Burrito Time

Oleh : Dahlan Iskan

DI's Way masak di dapur John Mohn. Bagaimana sudah mirip Chef Juna kan?
Sudah seminggu penuh. Tiap hari makan siang saya burrito. Hanya burrito. Bikinan sendiri. Di rumah sahabat saya di pedalaman Kansas, Amerika: John Mohn.
Sudah seminggu pula makan pagi saya sama: oatmeal. Empat sendok. Saya taruh di mangkok. Saya tuangkan susu 2 persen lemak. Mangkok itu saya masukkan microwave. Selama 2 menit. Tambah 1 menit lagi. Kalau langsung 3 menit gelembungnya naik. Tumpah. Saya pernah mengotori microwave seperti itu. Membersihkannya repot.
Makan malam saya yang agak bervariasi. Kadang John yang masak. Kadang saya. Chris, istri John pagi-pagi sudah berangkat mengajar. Dia dosen bahasa Spanyol di Hays State University. Jam 5 sore baru pulang.
John Mohn sedang memanggang daging
Saya juga biasa cuci piring sendiri. Air krannya joss. Tapi saya tidak boros. Tagihan airnya sebulan 17 dolar. Sekitar Rp 200 ribu.
Di situ ada dua jenis kran. Yang satu untuk cuci. Satunya untuk minum. Sebenarnya kran itu cukup satu. Di seluruh Amerika air kran memenuhi syarat untuk diminum. Kran di mana saja: rumah, hotel, bandara, terminal dan tempat rekreasi. Hanya saja John extra hati-hati. Ingin menghilangkan kadar garamnya. Ia pasang alat seharga Rp 1,5 juta. Sebagian air kran itu dilewatkan alat itu. Untuk mengucur di kran satunya.
Di Amerika rumah tangga tidak hanya bayar air. Tapi juga bayar buang air. Air wastafel, air kamar mandi dan air dari toilet. Semua air buangan itu masuk pipa. Dari seluruh rumah di satu kota. Masuk ke instalasi pengolahan air. Baru dibuang ke sungai. Air buangan rumah tangga tidak boleh mencemari lingkungan. Semua itu perlu biaya. Yang harus dibayar masing-masih rumah. Untuk air buangan ini rumah John ditagih 20 dolar. Sekitar Rp 240.000/bulan.
Buang air lebih mahal dari memperoleh air.
Dengan hanya makan burrito saya tidak perlu cuci piring. Juga tidak perlu cuci sendok.
Wastafel di dapur John Mohn dengan dua kran air.
Memang, waktu membuat burrito saya menggunakan piring. Tapi piringnya tidak kotor. Di atas piring itu saya lapisi tisu khusus. Di atas tisu itulah saya taruh tortilla. Yang saya beli di Walmart. Satu plastik isinya 8 lembar.
Di atas tortilla itu saya taburkan irisan sayur kale, irisan bawang bombay, irisan batang salary, irisan acar buah zaitun, irisan brokoli, keju pedas agak banyak dan terakhir mustard.
Acar buah zaitun, mustard dan sayur kale.
Tortilla yang saya beli di Walmart.
Kali ini saya tidak tambahkan irisan daging. Atau ayam. Atau turkey. Saya ingin lebih vegi. Tidak seperti tahun lalu. Yang sebelum kena aorta dissection itu.
Piring berisi bahan-bahan burrito itu saya masukkan microwave. Dua menit.
Lalu piring itu saya keluarkan dari microwave. Tidak panas. Hanya sedikit panas. Sayurnya masih terlihar segar. Tapi kejunya sudah meleleh.
Saya taruh piring burrito itu di atas meja. Tortillanya saya gulung. Cara menggulungnya mudah. Kanan kiri dulu ditekuk ke tengah. Tekukan itu menutup sebagian sayur. Lalu bagian bawah ditekuk. Dan terakhir, digulung dari tekukan bagian bawah itu.
Jadilah burrito. Tisunya tidak terbakar. Bisa untuk pegangan saat makan burrito. Piringnya tidak terkena apa pun. Cukup saya lap dengan tisu baru. Kembali ke laci.
Kalau lagi lapar sekali tortillanya dua lembar. Disusun overlap. Agar lebih lebar. Diisi sayur lebih banyak. Gulungannya nanti lebih besar.
Saya selalu kangen dengan burrito itu. Kadang sampai tidak tahan. Saya coba bikin di Surabaya. Sekalian ingin pamer ke cucu-cucu.
“Tidak enak!“ teriak cucu saya.
“Lebih enak kebabnya Baba Rafi,” teriak cucu yang lain.
Saya memang tidak bisa menemukan bahan-bahan yang sama dengan di Amerika.
Pernah saya bawa sebagian bahan dari Amerika. Cucu saya senang. “Enak,” katanya.
Kalau rasa oatmeal agak mirip. Hanya beda rasa susunya.
Saya pernah menulis di DI’s Way (Sarapan Saya: Menu Kuda). Apakah perbedaan ‘oat’ dan ‘wheat’. Amat jarang orang bisa membedakannya. Dua-duanya diterjemahkan dengan biji gandum.
Kan tanamannya memang sama. Di mata orang awam. Bentuk bijinya juga sama. Pun warnanya sama.
“Wheat,” kata John “untuk dibuat tepung roti.”
Kalau ‘oat’?
“Untuk makanan kuda,” ujar John.
Itulah bedanya.
Saya tertawa ngakak. Saya pikir ia bergurau. John tetap serius.
Ia mengatakan, begitu sulit menjelaskan perbedaan ‘oat’ dan ‘wheat’. Semuanya mirip.
Tapi kalau tepung, tepung oat tidak bisa dibuat roti. Tidak bisa mengembang. Tidak cukup kandungan glutennya.
John tentu khawatir saya salah tanggap. Dikira kok sarapan saya makanan kuda. Buru-buru John menambahkan penjelasan ini:
“Semua presiden Amerika sarapannya oat,” katanya. (Dahlan Iskan)