Do or die.
Orang Surabaya akan pilih ‘or’.
Tapi Boris Johnson orang Inggris. Kelahiran New York. Ayah kakeknya orang Turki. Ibunya Amerika. Kakek ibunya Rusia. Siapa laginya gitu orang Yahudi.
Islam, Kristen, Komunis, dan Yahudi menurunkan darahnya ke perdana menteri baru Inggris ini.
Mantan wartawan eksentrik ini akan bikin halloween sendiri — tanggal 31 Oktober nanti: yang tidak hanya menakutkan anak-anak.
Do or die.
Anggota kabinet barunya sudah dibaiat: tidak akan ada yang beda pendapat. Di hari halloween itu nanti Inggris sudah harus keluar dari Uni Eropa. Dengan atau tanpa ‘kesepakatan bagaimana cara pisahnya’. Termasuk siap membayar denda triliunan rupiah. Sebagai konsekuensi meninggalkan persatuan. Tanpa kesepakatan.
Pokoknya pisah.
Itulah pelaksanaan hasil referendum dua tahun lalu. Meski menangnya hanya kurang satu persen.
Jayakah Inggris setelah itu?
Ataukah sebaliknya?
Boris Johnson terus menebar optimisme. Sambil mengejek pihak yang pesimistis. “Inggris akan menjadi negara yang terkuat di dunia,” katanya. Ia memang ada sedikit nge-Trump-nya.
“Inggris akan segera memasuki era emas,” katanya. “Bersih, hijau, makmur, bersatu, percaya diri, dan penuh ambisi,” tambahnya.
Orang senang mendengar retorikanya. Yang ada nada jenakanya. Setidaknya punya nilai hiburan.
Tapi orang Skotlandia tidak suka Johnson. Sebagian rakyatnya justru ingin memisahkan diri dari Inggris. Dua kali referendum. Tinggal kalah tipis.
Tapi dengan tampilnya Johnson bisa lain lagi. Misalkan ada referendum lagi bisa pisah beneran.
Saat referendum Brexit Skotlandia tetap ingin bersama UE.
Dua hari lalu Johnson ke Skotlandia. Ia diteriaki masyarakat. Diejek-ejek. Sampai harus pulang lewat pintu belakang.
Johnson masih akan ke Wales dan Irlandia Utara. Untuk meyakinkan langkahnya. Dan untuk menggalang persatuan Inggris Raya.
Hasilnya negatif.
Kemarin mata uang Inggris jatuh. Terdalam. Selama 2,5 tahun terakhir. Satu poundsterling menjadi nyaris sama dengan satu euro.
Tiga bulan lagi Inggris pemilu. Kalau sampai Johnson kalah selesailah. Johnson akan dikenang sebagai perdana menteri dengan masa jabatan terpendek.
Banyak pesimistis. Mereka meramal ekonomi Inggris akan turun 8 persen. Selama 15 tahun ke depan. “Sekarang ini 80 persen bahan makanan datang dari Uni Eropa. Yang ada di supermarket itu,” tulis Financial Times Senin lalu.
Tapi menakutkan betul ya tidak. Beda dengan menjelang referendum dulu.
Saat itu ada yang meramalkan begini: begitu pro-Brexit menang ekonomi Inggris akan langsung krisis. Lebih berat dari krisis tahun 2008.
Nyatanya baik-baik saja. Dua tahun terakhir ekonomi Inggris tetap tumbuh. Bahkan lebih tinggi dibanding pertumbuhan rata-rata anggota UE.
Jelasnya kita lihat seminggu lagi.
Inggris pernah menyadari perlunya menyatu dengan Eropa. Sejak zaman Churchill dulu. Dalam menghadapi Hitler dulu.
Churchill pernah mengusahakan sungguh-sungguh: agar Prancis dan Inggris menjadi satu negara. Bahkan sebaiknya seluruh Eropa jadi satu negara. Ide dasarnya: agar setara dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Waktu itu belum tampak tanda-tanda Tiongkok bisa keluar dari kemiskinan akutnya.
Ide itu menjadi kenyataan. Hampir 50 tahun lalu. Inggris dan seluruh Eropa bersatu dalam Uni Eropa. Tanpa visa. Tanpa tarif. Tanpa batas. Orang Inggris tidak ditanya akan ke mana. Untuk berapa lama. Di seluruh Uni Eropa.
Tahun lalu 55 juta kali keberangkatan orang Inggris ke Eropa. Dengan bebasnya. Yang mulai Halloween depan harus menggunakan prosedur baru. Yang belum juga jelas seperti apa prosedur itu.
Belum banyak reaksi dari para pemimpin Eropa. Sebagian masih cuek-bebek. Masih beranggapan koar-koar Boris Johnson itu hanya untuk konsumsi dalam negeri. Untuk memperkuat posisi politiknya.
Tapi siapa tahu beneran: do or die. Akan terlaksana.
Dulu kan juga begitu. Ketika Trump galak di masa kampanye. Banyak yang mengira Trump akan realistis — setelah terpilih. Nyatanya tetap nge-Trump.
Apalagi luasan wilayahnya. Kecil sekali. Lebih-lebih kalau Skotlandia keluar dari Inggris Raya. Yang jelas menjadikan Inggris kembali yang terkuat di dunia berlebihan. Ekonomi Inggris hanya 22 persen ekonomi UE. Hanya 20 persen ekonomi USA. Hanya separuh ekonomi Tiongkok.
Belum lagi sumber dayanya. Minim sekali.
Inggris memang pernah menjadi yang terkuat di dunia: 300 tahun lalu. Tepatnya saya tidak tahu — saya belum lahir saat itu. (Dahlan Iskan)