eQuator.co.id – Gajah dirubung semut. Yang terjungkal perusahaan besar.
Yang demo anak-anak muda. Yang didemo polisi/pemerintah. Korban yang jatuh: CEO Cathay Pacific.
Namanya Rupert Hogg. Orang Inggris. Alumnus Oxford. Ia mengundurkan diri Jumat lalu. Bersama wakil CEO-nya. Sebagai tanggung jawab yang harus mereka ambil –untuk menyelamatkan masa depan perusahaan.
Rupert Hogg pahlawan untuk Cathay empat tahun lalu. Ialah yang berhasil membawa Cathay keluar dari kesulitan keuangan.
Belakangan ini Cathay menghadapi kesulitan lagi. Sejak demo marak di Hongkong. Termasuk berhasil memblokade salah satu bandara tersibuk di dunia itu.
Tiongkok telah membatasi gerak Cathay. Ada prosedur baru yang harus dipenuhi. Cathay tidak boleh terbang ke kota-kota di Tiongkok. Sebelum menyerahkan data siapa awak pesawat yang menerbangkannya. Pun data itu harus disetujui dulu oleh otoritas penerbangan Tiongkok.
Itu, menurut Tiongkok, demi keselamatan penumpang. Penyebabnya: awak Cathay dianggap pernah membocorkan identitas penumpang kepada aktivis.
Lalu Cathay dianggap tidak membantu pemerintah Hongkong. Dalam menghadapi gelombang demo yang berlarut —yang kemarin sudah melebihi 70 hari.
Bocoran identitas penumpang itulah yang menyebabkan demo menyasar bandara. Selama lima hari nonstop. Membuat sekitar 1.500 penerbangan internasional dibatalkan.
Cathay sudah memberhentikan dua pilotnya. Juga beberapa crew-nya. Tapi belum melunakkan sikap Tiongkok. Ada indikasi Cathay mencoba-coba menantang: minggu lalu sebuah pesawat minta izin melintasi udara Tiongkok. Pesawat itu terbang dari Amerika. Tujuannya: Hongkong. Tidak mungkin tidak melintasi udara Tiongkok.
Tiongkok menolak. Cathay pun berusaha menawar. Cathay beralasan pesawat itu kosong. Tidak berpenumpang sama sekali.
Tiongkok tetap menolak. Tetap harus ada laporan identitas awak pesawatnya. Itu pun harus menunggu persetujuan. Akhirnya pesawat itu mendarat di Jepang.
Ini menjadi perkara serius. Untuk kelangsungan sebuah perusahaan besar.
Cathay pun mendadak berubah arah. Dua hari kemudian petinggi Cathay ke Beijing. Bukan sekedar petinggi. Ia Chairman Swire Group. Holding company Cathay Pacific. Pemegang saham terbesar Cathay. Putra CEO Cathay Pacific tahun 1950-an.
Namanya: Merlin Bingham Swire. Umur 45 tahun. Alumni Oxford.
Di Beijing Merlin menemui otoritas penerbangan Tiongkok. Tidak ada bocoran yang merembes. Tapi Merlin menyatakan bahwa Cathay akan memenuhi seluruh peraturan yang berlaku.
Sejak itu Cathay secara resmi mengeluarkan pernyataan tunduk pada prinsip ‘one country two system’. Dua hari kemudian sang CEO, Rupert Hogg, mengundurkan diri.
Harga sahamnya memang sudah limbung. Merosot terus sejak ada demo. Menjadi terendah dalam 10 tahun terakhir.
Cathay adalah salah satu perusahaan penerbangan terbesar di Asia. Dengan reputasi yang amat tinggi.
Cathay memang masih jadi mimpi masa lalu —masa kolonial. Perusahaan ini memang perusahaan Inggris. Cathay didirikan pada 1946 —saat Inggris masih berkuasa di Hongkong. Pemegang saham mayoritasnya pun orang Inggris. CEO-nya orang Inggris.
Baru beberapa tahun terakhir Air China punya saham 29 persen di Cathay. Sebagai share swap saat Dragon diambil alih Cathay.
Cathay (国泰) adalah nama lain dari China (中国). Ditambah kata Pacific di belakangnya.
Untuk jurusan kota-kota di Tiongkok, Cathay menggunakan anak perusahaannya itu: Dragon Air. Yang saya baru tahu minggu lalu: sudah menjadi Cathay Dragon.
Penumpang dari Surabaya atau Jakarta misalnya. Yang akan ke Beijing. Naik Cathay. Mereka harus ke Hongkong dulu. Dengan Cathay. Lalu sambung ke Beijing dengan Dragon.
Masih ada anaknya yang lain. Untuk bersaing dengan maskapai low cost. Namanya Hongkong Express.
Di dalam gelombang demo sekarang ini Cathay kelihatannya kembali ke prinsip bisnis. Harus menyelamatkan rute-rute Tiongkoknya. Penghasilan dari rute itu terlalu penting: 25 persen dari seluruh jalur dunianya.
Di saat politik dan bisnis berkelahi, politiklah yang menang. Tidak boleh ada yang lupa itu. Sekelas Cathay sekali pun. Saya pernah lupa.
Cathay juga dijepit dari arah lain: Bandara Shenzhen kini sedang diperbesar. Akan menjadi sebesar Hongkong. Padahal jaraknya, dari Hongkong, hanya selemparan batu –kalau yang melempar Hulk.
Di sebelah Shenzhen masih ada Bandara Guangzhou. Yang kini sudah sebesar Hongkong.
Pun kalau belum cukup. Masih ada Bandara Zhuhai. Yang jaraknya hanya satu hisapan rokok dari Hongkong.
Apalagi jembatan 55 km itu sudah jadi. Yang terpanjang di dunia. Untuk kategori di atas laut. Sudah diresmikan tahun lalu: hanya satu jam naik mobil dari Hongkong.
Cathay sudah mengangkat CEO yang baru: Augustus Tang Kin. Umur 60 tahun. Dari dalam. CEO anak perusahaan.
Harga sahamnya sudah naik 2 persen Jumat lalu. Tapi masih jauh dari prestasinya sebelum Juni.
Demo pun masih berlangsung Sabtu-Minggu lalu. Demo Sabtu sudah lebih kecil —mungkin karena bersamaan dengan hari raya Rebutan. Mungkin juga orang tertegun: demo telah membuat CEO Cathay meletakkan jabatan.
Perkembangan selanjutnya masih harus dilihat beberapa hari ke depan. Atau, akan muncul istilah baru di Hongkong: ‘jangan sampai di-Cathay-kan’. (DIS)