eQuator.co.id – Kematian sang anak yang menjadi korban tabrak lari pada 23 tahun silam, membuat Indra Azwan, 57, tak lelah mencari keadilan. Dia nekat berjalan kaki keliling Nusantara mencari keadilan. Bagaimana perjuangannya?
Vinolia—Padang
Sore itu, Kantor LBH Padang disesaki para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Padang. Kedatangan mereka di rumah pendampingan ini untuk bertemu dan berdiskusi dengan Indra Azwan, pria asal Malang, Jawa Timur yang kemarin (11/3), berada di Padang.
Meski tampak kurang sehat, Indra dengan ramah menjawab pertanyaan para mahasiswa soal pengalamannya berjalan kaki menuju Padang. Sesekali beberapa mahasiswa tertegun mendengar cerita perjuangan Indra menempuh ribuan kilometer dengan berjalan kaki.
Perjalanan Indra memasuki Sumbar dimulai dari Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam pada Selasa (9/2/16). Dari Bumi Serambi Mekkah,dia menuju Medan, Pekanbaru, Tanjungpinang, dan menapaki jejaknya di Sumbar sejak Selasa (8/3) lalu.
Rencananya, perjalanan mencari keadilan itu diakhiri di Bali. Perjalanan Indra menjelajahi 34 provinsi memakan waktu 3 tahun. Dengan kondisi tubuh yang renta, rata-rata jarak yang mampu bisa ia tempuh per hari sekitar 50 kilometer dimulai pukul 05.00 hingga 21.00.
Banyak suka dukanya menyusuri berbagai daerah di Sumatera, khususnya di Aceh dan Sumbar. Baginya, Aceh dan Sumbar memiliki karakter masyarakat yang hampir sama. “Mereka ramah dan memperlakukan saya dengan baik selayaknya tamu,” ungkapnya di sela-sela obrolan.
Di Aceh, sebut Indra, dia sempat bertemu dan bercengkerama dengan mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka bercerita soal perjalanan hidupnya termasuk pengalamannya saat dipenjara. “Kisahnya sangat menyentuh, takkan saya lupakan seumur hidup,” imbuhnya.
Ditanya lebih detail tentang GAM, ia enggan menjawabnya karena sudah berjanji tidak akan menceritakan hal-hal detail soal mantan anggota GAM tersebut.
Dalam perjalanannya, Indra membawa bendera merah putih dan spanduk yang mengkritik soal peradilan di Indonesia. Atas itu pula, dia kerap diusir warga karena dianggap orang gila. Ada juga pengurus masjid yang mengiranya pengemis, sehingga berniat bersedekah.
“Saya kan pakai spanduk. Jadi saat masuk warung, dipikir orang gila, ya diusir. Ada juga saat saya beristirahat di dekat masjid, saya pun ditanya salah seorang yang ingin ngaji. “Bapak kenapa di sini?” Saya jawab lagi tiduran, capek. “Bapak mau sedekah ya, nanti saya mintakan sama-sama ibu pengajian ya”,” ujarnya mengenang kejadian lucu yang dialaminya.
Namun dengan rendah hati, dia menolak niat baik orang tersebut. Bahkan, Indra selalu menolak bila ditawari uang atau makanan oleh warga sekitar kampung yang dilaluinya. Baginya, bekal uang yang dibawanya dari kampung halamannya sudah cukup untuk menanggung biaya perjalanan.
Didampingi para aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Senin (14/3), Indra akan mendatangi kantor Gubernur Sumbar. Rencananya, Indra akan meminta tanda tangan sebagai bukti bahwa dia sudah menjejakkan kaki di Ranah Minang ini.
“Sudah empat tanda tangan yang saya dapatkan, masing-masing pejabat di Aceh dan Medan, Riau dan Kepri. Senin besok, saya akan datangi kantor gubernur Sumbar untuk meminta hal serupa,” ujarnya.
Dalam aksi jalan kaki keliling Nusantara, Indra tidak pernah letih menyuarakan keadilan atas kasus tabrak lari anaknya Rifki pada tahun 1993 silam. Kasus itu sendiri, menurutnya, hingga kini tidak pernah jelas. Bahkan sampai Presiden Jokowi saat ini, tidak ada kepastian hukum terhadap pelaku.
“Saya akan terus mencari keadilan. Hanya dua hal yang bisa menghentikan aksi saya. Dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Negara atau saya meninggal,” ujarnya penuh emosi.
Selain itu, dalam setiap perjalanannya, Indra selalu mengajak para aktivis setiap daerah bangkit dan bersuara menuntut keadilan. “Jangan hanya diam saja atas ketimpangan hukum yang kita rasakan selama ini. Ayo bersuara! Lakukan hal sekecil apa pun untuk perubahan negeri ini,” serunya di hadapan puluhan aktivis NGO dan mahasiswa serta jurnalis.
Sekadar diketahui, kasus tabrak lari atas Rifki yang terjadi tahun 1993, dilakukan oknum polisi. Tahun 2008, majelis hakim berpendapat bahwa kasus tersebut sudah kedaluwarsa.
Atas putusan itu melalui Oditur Militer, Indra mengajukan peninjauan kembali (PK) yang dimasukkan pada Juli 2014. Namun, sampai saat ini tidak diketahui apakah sudah putus atau belum. “Saya hanya meminta salinan putusan dari Mahkamah Agung. Namun, sampai kini tidak diberikan. Tentu saja itu menghalangi saya untuk melakukan advokasi lainnya,” terang Indra.
Dari Padang, Indra berencana melanjutkan aksi jalan kaki ke Jambi dan terus ke Bengkulu. “Di mana saya singgah, saya akan terus menyuarakan keadilan. Biar masyarakat tahu beginilah sulitnya mendapatkan keadilan itu. Jika suatu saat saya bertemu Jokowi, ada tiga poin yang akan saya sampaikan. Melaporkan seorang pejabat di negeri ini, menyampaikan amanah mantan anggota GAM, serta minta penyelesaian terhadap kasus anak saya secara transparan. Jika ketemu, saya tidak mau janji-janji lagi. Melainkan harus ada perjanjian hitam di atas putih,” pungkas Indra. (v)