Biarkan Anak yang Pilih Negara

Pernikahan Dua Warga Beda Tanah Kelahiran

BERSANDING. Firman Wahyudin dan Rosyati binti Rosdin digiring arak-arakan hadrah menuju pelaminan di kediaman pengantin perempuan, Kampung Jaya Ria, Serian, Sarawak, Malaysia, Minggu (29/5). OCSYA ADE CP-RK

Malaysia dan Indonesia memang bertetangga, punya banyak kesamaan budaya dan bahasa. Namun, banyak yang tidak diketahui ihwal negara jiran itu. Misalnya saja adat pernikahan di sana.

Ocsya Ade CP, Kuching

eQuator.co.id – Rakyat Kalbar menyaksikan langsung prosesi pernikahan salah satu pasangan di Sarawak, Kuching, Malaysia, belum lama ini. Bukan, bukan pernikahan dua insan jiran. Melainkan antar warga negara Indonesia-Malaysia.

Istilah tak kenal maka tak sayang sepertinya melekat dalam setiap kebudayaan. Ibarat kebiasaan lamaran di Indonesia, Malaysia punya adat Merisik. Proses awal pernikahan itu mempertemukan dua keluarga. Pun sebagai ajang perkenalan satu sama lain sekaligus merencanakan upacara pernikahan dua calon mempelai.

“Merisik itu, lelaki tanya adakah perempuan ada orang lain yang memiliki apa semua. Dia akan tanya itulah,” jelas Eddie bin Nordin, keluarga mempelai perempuan warga Malaysia.

Jika Merisik sukses, selanjutnya dilakukan adat Bertunang. Sama saja dengan proses pertunangan di Indonesia. Ini merupakan simbol bahwa dua calon mempelai telah “dimiliki” oleh seseorang. Pesta atau selamatan adat tersebut diiringi doa. Berbagai macam makanan disediakan saat itu.

Kemudian, akad nikah diselenggarakan. Biasanya di masjid, bisa juga di rumah pengantin perempuan. Pengantin pria menyediakan mas kawin bagi pasangannya. Kerap dilakukan sederhana, hanya dihadiri keluarga.

Prosesi berikutnya adalah upacara bersanding atau resepsi pernikahan. “Akad nikah semalam dipersetujui. Hari inilah majelis kenduri kawinnya,” tutur Eddie sambil menyambut tamu.

Kekhasan berbagai prosesi ini tentu saja ada pada pakaian adat Melayu yang dipakai mempelai. Biasanya yang dikenakan adalah pakaian tradisional berupa baju kurung atau baju koko khas Melayu bertapikan kain dengan motif khas yang diikatkan di sekeliling pinggang. Peci mempelai laki-laki berwarna senada dengan kainnya.

Sementara itu, pengantin wanita memakai baju kurung yang tertutup berbagai hiasan plus kerudung. Juga selendang yang disampirkan di bahu.

Hadrah pun dimainkan saat mempelai tiba di tempat pernikahan. Dalam adat Melayu, lanjut Eddie, hadrah merupakan musik memeriahkan suasana.

“Hadrah dimainkan melantunkan dzikir memuji kebesaran Allah SWT, shalawat dicampurkan dengan lagu modern sekarang,” ungkapnya.

Pernikahan juga merupakan ajang silaturahmi dengan tetua di keluarga sebuah keluarga. ”Bukan saja hanya untuk mendapatkan sedekah dari tetamu undangan. Seminggu selepas pernikahan inipun ada makan selamat (memanjatkan doa atas keselamatan dan kelancaran acara, red) dari pihak perempuan,” imbuh Eddie.

Eddie merupakan kakak kedua dari Rosyati binti Rosdin, perempuan kelahiran 94700 Serian, Sarawak, Malaysia, 05 Mei 1981, yang dinikahi Firman Wahyudin pria kelahiran Depok, Jawa Barat, 12 Desember 1981. Sabtu 28 Mei 2016, bertempat di Kampung Jaya Ria, Serian, mereka menyelenggarakan pernikahan yang dilanjutkan resepsi sehari setelahnya.

Sebelum naik ke pelaminan, Rosyati yang lebih tua beberapa bulan merajut tali kasih dengan Firman setahun lamanya. Asrama mereka berawal dari cinta lokasi.

Ceritanya, lebih setahun lalu, Firman yang bungsu dari empat bersaudara merantau ke Malaysia. Ia bekerja sebagai staf Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KRJI) Kuching.

Di kantor KJRI di Jalan Stutong, MTLD 93350, Kuching, Malaysia, Rosyati bekerja sebagai staf lokal.

“Saye dan mas Firman kenal karne kami satu kantor,” cerita anak kelima dari enam bersaudara itu, selepas resepsi pernikahannya.

Seiring berjalannya waktu, bibit cinta mereka tumbuh bersemi. Tak terlalu memikirkan kewarganegaraan yang berbeda, kalau sudah saling cinta, apa hendak dikata.

“Saya suka dia (Firman, red) karena dia very soft spoken and very polite with his family, my family and with me (bebicara sangat lembut, sangat sopan dengan keluarganya, keluarga saya dan ke saya),” tutur Rosyati, sumringah.

Dua insan ini sudah sah menjadi suami istri, baik dari sisi agama maupun administrasi negara. Namun, untuk saat ini keduanya masih cinta negara masing-masing. Ati tetap warga negara Malaysia, begitu juga Firman yang memegang teguh tanah airnya.

“Warga negara kami masing-masing. Untuk anak nantinya, juga warga negara Malaysia. Tapi nanti kalau anak sudah berumur 19 tahun, dia bisa memilih mau Indonesia atau Malaysia,” timpal Firman.

Sebelum pasangan Firman dan Rosyati, empat pasangan staf KJRI juga melakukan pernikahan beda negara. Dan, September nanti, setidaknya sekitar seratus pasangan warga Indonesia yang nikah siri di Sarawak, Malaysia, akan dinikahkan kembali oleh KJRI secara administrasi Indonesia. (*)