BPJS Kesehatan Besar Pasak dari Tiang

Ilustrasi - NET

eQuator.co.id – JAKARTA-RK. Kondisi keuangan BPJS Kesehatan bisa dibilang  besar pasak daripada tiang. Dalam public exposes, Jumat (24/5), Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso menyatakan bahwa pendapatan lembaganya mencapai Rp81,9 triliun. Namun, biaya klaim yang dibayarkan mencapai Rp94,3 triliun. Melihat hal itu, beban keuangan BPJS Kesehatan berat.

Dia mengatakan bahwa klaim yang diajukan rumah sakit akan sampai ke BPJS Kesehatan dua bulan kejadian. Dia mencontohkan, kalau masyarakat mendapatkan layanan kesehatan pada November atau Desember, klaim akan diterima BPJS Kesehatan pada Januari. ”Klaim makin akurat,” tuturnya.

Ada selisih antara penerimaan dan klaim itu, antara lain, karena perbedaan jumlah perhitungan secara aktuaris dengan jumlah iuran dari masyarakat. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyarankan iuran BPJS Kesehatan minimal Rp 36.000. Namun, iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) hanya Rp23.000. Sedangkan para peserta di luar PBI yang memilih kelas tiga iuran Rp25.500 setiap bulan.

Kemal menyatakan bahwa DJSN sedang menghitung ulang aktuaris. BPJS Kesehatan telah memberikan masukan. DJSN-lah yang akan mengusulkan perubahan iuran kepada presiden.

Selisih iuran itu membuat BPJS Kesehatan kerap mengalami defisit. Bahkan, sejak tahun pertama berdiri. Selain masalah perbedaan perhitungan iuran, penyebab lainnya  adalah masih ada kelompok peserta yang tidak rutin membayar iuran. Kelompok tersebut adalah peserta bukan penerima upah (PBPU). Kepatuhan PBPU hanya 61 persen. ”Tunggakan PBPU mencapai Rp2,1 triliun,” ucapnya.

Lebih lanjut, Kepala Humas BPJS Kesehatan Pusat M. Iqbal Anas memaparkan bahwa klaim BPJS Kesehatan dibagi tiga. Yakni, dana kapitasi Rp13,7 triliun, dana nonkapitasi Rp1,1 triliun, dan klaim untuk fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL). Dana kapitasi dibayarkan di muka kepada fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP), seperti puskesmas, berdasar jumlah peserta yang terdaftar.

Untuk menanggulangi kekurangan pembiayaan, pemerintah menyuntikkan dana talangan. Namun, lebih dahulu dilakukan audit. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sudah dua tahun ini melakukan audit. Rencananya 27 Mei hasil audit dibeberkan di hadapan DPR. Meski begitu, hal tersebut tetap saja tidak menyelesaikan masalah. ”Permasalahan utama adalah besaran iurannya. Ini solusi fundamental,” ucap Asisten Deputi Direksi Bidang Data Based Nuik Mubaraq. (Jawapos/JPG)