Begitu mendarat di London hebohnya bukan main. Kamis kemarin.
Perdana Menteri Inggris yang baru, Boris Johnson, membekukan parlemen.
Di negara cikal bakal demokrasi pun parlemen ternyata bisa dibekukan oleh penguasa.
Caranya yang jeli. Johnson tahu celah sempit itu. Johnson benar-benar Donald Trump-nya Inggris.
Sesuai hasil referendum, sebulan lagi Inggris keluar dari Masyarakat Eropa. Tanggal 31 Oktober depan.
Ibarat akan cerai, caranya belum ditemukan. Pun sampai hari ini. Waktu kian mepet.
Di Inggris muncul tiga aliran:
– Batalkan perceraian. Toh ketika referendum dulu yang procerai hanya 51 persen.
– Tetap cerai dengan cara baik-baik. Harus disepakati cara-caranya: apa saja hak Inggris, apa pula hak Eropa. Termasuk bagaimana arus barang dan manusia. Bagaimana pengelolaan perbatasan –terutama perbatasan yang berbentuk daratan.
– Pokoknya cerai. Perundingan bisa dilakukan, tapi kalau tidak ada kesepakatan tetap cerai. Urusan keruwetan biarlah ruwet. Terjadilah yang harus terjadi. Que serra serra.
Boris Johnson penganut aliran terakhir itu.
Para penentangnya membayangkan alangkah kisruhnya Inggris. Kalau itu yang terjadi. Ekonomi Inggris akan kacau.
Kemarin saja kurs poundsterling turun lagi. Nyaris sudah menyamai euro.
Tapi Johnson yakin benar dengan perceraian itu.
Justru Inggris akan Jaya kembali. Bisa menjadi negara terkuat di atas bumi. Seperti di zaman dulu.
Ia melihat ada peluang kecil. Agar tidak terjadi oposisi yang berat menjelang 31 Oktober.
Johnson pun menghadap Ratu Elizabeth II. Rabu lalu. Sehari sebelum saya tiba di London.
Permintaan Johnson hanya satu: agar Ratu mengagendakan ‘Queen’s Speech’.
Acara Queen’s Speech adalah pidato Ratu di depan parlemen. Biasanya sebagai penanda dimulainya masa persidangan wakil rakyat itu.
Kebetulan saat ini semua anggota parlemen lagi libur panjang. Liburan musim panas.
Mereka baru masuk lagi tanggal 3 September lusa. Begitu masuk mereka kaget. Tidak boleh ada persidangan lagi.
Begitulah tata tertib parlemen Inggris. Setiap menjelang Queen’s Speech tidak boleh ada sidang-sidang.
Queen’s Speech itu akan dilangsungkan 14 September. Berarti kian dekat lagi deadline 31 Oktober.
Dalam acara Queen’s Speech itu ratu hanya membaca pidato. Isi pidato dibuat oleh pemerintah. Biasanya mengenai hal-hal penting yang akan dilakukan pemerintah setahun ke depan.
Kebetulan Johnson perdana menteri baru. Yang belum pernah menyampaikan program kerja secara resmi. Itulah yang ia pakai untuk meyakinkan ratu. Juga untuk meyakinkan para politisi. Yang hari-hari ini menganggap Johnson telah merampok demokrasi. Bahkan ada yang bilang Johnson telah menimbulkan krisis konstitusi.
Waktu menjadi begitu sempit. Pilihannya kini tinggal dua: mengikuti syarat dari Eropa atau ikut syarat baru yang diajukan Johnson.
Tidak ada waktu lagi membahasnya bertele-tele. Apalagi di forum parlemen. Yang Johnson tinggal menang tiga kursi.
Tidak ada lagi pilihan ‘minta waktu’ agar deadline 31 Oktober bisa diundur.Deadline itu sudah hasil pengunduran dua kali. Sejak referendum Brexit tahun 2016 lalu. Tidak ada mundur yang ketiga kalinya.
Maka tiga minggu ke depan ini adalah waktu terpanas di Inggris. Jangan-jangan Skotlandia akhirnya minta merdeka pula.
Saya akan mengikutinya dari dekat. Sambil menyelesaikan beberapa urusan di sini.
Sejarah yang akan mencatat siapa yang benar. Johnson atau Trump. Atau akal sehat.(Dahlan Iskan)