eQuator – Sanggau-RK. Perluasan areal persawahan terus dilakukan oleh TNI selaku pelaksana, guna mewujudkan ketahanan pangan. Namun dalam praktiknya, TNI cukup kesulitan lantaran tekstur tanah di Kalbar yang umumnya lahan gambut.
“Hambatan yang kami hadapi, khususnya saya yang ditugasi di wilayah Kalbar adalah lahan. Maksudnya medannya itu hampir semuanya gambut. Kami tidak bisa menggunakan buldozer, hanya menggunakan eksavator. Daya dukung tanahnya ini tidak mampu menahan beban buldozer. Sehingga pekerjaan kami agak sedikit lambat dibanding kabupaten-kabupaten lain seperti di Bima, Sulawesi Selatan,” kata Kolonel Asrovi, pelaksana perluasan areal sawah di Kalbar.
Periwira yang bertugas Direktorat Seni Mabes TNI AD ini mengungkapkan, tak jarang buldozer yang digunakan tenggelam atau terbalik. Akibatnya progres pengerjaan perluasan lahan melambat.
Ia juga sempat mempertanyakaan analisis yang digunakan dalam pengerjaan tersebut. Pasalnya antara satu daerah dengan daerah lain kondisinya tak sama. “Analisis tanah gambut, mineral, rawa, itu berbeda. Sama dengan membuat konstruksi permanen, semi permanen. Sementara kami mendapatkan program ini, saya kurang tahu mendapatkan analisis dari mana. Kita dibikin sama antara Sulsel, Sumatera, dan Kalimantan,” bebernya.
Sementara untuk daerah yang bertanah keras, kata dia, relatif lebih mudah dikerjakan, sehingga progres penyelesaiannya lebih cepat. Namun ia menegaskan, meski dengan kendala lahan itu, progres di Kalbar sudah mencapai di atas 90 persen.
“Mudah-mudahan pada akhir bulan ini bisa kita selesaikan. Di Meliau itu alat bekerja sampai pukul 03.00. Saya juga ditekan direktur saya, ‘kamu harus bisa selesaikan apapun yang dihadapi di sana. Percuma saya kirim kolonel ke sana, kalau tak bisa selesai. Jadi saya dengan berbagai cara, berkoordinasi dengan pak Kadis untuk menyelesaikan tanggungjawab ini,” ungkapnya.
Selain kondisi itu, yang menjadi kendala adalah, pola pikir masyarakat yang belum terbiasa dengan areal sawah yang luas. Masyarakat terbiasa dengan pertanian yang manual.
“Kami mohon bantuan Camat, Danramil untuk memberikan pemahaman, bahwa ini lebih menguntungkan. Mereka sering mengatakan ‘Pak kami di sini tanam padi hanya untuk makan saja pak, tak biasa untuk produksi yang besar’. Mohon ini diberikan pemahaman. Kalau bisa mereka jangan lagi jadi konsumen, tapi produsen,” pintanya.
Asrofi juga mengakui baru mulai berkerja pada awal Agustus 2015. Hal itu disebabkan adanya pelaksanaan ritual adat yang harus dihormati.
“Tapi tak masalah, akhir bulan ini bisa kita selesaikan. Terakhir untuk 2016 akan lebih besar, kalau tidak salah itu 4000 sampai 5000 hektar. Mohon ini pak Kadis segera disiapkan SID supaya pengalaman 2015 bisa kita gunakan agar di 2016 bisa lebih sukses,” pintanya.
Bupati Sanggau, Poulus Hadi mengapreseasi pemaparan sang Kolonel. Dikatakannya ada tiga kecamatan yang akan ‘diurus’ lebih dahulu untuk dijadikan lumbung-lumbung padi di Sanggau, yaitu Noyan, Parindu dan Melaiu.
“Sebenarnya kita juga sudah menyiapkan beberapa kecamatan yang kedepan harus menjadi sumber padi. Kalalu lihat potensi, Melaiu dan Parindu itu sudah lama hidup dengan sawit. Noyan baru dengan sawit, dan memang mengandalkan persawahan. Dulu orang Meliau lupa dengan padinya, Parindu juga sama. Tetapi dengan adanya program ini supaya tidak monokultur. Ketahanan pangan kita harus dukung lagi,” katanya.
Namun berdasarkan rencana jangka menengah, Pemda tengah menyiapkan dua kecamatan lagi, Bonti dan Jangkang. “Karena di sana, terutama mereka yang di kawasan hutan, tak ada kesempatan mendatangkan invenstor. Mereka hanya mengandalkan padi. Jadi minta tahun depan, giring potensi kecamatan-kecamatan yang selama ini mengandalkan hidupnya dari padi,” ungkapnya.
Terlebih saat ini setiap pemilik HGU dilarang membuka lahan di kawasan-kawasan persawahan.
Laporan: Kiram Akbar