Sampailah Hajah Arninda Idris berkisah tentang musibah pertama yang menimpanya dalam rangkaian menunaikan Rukun Islam kelima. Robohnya crane di Masjidil Haram yang menewaskan ratusan jamaah haji.
MEKKAH, 11 September 2015
Aku terbangun dari tidurku yang sangat singkat.
Aku terbangun dengan senangnya dan semangat.
Aku terbangun dengan hati yang legah.
Aku melihat sekelilingku masih tertidur dan aku langsung terperanjak dari tempat tidur untuk menyalakan lampu kamar.
Seketika semuanya terbangun dan bertanya “Jam berapa ini ninda?”, Aku menjawab “Jam setengah 2 ibu-ibu”.
Hari Jumat, hari yang kutunggu. Jumat pertama di Tanah Suci. Bisa salat berjamaah di Masjidil Haram karena subuh jumat adalah Sujud Sajadah. Banyak jamaah haji lainnya tidak mengetahui hal ini, sehingga mereka melupakan hari Jumat. Yang berjamaah tidak melaksanakan Sujud Sajadah.
Subuh ini cukup awal aku berangkat ke Masjidil Haram, aku menunggu jamaah reguku lengkap di lobi hotel yang masih gelap. Bukan hanya aku dan reguku, banyak yang lain juga menunggu bus datang.
Tak lama bus pun datang. Aku duduk di kursi paling belakang, mendahulukan ibu-ibu dan Lansia. Sesampainya kami di terminal Mahbas Jin, luar biasa aku terkejut. “Ini baru jam 02.00 WAS (Waktu Arab Saudi) lewat dikit, tapi kenapa ramai banget???”, bergumam dalam hati.
Sepanjang jalan dipenuhi manusia dari seluruh dunia. Semua berkumpul di terminal ini karena inilah pusatnya untuk mencapai Masjidil Haram. Sempat menyerah karena setiap bus yang stop selalu full dan dipenuhi oleh negara-negara yang orangnya berbadan besar.
Aku dan reguku terduduk di situ, akhirnya ada sebuah bus berhenti tepat di depan kita. Inilah arti kesabaran dan ketenangan, “Jika kita untuk ibadah, Allah akan memberikan kemudahan walaupun pertama di uji dulu kesabaran kita,” pikirku. Saat sampai di halaman Masjidil Haram, kami disambut lautan manusia. Aku menyisir jalan masuk dengan cepat karena ingin mendapatkan lantai paling bawah. Alhamdulillah aku dapat tempat salat di lantai paling bawah, sejajar dengan Kabah.
Kubentangkan sajadahku di lantai yang dinginnya luar biasa. Kutahankan tubuhku dengan zikir agar dingin ini tidak terlalu menusuk sampai ke tulang-tulang. “Sungguh indah rumahMU Ya Allah hingga tidak lagi ada keraguanku untuk melangkahkan kaki ke sini,” gumamku, tak pernah berhenti takjub.
Saat aku selesai melaksanakan Salat Taubat, Tahajud, dan Hajat, mataku tertuju pada sekelompok orang, ada sekelompok jamaah laki-laki membawa sebuah keranda. Ternyata itu mayat yang akan disalatkan Bakda Subuh. Satu persatu masuk melewati lorong di lantai dasar menuju dekat Kabah.
Aku hitung, ada sembilan keranda yang diangkut. Tiba-tiba air mataku mengalir melihat keadaan itu. “Ya Allah, sungguh mulianya umatMU bisa wafat di Tanah Suci Makkah dan di salatkan oleh seluruh umat Islam dunia yang melaksanakan haji”.
Azan Subuh pun berkumandang. Merdu, seluruh badan ini sampai merinding mendengarkan lantunan demi lantunan Sang Bilal.
Tidak lama kemudian, setelah Salat Jenazah, segerombolan jamaah laki-laki membawa keranda berisi mayat tadi keluar dari Masjid. Tidak sempat aku abadikan momen itu, terlalu cepat terlewati.
Pukul 07.00 WAS, kami menuju ke lantai dua pas di depan Multazam, tempat favoritku dan jamaah lainnya. Kami salat dan mengaji sambil menunggu anggota reguku, Bu Suryati, selesai menginfaq Alquran. Sempat bertemu dengan jamaah asal Sanggau yang sendirian. Kami mengajaknya berkumpul bersama.
Saat sampai di halaman Masjidil Haram, Bu Laili mengajak foto bersama burung-burung yang ada di situ. Lima riyal untuk membeli makanan burung, dengan senangnya kami berfoto bergantian sambil memberi makan kepada unggas-unggas itu.
Pukul 08.00 WAS, tiba kembali di Terminal Mahbas Jin. Kami berpisah dengan yang lainnya karena ada yang ingin langsung pulang, ada juga yang ingin jalan-jalan. Aku hanya singgah membeli soto ayam saja di pinggiran jalan terminal. Cukup banyak peminatnya, rata-rata orang Indonesia sih. Setelah itu aku melanjutkan perjalanan ke hotel. Sangat lelah.
Sampailah waktu Zuhur, kami salat di kamar bergantian. Hanya bisa dua orang yang salat di kamar hotel. Sesaat aku mengajak, “Pergi awal yuks ibu-ibu ke Masjidil Haram biar bisa dapat depan Multazam”.
Ternyata, dua anggota reguku sedang tak enak badan, aku pun memanggil petugas kesehatan. Tidak lama, petugas kesehatan datang ke kamar, aku memanggil semua anggota Regu 33 untuk menawarkan apakah mau berobat juga. Semua berkumpul di kamarku, sambil diperiksa aku bertanya lagi kepada Bu Laili “Yuks ibu, kita saja yang pergi, ibu-ibu lain lagi tidak enak badan”. Ibu Laili pun mengiyakan.
Tidak ada perasaan apa-apa, cuma cuaca lagi mendung saja. Tidak menghalangi langkah kami menuju Halte Bus. Sesampainya di Masjid, Alhamdulillah sesuai niat tadi, aku dan Bu Laili mendapat tempat di depan Multazam. Cukup sulit, tapi ada seseorang yang berbaik hati memanggilku ke situ dan kami berada di dekat saf mereka.
Adzan Asar berkumandang, saat akan melaksanakan salat sunnah, aku melihat di sisi kiriku ada satu rombonganku juga sedang mencari tempat, mereka agak di depan.
Sholat Asar didirikan, setelah itu kami pindah agak ke depan agar tidak menganggu yang sedang berjalan. Sambil menunggu waktu Salat Magrib, aku menyempatkan mengaji dan terus mengaji.
Pukul 17.00 WAS, saat sedang mengaji, aku melihat ke arah depan, ada sampah bercampur pasir berterbangan. Tak lama disusul hujan rintik-rintik. Angin pun datang menghampiri sampai semua jamaah berdiri.
Petugas masjid menghampiri dan menyuruh jamaah yang berada di depan untuk mundur ke belakang. Aku tetap di posisiku, sambil memvideokan momen itu. Bu Laili sambil menarikku, “Ayuk ninda, bahaya..kita ke tempat Sa’i saja”. Aku tetap saja berdiri di situ.
Tak lama kemudian, hujan semakin deras diiringi angin yang sangat kencang sampai aku bergeser ke belakang. Tiba-tiba terdengar suara seperti petir yang sangat keras. Diikuti robohnya beberapa besi yang menimpa seorang jamaah wanita di atas kursi roda. Tersentak aku, kaget sekali. Saat aku akan mundur, RUNTUHAN BESI MENANCAP TEPAT DI TANGAN KANANKU. ALLAHUAKBAR…ALLAHUAKBAR…
Tidak henti aku menangis dan mengucap nama Allah. Saking paniknya, aku tidak peduli dengan tanganku yang luka dan memar. Aku mencari Bu Laili karena terpisah, ketemu beliau di tempat Sa’i. Pertama yang aku lakukan adalah menelpon abang, Adryansyah Idris, karena yang aku tahu abang berada di lantai 4 bersama Pak Huardi. Aku tidak tahu suara apa tadi. Tidak henti-hentinya aku menangis sambil bertahan dengan sakitnya tanganku.
Telponku berdering, kulihat tulisan di Hp: MY BROTHER. Kujawab telpon itu. Abang : “Dek, dimana??? Abang susul sekarang”. Aku : “Di lantai 2 bang, tempat Sa’i, pas dibawah pilar hijau”. Abang : “Tunggu di situ, abang kesana”. Aku : “Buruan bang….”, dan telpon pun dimatikan.
Hujan masih deras, angin masih kencang, semua petugas menolong korban yang berjatuhan sampai pembersih bertebaran membersihkan tempat kejadian. Tempat Sa’i pun banjir disertai kaca pecah. Aku bertanya, ada apa ini? Itu suara apa tadi???
Ada seorang ibu-ibu dari Jawa berkata, “Itu katanya Crane yang jatuh”. Subhanallah, tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semua kalang kabut menyelamatkan diri dan minggir. Abangku tidak kunjung datang. Sampai papa, H. Usman Idris, menelponku untuk tetap tenang di sana, karena abang tidak ketemu.
Tangan kananku semakin biru dan bengkak, bekas luka aku bersihkan dengan Air Zam-Zam dan slayerku. Sempat tidak kuat karena sakitnya semakin hebat. Hingga Azan Magrib berkumandang, sempat terpikir, “Dimana nanti salat kalau keadaan banjir seperti ini?”. Allah Maha Besar….
Para pembersih berusaha mengeringkan lantai, hingga semua tim digerakkan sebelum iqamat dikumandangkan. Alhamdulillah, sebagian lantai sudah bisa ditempati untuk Salat Magrib. Kubentangkan sajadahku bercampur dengan saf cowok. Inilah kuasa Allah, memberikan keadaan seperti ini, asalkan niat untuk berjamaah.
Selesai salat, aku dan Bu Laili bergegas menuju pintu keluar. Masih gerimis tapi tidak terlalu lebat dan aman untuk pulang. Sesampainya di luar, aku melihat banyak sekali ambulans yang berdatangan untuk menolong para korban. Aku tersontak kaget melihat sebelah kiriku. Crane yang sangat besar berwarna merah menimpa sisi atas Masjidil Haram. Batinku, “Inilah yang tadi bersuara seperti petir”.
Karena kondisi tanganku yang sangat sakit, aku bergegas pulang. Tapi tidak satupun bus beroperasi. Bagaimana kami akan pulang?? Dengan muka sendu, kami mencari yang bisa menemani kami pulang, hingga bertemu pasangan suami istri dari Madura. Menemani kami di setiap lorong yang kami lewati, kurang lebih 2 kilo kami berjalan.
Di perjalanan, aku sudah tidak kuat lagi sampai hampir jatuh. Aku dipapah oleh jamaah lain sampai ke hotel tempat suami istri tadi menginap, ternyata terletak di Terminal Mahbas Jin. Aku menumpang istirahat sejenak.
Saat hendak melanjutkan perjalanan, aku melihat ada ambulans dan kuhampiri. Meminta pertolongan pertama buat tanganku. Saat aku akan diobati, badanku lemas, antara sadar dan tidak, karena petugas kesehatan berkata ini terlalu lama ditangani sampai bengkak dan memar.
Tanganku diperban, ternyata di dalam perban itu sangat panas. Karena obat. Ambulans itu sangat lengkap alat-alatnya.
Pukul 21.00 WAS, masih tak ada bus beroperasi. Petugas di situ menyuruh untuk berjalan saja ke penginapan. Akhirnya bertemu dengan jamaah dari Indonesia juga, merekapun sedang menunggu rekannya yang belum pulang dari kejadian crane tumbang itu. Aku disuruh menelpon petugas Kloter BTH 14 untuk menjemputku di terminal Mahbas Jin.
Aku memutuskan untuk menelpon papa, minta temannya di Arab, seorang ustad, menjemputku. Aku dan Bu Laili pulang ke hotel dengan selamat.
Kami disambut jamaah satu rombongan yang pada memelukku dan menangis. Ternyata, hanya empat orang yang belum kembali ke hotel, termasuk abangku.
Syukurlah, tidak lama kemudian, abang datang dan menghampiriku. “Sehat kan dek, istirahatlah”, tuturnya. Mulai dari situ abang memusatkan perhatian kepadaku, sampai waktu istirahatpun aku ditunggui sampai tidur.
Makkah, 12 September 2015
Hari ini ada jadwal ziarah di Kota Makkah dan Umroh Sunnah. Jadi tidak Salat Subuh di Masjidil Haram. Lagipula aku masih trauma dengan kejadian crane kemarin. Dengan tangan yang masih diperban aku nekad pergi bersama jamaah yang lainnya. Aku selalu ada di samping abang. baru kali ini aku bisa puas foto-foto sama abang.
Di sepanjang perjalanan aku melihat jalan kota Makkah yang sebagian berantakan, ada pohon tumbang, tong sampah berserakan di jalanan, dan bangunan yang roboh bahkan rumah terbakar. Mungkin itu efek dari kejadian kemarin. Ziarah di Kota Makkah hanya mengunjungi Jabbal Tsur, Jabal Rahmah, Jabal Nur, dan mengambil Miqat di tempat terjauh Nabi Muhammad SAW miqat. Aku hanya menunggu di bus karena kondisi yang masih tidak memungkinkan.
Makkah, 16 -20 September 2015
Sejak kejadian itu, aku tidak pernah lagi keluar dari hotel karena masih trauma dan menunggu kesembuhan tanganku. 16 September 2015, abang mengajakku keluar dari pagi berkunjung ke tempat sepupu yang berada di hotel kawasan Terminal Mahbas Jin. Belanja di supermaket, santai di lobi hotel, dan makan bareng di Sate Ayam seberang hotel itu.
Sekarang abang selalu dekat denganku, padahal di awal-awal abang tidak mau bersamaku. Selalu bersama jamaah bapak-bapak. Aku sangat bersyukur bisa bersama abang. Kenangan itu akan tersimpan dalam hati selamanya.
Pengumuman dari petugas Kloter, “Tidak diwajibkan kepada seluruh calon Jamaah Haji untuk pergi ke Masjidil Haram karena Bus tidak beroperasi”.
Hari-hariku pun dihabiskan di hotel dan di dekat-dekat situ saja. Salat jamaah di depan lift tetap di lantai empat. Saat pagi menjelang, kami kehabisan air. Sampai-sampai saat pihak hotel memberikan air satu galon langsung diserbu para jamaah. Karena jumlah kami yang banyak, sehingga satu jamaah hanya dijatah dua botol air yang kecil.
Jamaah satu regu menyarankan belanja di supermarket, masak buat makan. Saat itu juga aku dan yang lain belanja sayuran, telur, beras, untuk stok kami makan sampai waktunya berangkat ke Arafah. Jatah makanan kami sudah distop oleh pemerintah. Katanya akan diberikan lagi setelah pulang dari Mina nantinya.
Makkah, 21 September 2015
Rapat persiapan berangkat ke Arafah dipimpin langsung oleh abangku selaku ketua rombongan 9. Apa saja yang diperlukan termasuk peta tempat kita menjalankan Wajib dan Rukun Haji disiapkan. Selanjutnya, Pak Muslimin memimpin doanya, semoga diberikan kelancaran dan keselamatan sampai puncak haji selesai. Kami packing untuk keperluan besok dan istirahat lebih awal. (*/bersambung)