya bertahan di pabrik aluminium itu selama tiga bulan. “Saya minta pindah. Karena tidak masuk akal,” tuturnya.
Tidak masuk akal karena dia mengambil jurusan teknik informatika, tetapi malah dipekerjakan sebagai operator oven pabrik aluminium. Dia mengungkapkan, ada beberapa rekannya yang akan menyusul keluar dari program IAC.
Gelombang keluar dari IAC tidak hanya terjadi di kampus Chia Nan University of Pharmacy and Science. Tetapi juga ada di kampus Hsing Wu University. Seorang mahasiswi program IAC di kampus tersebut mengungkapkan alasan mundur karena program kuliah tidak jelas.
Di antaranya dengan sistem pembagian SKS untuk kegiatan kuliah di kampus dan magang. Dia khawatir sudah kuliah dan magang bertahun-tahun, tapi ujungnya ijazahnya tidak bisa diakreditasi di Indonesia.
Dia menuturkan, ada tujuh orang yang sudah mengajukan surat pengunduran diri ke kampus. Tiga orang seangkatan dengannya dan empat orang adik angkatan. Sayang, saat mengajukan pengunduran diri, mahasiswa dikenai denda yang lumayan besar. Mencapai 56 ribu NT per mahasiswa. “Atau sekitar Rp 30 juta,” katanya.
Dia menyatakan kompak tidak buru-buru menandatangani formulir denda tersebut. Dia masih berkoordinasi dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Taiwan terkait dengan denda yang sangat besar itu. Dia menegaskan, di awal program IAC tidak ada informasi bahwa jika mundur dikenai denda hingga Rp 30 jutaan. (jpnn)