eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) se Kalbar per Desember 2018 sebanyak 3.275.529 peserta. Khusus peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri, jumlah tunggakan iuran mencapai Rp72 miliar.
“Sementara untuk cakupannya sendiri masih diangka 60,58 persen,” ungkap Kepala BPJS Kesehatan Cabang Pontianak, Gerry Adhikusuma kepada Rakyat Kalbar, kemarin.
Walau tunggakannya besar tidak berdampak terhadap pelayanan kesehatan secara langsung. Akan tetapi berpengaruh pada sustainabilitas keberlangsungan finansial BPJS Kesehatan.
“Namun kalau tidak langsung iuran dari segmen PBI, APBN, APBD, semua semua ini mengerucut dalam dana jaminan sosial (DJS),” ujarnya.
Menurut Gerry, iuran ini harusnya sesuai dengan tagihan. DJS sendiri dipergunakan untuk membeli atau membayar Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL). Apabila DJS dikumpulkan secara nasional, iuran lebih sedikit diberikan yang dibelanjakan. “Inilah yang menyebabkan terhambatnya keberlangsungan financial. Seperti yang terjadi kemarin keterlambatan pembayaran,” paparnya.
Di samping itu, untuk total biaya pelayanan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tak Lanjutan FKRTL (RJTL dan RITL) tahun 2018 sampai dengan Desember 2018 sebesar Rp379.021.247.000. Biaya pelayanan kesehatan tersebut untuk wilayah kerja BPJS kantor cabang Pontianak saja. “Meliputi Kota Pontianak, Kabupaten Kubu Raya, Mempawah, Landak, Ketapang, dan Kayong Utara,” jelasnya.
Gerry menilai, masih belum tercapainya cakupan peserta lantaran ketidakmampuan masyarakat untuk melakukan pembayaran iuran BPJS Kesehatan. Di samping memang kesadaran masyarakat masih kurang. Kalau sakit, baru mau bayar. Sebaliknya, tidak sakit, tidak mau bayar. “Inilah mindset yang berkembang di masyarakat,” sebutnya.
“Namun kita terus melakukan monitoring evaluasi kolektibilitas, kemudian juga sosialisasi terus kita lakukan,” timpal Gerry.
Terpisah, Pengamat Kesehatan Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, dr Andersen mengatakan, sebetulnya program BPJS Kesehatan sangat bagus. Terutama bagi masyarakat kurang mampu. “Karena iuran per bulan BPJS Kesehatan yang murah,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar, kemarin.
Terhadap pesertanya, BPJS Kesehatan menanggung hampir semua penyakit. Kecuali kasus kosmetik atau kecelakaan tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Namun untuk kasus kecelakaan tunggal dapat ditanggung BPJS Kesehatan, asalkan ada surat dari kepolisian.
“Kemudian ada jaminan untuk masyarakat tidak mampu. Jadi mereka ini tidak membayar iuran sepeserpun karena sudah ditanggung pemerintah,” terangnya.
Kendati begitu kata Andersen, BPJS Kesehatan kurang bagus untuk penyedia layanan kesehatan dan tenaga medis. Alasannya seperti sering telat pembayaran ke fasilitas kesehatan (faskes). Sehingga berakibat terganggunya pelayanan medis. Klaim untuk beberapa kasus kecil mengakibatkan rumah sakit akan rugi atau terpaksa menalangi terlebih dahulu. “Bahkan memotong dari jasa pelayanan medis, termasuk jasa dokter, tergantung kebijakan rumah sakit itu sendiri,” jelas Andersen.
Hal semacam inilah yang menyebabkan terjadinya kerugian BPJS Kesehatan. Selanjutnya juga baru sekitar 80 persen penduduk Indonesia yang terdaftar BPJS Kesehatan. Dari 80 persen ini ada masyarakat yang tidak mampu atau iurannya ditanggung pemerintah. “Mungkin cukup banyak jadi ini juga penyebab defisit,” tuturnya.
Kemudian verifikator atau pengkode klaim BPJS Kesehatan cukup banyak yang bukan dari latar belakang tenaga kesehatan. Sehingga masih ditemukan salah coding dan menyebabkan ada klaim yang kurang benar. Akibatnya dapat membuat biaya klaim berlebihan.
Menurut Andersen, saat ini banyak masyarakat yang sedang menderita sakit. Sampai pernah Menteri Kesehatan mengatakan 65 persen dari penduduk Indonesia sakit. “Hal bisa dibuktikan dari penuhnya ruangan rawat inap hampir di setiap rumah sakit,” jelasnya.
Semakin banyak warga yang sakit, tentunya membuat biaya pengobatan membengkak. Otomatis, BPJS Kesehatan akan mengeluarkan biaya yang luar biasa. Ditambah lagi, banyak pasien menderita penyakit kronis. “Seperti diabetes, darah tinggi, kanker, dan gagal ginjal,” ucapnya.
Penanganan penyakit-penyakit tersebut membutuhkan waktu yang lama. Seumur hidup mengkonsumsi obat-obatan, cuci darah, kemoterapi dan harus sering masuk rumah sakit. “Pastinya BPJS Kesehatan akan mengeluarkan biaya terus menerus,” jelasnya.
Belum lagi, beberapa pasien BPJS Kesehatan meminta atau memaksa mendapatkan perawatan inap di rumah sakit. Padahal sakitnya belum ada indikasi di rawat inap. “Alhasil biaya yang dikeluarkan BPJS pasti akan bertambah,” demikian Andersen.
Sementara itu, warga Kecamatan Sungai Ambawang Kabupaten Kubu Raya, Danang menuturkan pengalamannya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Saat itu, dirinya mengalami patah kaki. Ia berobati ke RSUD Soedarso untuk bedah. “Tapi untuk mengajukan BPJS, salah seorang petugasnya bilang dokternya tidak ada,” ungkapnya kepada Rakyat Kalbar, kemarin.
Keesokan harinya, ia beserta keluarga kembali ke RS tersebut. Dirinya kembali mengajukan BPJS Kesehatan. Tetapi hasilnya tetap nihil dengan berbagai alasan yang berbeda. “Saya kembali lagi, tetapi petugasnya bilang dokternya sedang praktek,” jelasnya.
Lantaran dalam satu minggu tidak ada penanganan dan tak bisa ajukan BPJS, akhirnya ia pindah ke rumah sakit swasta di Kota Pontianak. “Ya, mau enggak mau harus nyari rumah sakit lain,” ucapnya.
Dengan pengalamannya itu, Danang berharap pihak rumah sakit melayani pasien terlebih dahulu dalam bentuk BPJS serta dapat memfasilitasinya. Karena peserta BPJS Kesehatan juga bayar iuran setiap bulannya. Bukan gratis. “Jadi seolah-olah tidak dapat digunakana, sia-sia kita bayar BPJS per bulannya,” tutup Danang.
Laporan: Nova Sari, Rizka Nanda, Zainudin
Editor: Arman Hairiadi