Bukti Gagalnya Lembaga Pemasyarakatan

Ba’asyir Bebas Tanpa Teken Ikrar Setia Pancasila

Abu Bakar Ba'asyir

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Pro-kontra terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo yang menyetujui pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’asyir (ABB) terus mengalir. Presiden pun diminta untuk mencari formula yang tepat sebelum rencana pembebasan ABB dari Lapas Gunung Sindur, Bogor benar-benar direalisasikan pekan ini.

Direktur Lokataru Haris Azhar mengatakan otoritas pemasyarakatan harus mencari prosedur pemberian pembebasan bersyarat (PB) untuk ABB yang sesuai dengan alasan kemanusiaan sebagaimana pertimbangan Jokowi. ”Ini karena Ba’asyir nggak mau ikrar Pancasila. Itu (mengesampingkan syarat ikrar, Red) perlu dicari legal formalnya seperti apa,” ujarnya, kemarin (20/1).

Sebagaimana diberitakan, ABB menolak meneken surat tertulis yang berisi tentang ikrar setia terhadap Pancasila. Ikrar itu merupakan salah satu syarat yang harus dilengkapi para napi untuk mendapatkan PB dari otoritas pemasyarakatan. Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3/2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, PB, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat, menyebut salah satu syarat napi terorisme untuk mendapatkan PB adalah menyatakan ikrar kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menurut Haris, bukan hanya legal formal pembebasan ABB yang harus dikritisi. Tapi juga kinerja otoritas pemasyarakatan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM. Haris menilai institusi di bawah nahkoda Yasonna H. Laoly itu telah gagal membina para napi.

Kegagalan yang dimaksud merujuk pada penolakan ABB menandatangani ikrar Pancasila tersebut. Menurut Haris, penolakan itu menjadi indikator bahwa fungsi pembinaan dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas) tidak berjalan maksimal. ”Tugasnya lapas kan mendidik orang untuk kembali bisa beradapatasi dengan masyarakat luas yang ada di luar,” terangnya.

Mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) itu menegaskan kasus ABB menunjukan bahwa Lapas sejauh ini masih memprioritaskan pemidanaan fisik. ”Tapi gagal mendidik orang untuk kembali bisa beradapatasi dengan masyarakat luas yang ada di luar,” imbuhnya.

Haris pun menyarankan Presiden Jokowi untuk bersinergi lebih dulu dengan bawahannya sebelum mengambil kebijakan. Apalagi, kebijakan yang masih asing di kalangan masyarakat. ”Ide Jokowi untuk kasih kebebasan buat Ba’asyir itu nggak koresponden dengan kerja intitusinya Yasonna (Menteri Hukum dan HAM),” ujarnya.

Sementara itu, pengamat pemasyarakatan Leopold Sudaryono mengamini bahwa situasi Lapas saat ini masih kurang manusiawi. Terbukti dengan aspek kemanusiaan, seperti kesehatan sejumlah napi berusia lanjut yang masih menjadi perhatian serius. Padahal, aspek itu mestinya sudah disiapkan jauh-jauh hari.

Sementara itu, Juru Bicara Ditjenpas Rika Aprianti belum bisa berkomentar banyak terkait dengan pro-kontra pembebasan Ba’asyir yang ramai dibicarakan itu. Dia menegaskan, sampai saat ini ABB masih menjalani pidana sesuai putusan pengadilan. Pihaknya pun masih menunggu info selanjutnya dari stakeholder lain. (Jawa Pos/JPG