eQuator.co.id – Di tengah duka Surabaya, teman saya meninggal pula: Ki Dalang Enthus Susmono. Agak telat saya tahu. Dari kiriman video teman dari Indonesia. Yang menyebutkan itulah momen saat-saat terakhir sebelum Enthus meninggal. Begitu tersengal-sengal. Terbata-bata. Memesankan kerukunan. Lalu terkulai.
Dalam Islam, momen itu disebut nazak. Saya balas. Dengan nada membela Enthus: Kok tidak ada yang berinisiatif membawa ke dokter ya? Kok hanya dirangkul? Kok hanya didengarkan? Hanya diamini ya? Bahkan divideo? Seperti dibiarkan menuju ajal? Sikap seperti itu biasanya hanya terjadi kalau yang nazak adalah orang yang sudah sangat tua. Sudah lama sakit-sakitan. Sudah tidak ada harapan. Sudah ada kesimpulan bahwa meninggal akan lebih baik. Biar saja meninggal dengan tenang.
Tapi Enthus kan baru 51 tahun. Masih segar. Bahkan menjabat bupati Tegal. Kok dibiarkan begitu? Ternyata yang di video itu bukan Enthus.
Alhamdulillah. Saya dapat kepastian dari teman saya di Radar Tegal. Katanya: yang di video itu pejabat sementara bupati Tegal: Sinoeng Rahmadi. Yang lagi kesurupan. Setelah nyadran menjelang bulan puasa. Di makam Ki Gede Sebayu. Pendiri Tegal. Kebetulan hari itu HUT Tegal.
Tapi Enthus memang juga meninggal. Hari itu. Siang itu Enthus ke satu madrasah di kecamatan Jatinegara. Perbatasan Tegal-Pemalang. Menghadiri acara penutupan masa sekolah tahun ini.
Dengan membawa beberapa wayang golek. Pentas kecil-kecilan: wayang santri.
Setelah makan siang Enthus jalan lagi. Akan menghadiri pengajian. Di tengah jalan Enthus merasa sulit nafas. Lalu dimampirkan ke puskesmas Jatinegara. Diperiksa. Tekanan darahnya tinggi. Gula darahnya: 400.
Enthus koma. Dilarikan ke rumah sakit Tegal. Di tengah jalan meninggal dunia: Senin, pukul 7 malam.
Terlalu muda untuk meninggal. Terlalu banyak yang masih harus diperbuat. Baik di kesenian maupun di pemerintahan.
Enthus memang menjabat Bupati Tegal. Dia harus cuti karena mencalonkan diri lagi. Untuk sementara diganti pejabat yang kesurupan itu.
Posisi pencalonannya sangat kuat. Berpasangan dengan wakilnya yang sekarang: Umi Azizah. Hampir pasti akan terpilih lagi.
Enthus memang dekat dengan masyarakat. Kepopulerannya sebagai dalang terkemuka sangat membantunya terpilih. Tapi juga ada unsur nasib baiknya: pesaingnya, bupati yang lama yang juga mencalonkan diri, tiba-tiba meninggal dunia. Persis seperti Enthus sekarang.
Selama masa kampanye ini, Enthus seperti kipas angin: muter terus. Pagi, siang, sore, malam. Tengah malam pun masih menerima tamu. Ia baru tidur menjelang subuh.
Kebiasannya melek malam (saat mendalang) terbawa. Dan memang Enthus tetap mendalang.
Jumat-Sabtu-Minggu, Enthus melayani order. Termasuk dari luar kota. Mendalang semalam suntuk. Suatu saat Enthus bilang kepada saya: gaji saya sebagai bupati tidak ada apa-apanya dibanding pendapatan saya dari mendalang.
Memang Enthus, sebagai bupati, dikenal bersih. Terbuka. Mudah dijadikan tempat curhat warganya. Suatu saat saya nonton pagelarannya. Sampai pagi.
Saya pun bertanya: apakah jadi bupati itu berat. Inilah jawabnya: Saya kan sudah biasa ngatur negara, apa susahnya ngatur hanya kabupaten…hahahhaa. Kami pun tertawa-tawa.
Sebagai dalang, Enthus memang sudah biasa ngatur negara: Amarta, Astina, Mandura, Ndworowati ….
Yang saya suka dari Enthus adalah: semuanya. Suaranya yang bulat-merdu-mantap. Yang bisa mewakili karakter suara puluhan tokoh wayang yang berbeda. Yang bisa menangis sesenggukan dengan trenyuhnya. Yang bisa tertawa ngakak dengan naturalnya. Yang bisa marah dengan garangnya. Yang bisa merayu dengan mendayunya.
Bahkan bisa mencampur tawa ngakak dengan tangis sedih. Seperti dalam adegan Petruk-Bagong menghadapi ancaman Gatutkaca. Dalam lakon ‘Semar Membangun Kayangan’. Bisa dilihat youtubenya.
Dan Enthus sangat bangga dengan kemampuannya itu. Dengan sabetannya. Di adegan perangnya.
Yang juga saya kagumi. Kadang muncul kegilaannya: ia berdiri, berperang dengan wayangnya sendiri. Enthus lebih dari sekedar dalang. Ia seniman. Dengan kreativitasnya. Dengan kebebasannya. Dengan daya ciptanya.
Ia ciptakan wayang-wayang baru: Wayang Gus Dur, wayang George Bush, wayang Usamah bin Laden dan wayang yang jadi idola orang tegal: Si Lupit. Si Lupit mewakili karakter orang Tegal. Ceplas-ceplos, kasar, bego-pintar, polos dan apa adanya.
Lewat wayang Si Lupit itulah Enthus bisa mengkritik siapa saja. Dengan kejamnya. Dengan sinisnya. Dengan lucunya.
Ia ciptakan lagu-lagu. Gending-gending. Dia ajari sinden bagaimana harus menyanyikannya. Ia ciptakan seragam wiyogo: penabuh gamelan. Mirip pakaian para wali.
Dan Enthus sangat menguasai masalah agama. Dia demonstrasikan itu dalam wejangan-wejangan filsafatnya. Tidak mungkin dilakukan dalang lain. Terlalu sensitif. Enthus juga sangat bangga dengan ke-Ansor-annya, keahlisunnahwaljamaahnya.
Dan Enthus bisa mendalang wayang Sunda. Wayang golek. Dengan sempurnanya. Tidak dimiliki dalang lainnya. Di seluruh dunia.
Kemampuannya itu ia peroleh secara otodidak. Belajar sendiri. Dari ayahnya. Yang juga dalang. Dari kakeknya. Yang juga dalang. Dari leluhurnya: yang juga dalang.
Darahnya: dalang. Dagingnya: dalang. Nafasnya: dalang.
Dan Enthus, harus saya akui, sangat ganteng. Hidungnya, pipinya, dagunya, dahinya, telinganya, seperti kumpulan semua onderdil ganteng dikumpulkan di wajah Enthus. Suatu saat saya kemukakan kegantengannya itu. Apa ia bilang? ”Rasanya memang sayalah dalang paling ganteng sedunia,” katanya. Hahahaa…Hanya satu yang saya sayangkan: ia tidak bisa lagi membaca tulisan saya ini. (dis)