Bertaruh Nyawa demi Satu Suara

PENUH PERJUANGAN. Petugas mengantar logistic pilkada 2018 ke desa Enggelam, Muara Wis, Kaltim, Minggu (24/6). Butuh waktu berjam-jam menuju ke sana. Fuad Muhammad-Kaltim Post
PENUH PERJUANGAN. Petugas mengantar logistic pilkada 2018 ke desa Enggelam, Muara Wis, Kaltim, Minggu (24/6). Butuh waktu berjam-jam menuju ke sana. Fuad Muhammad-Kaltim Post

eQuator.co.id – Dari pedalaman Kaltim, yang hanya dialiri listrik enam jam sehari, peradaban demokrasi justru tumbuh lebih dewasa. Hak suara tak terbuang sia-sia. Golput tidak mendapat banyak tempat.

Perasaan Saprudin campur aduk. Sepucuk surat mendarat di meja kerjanya. Pada Senin (11/6). Isinya, perintah pengawalan distribusi logistik Pilgub Kaltim. Ke Dusun Ketibe, Desa Enggelam, Kecamatan Muara Wis, Kabupaten Kutai Kartanegara. Desa yang belum pernah disambanginya. Meski sudah setahun bertugas di Polsek Muara Wis. Ada rasa waswas. Membayangkan medan yang harus dilalui.

Perlu enam jam menuju Desa Enggelam. Menggunakan perahu bermesin tempel. Orang lokal menyebutnya perahu ces. Pulang pergi 12 jam. Semuanya di atas air. Berangkat bersama sinar mentari. Kembali saat langit sudah gelap.

Selain menyusuri anak Sungai Mahakam dalam balutan cuaca ekstrem, juga melintasi danau seluas 11 ribu hektare. Namanya Danau Melintang. Kaltim Post (Jawa Pos Group) turut serta dalam ekspedisi Ahad (24/6) lalu itu.

Tim berangkat dari Kantor Kecamatan Muara Wis pukul 08.30 Wita. Hari itu, Muara Wis dan sekitarnya diprediksi dilanda badai.

Muara Wis sendiri dicapai dengan waktu 4-5 jam dari Tenggarong. Pusat pemerintahan Kukar. Melalui jalan darat. Kemudian jalur sungai.

Dari kantor camat Muara Wis, rombongan menggunakan dua perahu ces. Masing-masing sepanjang enam meter. Semuanya berkapasitas maksimal enam penumpang. Bedanya cuma di mesin.

Mesin perahu yang ditumpangi tim penulis berkapasitas 16 PK. Sementara tim Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan kepolisian dibawa perahu bermesin 23 PK. Mereka membawa kotak suara Pilgub Kaltim.

Laju dua perahu itu berbeda. Juga manuvernya. Kala menghindari kayu yang mengapung di bibir air.

Dari Muara Wis, rombongan melewati Desa Sebemban, Muara Muntai Ulu dan Muara Muntai Ilir (Kecamatan Muara Muntai). Kemudian menyusuri Sungai Lebak Diding. Lalu melintasi Danau Melintang. Berlanjut ke Desa Muara Enggelam, Dusun Ketibeh, baru kemudian Desa Enggelam.

Saat distribusi, sungai sedang surut. Ini jadi masalah. Baling-baling perahu rawan terlilit ranting. Motoris memilih kecepatan tidak lebih dari 20 kilometer per jam.

Tak hanya kondisi surut yang menimbulkan masalah. Saat pasang pun bisa jadi momok. Daratan yang tergenang membuat rawan tersesat.

“Kalau surut seperti ini hanya kapal ces kecil yang bisa lewat. Karena khawatir kandas terkena kayu-kayu. Biaya sewa sekitar Rp 1,5 juta dengan waktu tempuh perjalanan ke Desa Enggelam 5-6 jam,” terang Khasmir, ketua PPK Kecamatan Muara Wis.

Biaya carter kapal longboat lebih mahal. Bisa Rp 2 juta. Sebenarnya, ada jalur lain menuju Desa Enggelam. Misalnya dari Kabupaten Kutai Barat (Kubar). Secara geografis, Desa Enggelam lebih dekat dengan Kubar. Hanya satu jam perjalanan. Warga desa pun lebih memilih membeli kebutuhan pokok di Kubar.

Ada lagi jalur lainnya. Melalui Desa Kahala, Kecamatan Kenohan, Kukar. Jalur ini di sekitar bibir Danau Semayang.

Hanya, jalur menuju Desa Kahala lebih jauh. Bisa ditempuh dengan tujuh jam perjalanan dari Kecamatan Kota Bangun. Jika melalui jalur ini, juga masih harus menyeberang kembali melalui Danau Semayang.

Biaya transportasi air menuju Desa Enggelam, justru jauh lebih mahal dibanding harga tiket pesawat ke Pulau Jawa. Biaya sewa kapal ces dari pusat Kecamatan Muara Wis menuju Desa Enggelam yang masih masuk Kecamatan Muara Wis mencapai Rp 1,5 juta.

Setelah briefing beberapa jam sebelumnya, tim beristirahat di Muara Muntai Ulu. Mengisi perut. Juga mengisi bahan bakar. Jenis premium. Sedikitnya 50 liter. Harga premium di Muara Wis jauh lebih mahal dibanding di kawasan perkotaan. Rp 10 ribu per liter.

“Karena memang tidak ada SPBU di Muara Wis. Jadi, biasanya beli eceran saja,” ucap Khasmir.

Setelah beristirahat 30 menit, perjalanan dilanjutkan. Berpapasan dengan kapal motor tujuan Kubar. Juga ponton batu bara. Gelombang yang timbul saat berpapasan bisa membuat perahu motor kandas. Itu dianggap tantangan pertama.

Tantangan kedua menanti di Danau Melintang. Air danau sedang surut. Motoris menurunkan kecepatan. “Yang begini ini bikin perjalanan jadi 5 jam. Motoris enggak berani ngebut, salah-salah malah kecelakaan,” ujarnya.

Perahu kembali meliuk-liuk. Kali ini bukan menghindari gelombang. Tapi berkelit dari daerah dangkal. Sekitar 1,5 jam mengarungi Danau Melintang, rombongan tiba di Desa Muara Enggelam. Desa ini, bila sedang musim pasang, tak akan terlihat daratannya. Di sana tim menurunkan dua kotak suara. Ada 411 warga yang tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) di sana.

Tim pengantar logistik disambut masyarakat di kantor desa. Beristirahat 30 menit. Saprudin dan Ketua PPK Muara Wis Khasmir kembali melanjutkan perjalanan. Rute terakhir. Dusun Ketibeh dan Desa Enggelam. Tantangan berlipat. Medan lebih berat.

“Bisa dibilang rute ke dalam (Dusun Ketibeh dan Desa Enggelam) tak pasti,” ujarnya. Mengapa? Motoris mesti mencari jalan lain bila jalur biasa terhalang pohon di dasar danau. DPT di Desa Enggelam sebanyak 566 orang. Ada tiga TPS di sana.

Khasmir menuturkan, kendala utama mendistribusi logistik adalah medan. Total ada 23 TPS di Kecamatan Muara Wis. “Namun, yang paling sulit medannya di tiga desa tadi,” ungkapnya. Ada lima TPS di tiga desa itu.

Satu hal yang menjadi penyemangat PPK dan petugas lainnya mengantar logistik pemilu adalah karena tingkat partisipasi yang tinggi. Pada Pemilihan Bupati (Pilbup) Kukar 2015, 80 persen warga menggunakan hak pilihnya. Paling tinggi di antara 18 kecamatan di Kukar.

Kesulitan sebenarnya tak hanya sampai pada pengiriman logistik. Laporan proses penghitungan suara real time juga jadi masalah. Tiga desa tadi belum dijangkau sinyal telepon seluler. Alih-alih internet. Mau tidak mau tim PPS mesti mendaki bukit agar bisa mendapat sinyal telepon. Bila tak bisa, harus ke Muara Muntai untuk melaporkan hasil penghitungan suara.

Keringat para petugas pengantar logistik pemilu dibayar lunas oleh warga. Bukan hadiah berupa uang, melainkan partisipasi pemilih yang tinggi. Dalam berbagai penyelenggaraan pemilu. Seperti pemilihan bupati. Juga pemilihan anggota legislatif. Hingga pemilihan presiden. Kecamatan Muara Wis memiliki persentase partisipasi yang tinggi.

Rataannya selalu di atas 80 persen. Untuk Desa Muara Enggelam dan Desa Enggelam yang terisolasi, bahkan lebih dari 90 persen.

“Alhamdulillah partisipasi masih tinggi sekali di Muara Wis ini. Mungkin masyarakat juga menaruh harapan besar kepada yang terpilih agar bisa memperhatikan mereka,” ujar Arianto, camat Muara Wis.

Ada tradisi unik menjelang pemilu di Muara Wis. Masyarakat yang bekerja atau kuliah di luar kecamatan memilih pulang kampung. Mereka dijemput sejumlah tokoh dan pejabat desa. Satu suara di desa itu begitu berharga.

Di Desa Enggelam, yang berbatasan dengan Kubar, mayoritas warganya berladang. Lokasinya jauh dari tempat tinggal. Secara berkelompok, mereka tinggal dalam waktu tertentu di sekitar ladang yang digarap. Kondisi ini membuat pihak kecamatan berupaya mengakomodasi keinginan warga untuk berpartisipasi dalam pemilu.

Melalui kerja sama dengan perusahaan yang beroperasi di Muara Wis, alat angkutan disiapkan. Mereka dijemput satu per satu. Dari ladangnya. Menuju tempat pemilihan. Tak ada warga yang menolak.

“Karena mereka sebenarnya ingin memilih, namun terkendala alat transportasi dari ladang menuju TPS,” ujar Arianto.

Pada perhelatan Pilgub Kaltim kali ini, tak satu pasang calon pun berkunjung ke Muara Wis. Terlebih lagi Desa Enggelam. Yang harus ditempuh dengan berkeringat. Dan ongkos besar. Namun, semangat warga untuk memilih, serta semangat petugas dalam penyelenggaraan pemilu, begitu besar.

“Pada pilgub ini, anggaran petugas linmas tidak ada sama sekali. Tapi, sebanyak 31 petugas linmas di sini tetap begitu bersemangat. Mereka merasa seperti gotong royong,” tutup pria kelahiran Muara Wis itu. (Kaltim Post/JPG)