‘Cah Purwodadi’ di Puncak Karir

Oleh: Joko Intarto

Agung Wiharto

eQuator.co.id – Pabrik semen Holcim resmi berubah nama: Solusi Bangun Indonesia. Setelah diakuisisi pabrik semen plat merah: Semen Indonesia. Bersamaan dengan itu, susunan direksinya berubah.

Dari deretan nama direksi baru, ada satu yang menarik perhatian saya: Agung Wiharto. Istri saya yang awalnya memberi tahu. Perihal posisi Agung, sebagai direktur Solusi Bangun Indonesia itu.

Kemonceran karir Agung tidak membuat saya kaget. Saya sudah memperkirakan sejak lama. Ia memang orang yang berotak encer. Selalu juara kelas. Sejak SMP dan SMA. Ganteng. Supel. Ramah. Tapi rendah hati.

Saya tak pernah bertemu lagi dengan Agung semenjak lulus SMA. Tahun 1986. Pupung, begitu panggilannya waktu remaja, meneruskan kuliah di UGM. Saya ke Undip.

Pertemuan kembali dengan Agung terjadi tahun 2004. Setelah dua tahun saya memimpin harian ‘’Indopos’’ di Jakarta.

Saat itu, saya diajak Akbar Muslim, karyawan di bagian pemasaran iklan, untuk menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan Indosat. Kata Akbar, saya akan diperkenalkan dengan Adita Wiharto, marketing communication Indosat.

Di Jakarta Theater itulah saya berkenalan dengan Adita Wiharto. Iseng-iseng, saya komentari nama belakangnya: Wiharto. Mengingatkan saya pada kawan sekolah di Purwodadi.
Tiba-tiba Adita menelepon seseorang. Diminta bergabung dengannya. Ternyata, orang yang ditelepon itu Agung Wiharto. Suaminya. Yang teman sekolah saya.

Setahun kemudian, tahun 2005. Jakarta dilanda banjir besar. Dua per tiga wilayah Jakarta terendam. Rumah saya di Kelapa Gading, misalnya, terendam hingga 1,5 meter. Sampai dua minggu.

Saat itulah, saya teringat pada dua orang. Gunung Iskandar teman sebangku yang jadi komandan Yonkav Cobra di Serpong, Tangerang Selatan dan Agung Wiharto yang bekerja sebagai humas Semen Indonesia.

Ada tiga ‘Cah Purwodadi’. Yang satu mengelola koran. Yang satu memimpin pasukan. Yang satu lagi bekerja di pabrik semen. Kalau berkolaborasi, kira-kira bisa bikin apa untuk membantu korban banjir Jakarta?

Ketemulah ide. Menurut laporan wartawan saya, banyak sekolah di Jakarta belum bisa difungsikan. Karena terendam lumpur hingga semeter. Aha! Bagaimana kalau saya ajak Gunung dan Agung membuat program membersihkan sekolah-sekolah yang terendam lumpur?

Saya membayangkan, Gunung pasti bisa mengerahkan ratusan anggotanya. Agung bisa membantu pendanaan. Bahkan semen, bila perlu. Peran saya apa? Memberitakan dan mengajak pihak-pihak lain untuk membantu.

Saya kontak Gunung. Ia setuju. Tapi minta syarat. Disiapkan makan siang dan sepatu boot karet. Saya tanya Agung. Apa bisa membantu? Agung menyanggupi. Menyiapkan makan untuk 900 orang. Setiap hari. Selama seminggu. Termasuk menyediakan 900 pasang sepatu boot karet. Plus alat-alat pembersih lumpur.

Berbekal kesediaan dua orang itu, saya pasang iklan di ‘’Indopos’’. Menceritakan rencana aksi sosial sapu bersih sekolah berlumpur. Meminta pembaca untuk menginformasikan sekolah-sekolah mana saja yang belum bisa dioperasikan pasca banjir, karena tertimbun lumpur.

Terkumpullah data 100 sekolah. Targetnya harus selesai dalam 10 hari. Berarti 10 sekolah per hari. Jumlah pasukan 900 orang. Per sekolah digarap 90 orang.

Iklan itu rupanya menarik perhatian beberapa pengusaha. J-Co donut yang saat itu baru membuka gerai, langsung menyatakan keinginannya bergabung. J-Co menyediakan 900 dus donat aneka rasa. Satu dus berisi 10 donat. Dikirimkan setiap hari. Setiap pukul 15:00.

Djarum Foundation tidak mau ketinggalan. Yayasan itu menyumbang buku tulis dan white board. Satu sekolah mendapat 5.000 buku tulis dan 25 white board. Begitu pula pabrik sepatu boot ‘’AP’’. Mengirimkan 1.000 pasang sepatu booth model barunya. Untuk pasukan TNI yang membersihkan sekolah.

Beberapa rumah makan pun terpanggil. Restoran Padang sederhana menyumbang 1.000 bungkus nasi. Mc Donald dan KFC juga ikut berpartisipasi. Masing-masing 1.000 porsi. Selama 10 hari.

Respon pengusaha itu membuat Agung bingung. Uang yang sudah disiapkan untuk membeli makanan dan sepatu tiba-tiba ’tidak laku’. Akhirnya, uang itu dibelikan BBM. Untuk truk-truk yang mengangkut pasukan. Dan truk-truk pengangkut lumpur. Juga kaos seragam.

Saat di Pontianak, pekan lalu, saya mendapat kiriman pesan pendek dari Tika. Teman seangkatan waktu SMA. Yang sekarang sekretaris di Kementerian Perdagangan. Ia mengajak reuni kecil-kecilan di Bogor. Di rumah Agus Wantoro. Teman SMA yang sekarang Direktur Waskita Beton Precast. Anak perusahaan Waskita Karya.

Sayangnya saya tidak bisa ikut. Acara itu dijadwalkan tanggal 14 Februari. Hari Sabtu. Pada saat yang bersamaan, saya akan menghadiri launching buku baru ‘’Pribadi Pribadi yang Menginspirasi’’. Karya terbaru Dahlan Iskan. Saya kebetulan menjadi editor bukunya.

Seandainya bisa ikut, tentu saya akan ketemu Agung Wiharto. Dan memberi ucapan selamat atas posisi barunya di Holcim. Eh, di Solusi Bangun Indonesia. Tiga hari setelah pelantikannya.

Tidak ada kata terlambat. Atau mungkin memang harus begitu. Saya harus mengucapkan selamat. Lewat tulisan ini.(jto)