eQuator.co.id – Jakarta-RK. Masih ditemukannya tenaga kerja asing (TKA) ilegal asal Tiongkok mengindikasikan para pekerja itu sengaja dipekerjakan di Indonesia.
Kondisi tersebut mengancam tenaga kerja lokal level bawah dalam negeri. Sebab, per Agustus 2016, terhitung masih banyak angkatan kerja berlatarbelakang pendidikan SD-SMP. Yakni, 60,24 persen dari 125,44 juta pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, mayoritas buruh tidak mempermasalahkan TKA yang memiliki keterampilan. Kata lain, mereka siap bersaing. TKA terampil (skill worker) itu diatur dalam Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang secara teknis diatur dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan.
Di aturan itu, pekerja asing yang diperbolehkan minimal menduduki posisi tenaga ahli. Mereka bisa bekerja di industri pengolahan, pertanian, kehutanan dan perikanan. Setiap badan atau instansi yang mempekerjakan TKA mesti mengurus izin di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). “TKA skill worker bekerja di Indonesia harus didampingi satu orang pekerja lokal,” jelasnya kepada Jawa Pos.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi perusahaan untuk mempekerjakan TKA level bawah. Baik itu secara legal maupun ilegal. Bila itu masih ditemukan, mestinya pemerintah tidak hanya menindaktegas para pekerja asing, tapi juga perusahaan yang mempekerjakan mereka. ”TKA Tiongkok banyak yang bekerja sebagai sopir forklift, tukang batu, operator mesin,” jelasnya.
Menurutnya, semua TKA ilegal tidak tercatat di Kemenaker. Dengan demikian, sangat sulit mendapatkan angka pasti berapa jumlah TKA Tiongkok yang bekerja secara legal maupun ilegal. Pihaknya pun mendorong pemerintah bertindak tegas terhadap persoalan itu. “Kalau dibiarkan, bisa menghilangkan kesempatan kerja buruh lokal (level bawah),” bebernya.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri menegaskan, persoalan TKA sejatinya tidak perlu diperdebatkan. Sebab, regulasi penggunaan TKA sudah diatur dalam perundang-undangan. Mulai dari syarat izin kerja, tinggal, serta pendidikan sesuai jabatan, kompetensi, jabatan yang diduduki, dan alih teknologi. Pemerintah juga memiliki sistem kendali yang ketat terkait penggunaan TKA itu.
Sementara itu, Pengamat ekonomi Enny Sri Hartati mengingatkan pemerintah agar tidak menganggap remeh dugaan-dugaan yang beredar di masyarakat. Menurut dia, masyarakat tidak mempermasalahkan tenaga kerja asal tiongkok yang berjumlah 21 ribu. Sebab, itu adalah tenaga kerja legal. “Yang dipermasalahkan itu adalah yang ilegal,” ujarnya kemarin.
Memang, tidak mudah mendeteksi tenaga kerja ilegal asal negeri panda. Namun, pada kenyataannya mereka ada dan bekerja di Indonesia. tidak perlu sampai jutaan. Ribuan saja, bila memang ilegal, tentu menjadi masalah. Lebih sensitif lagi, TKA ilegal itu bekerja di sektor yang tidak memerlukan keahlian khusus.
Padahal, di saat yang sama stok tenaga kerja jenis itu melimpah di Indonesia. “Saran saya, pemerintah sebaiknya melakukan pendataan pada industri-industri yang ada saat ini,” lanjutnya. Dari situ, diharapkan bisa diketahui mana industri yang memenuhi ketentuan ketenagakerjaan dan mana yang tidak.
Kemenaker, tuturnya, sudah memiliki regulasi mengenai kriteria tenaga kerja asing yang boleh bekerja di Indonesia. Salah satunya, memiliki keahlian di bidang tertentu. TKA pekerja kasar tidak diizinkan bekerja di Indonesia.
Selain itu, dia juga menyarankan kebijakan bebas visa ditinjau ulang. Jangan sampai kebijakan tersebut disalahgunakan pencari kerja asal luar negeri untuk bekerja di Indonesia. Menurut Enny, masih ada cara yang bisa dilakukan untuk menggenjot kunjungan pariwisata di luar membebaskan visa.
Untuk membuktikan penyalahgunaan bebas visa itu, pihak imigrasi tinggal mengecek jumlah kunjungan turis bebas visa ke Indonesia. Apakah sama antara jumlah yang masuk dnegna yang keluar sesuai tenggat waktu. Bila yang keluar lebih sedikit, maka patut dicurigai.
Enny menambahkan, dia juga masih mempertanyakan motivasi perusahaan yang mempekerjakan TKA ilegal. Apakah memang upah mereka lebih murah dari negara asalnya, atau ada faktor lain. “Kalau upahnya di sini lebih tinggi dari UMP misalnya, tentu secara bisnis tidak menguntungkan,” tambahnya.
Pengusaha Tak Khawatir
Kehadiran tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia tidak dianggap sebagai ancaman serius oleh pengusaha. Mereka menilai isu serbuan TKA itu terlalu dibesar-besarkan di media sosial dengan data yang asal-asalan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menuturkan agak jengkel dengan hembusan isu TKA yang katanya ribuan bahkan jutaan. Dia menuturkan selama ini sangat sulit mempekerjakan warga asing lantaran peraturan yang begitu ketat. Maka, menurut dia, tidak masuk akal kalau sampai ada serbuan TKA ke Indonesia.
“Tenaga kerja asing itu lebih mahal. Buat apa memperkerjakan yang lebih mahal kalau kualitasnya sama dengan yang ada disini,” ujar dia kemarin (26/12). Selain itu untuk perpanjangan izin kerja juga punya prosedur panjang. “Perpanjangan dibatasi, tidak gampang,” tegas dia.
Dia menuturkan biasanya mempekerjakan tenaga kerja asing bila perusahaan tersebut join ventura atau perusahaan patungan dengan luar negeri. Sehingga mau tidak mau harus melibatkan orang asing. “Kalau kita lihat statistik expert dari luar negeri yang bekerja di Indonesia itu juga turun,” imbuh dia.
Biasanya TKA itu bekerja untuk proyek-proyek yang sifatnya terkait dalam satu pekerjaan. Misalnya untuk pembangunan proyek pembangkit tenaga listrik atau smelter. Itupun hanya berjangka waktu tak lebih dari setengah tahun. “Proyeknya hanya enam bulan saja,” tambah dia.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan kondisi tenaga kerja dalam negeri masih relatif aman. Permintaan upah minimum yang selama ini menjadi bayang-bayang bagi pengusaha dinilai tidak punya pengaruh besar pada dunia industri. Yang paling berdampak kemungkinan industri di sektor alas kaki, garmen, makanan, dan rokok. Bisa jadi akan ada relokasi industri. “Tapi pengusaha juga akan pikirkan akses dan infrastruktur logistik,” ujar dia.
Dia menuturkan untuk sektor perburuhan salah satu saingan Indonesia adalah Vietnam. Sebab, upah tenaga kerja di negera tersebut tidak jauh berbeda. Apalagi di negara sosialis tersebut demo-demo buruh relatif bisa dikendalikan.
Tapi, persaingan itu bukan melulu soal buruh. Ada pertimbangan kemudahan izin dalam berinvestasi serta ketersediaan lahan yang terjangkau. Dengan Tiongkok, Indonesia pun tetap lebih unggul. “Karena pasarnya di Indonesia,” tambah dia. (Jawa Pos/JPG)