eQuator.co.id – PONTIANAK-RK. Yayasan Sultan Hamid II diundang dalam acara peresmian nama Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning) di Bangka Belitung, Sabtu (22/12). Di atas bangunan tersebut juga dipasang lambang burung Garuda Pancasila raksasa.
Ketua Yayasan Sultan Hamid II, Anshari Dimyati mengatakan, undangan ia terima dari Alfani Tuk Sangkal melalui akun media sosial. Setelah melihat melalui video yang dimiliki Yayasan Sultan Hamid II pada beberapa waktu lalu dan diunggah dimedia maya (cyber space). “Alfani adalah seorang Sejarawan sekaligus Budayawan Muntok yang juga diberikan wewenang oleh Pemerintah Provinsi Bangka Belitung untuk mengelola Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning),” ujarnya kemarin.
Alfani baru mengetahui nama asli dari rumah atau gedung tersebut. Akhirnya dikembalikanlah nama asal dari Wisma Ranggam menjadi Gedung/Roemah Persinggahan BTW (Pasanggrahan Banka Tinwinning) oleh Gubernur Bangka Belitung. Dalam kesempatan itu, hadir pula Bupati Bangka Barat H. Parhan Ali, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bangka Belitung H. Kamaruddin AK, Komandan Kodim Bangka Barat Bontor Karo Karo, Keluarga Pemimpin Bangka pada jaman RIS, Sejarawan, Budayawan, Tokoh-tokoh masyarakat Bangka Belitung, dan Yayasan Sultan Hamid II dari Pontianak serta semua tokoh dan tamu undangan.
“Setelah melakukan penelitian dan pengkajian, Pemprov Bangka Belitung memutuskan mengganti nama gedung itu menjadi nama semula atau nama aslinya bernama Gedung/Roemah Persinggahan BTW,” ungkapnya.
Anshari menjelaskan, dirinya bertolak dari Pontianak ke Pangkal Pinang pada 21 Desember 2018 bersama Turiman Faturrahman. Acara peresmian nama Gedung/Roemah Persinggahan BTW dan pemasangan burung Garuda raksasa pada 22 Desember 2018 berlangsung khidmat.
“Gubernur Bangka Belitung, Erzaldi Rosman Djohan memang memiliki ketertarikan yang kuat terhadap sejarah dan budaya, membuka acara dengan semangat nasionalisme yang tinggi,” ujarnya.
Anshari berkesempatan menyampaikan isi pidato yang berkaitan dengan pentingnya perjuangan pelurusan sejarah di Indonesia. Baik sejarah Sultan Hamid II, lambang negara Indonesia Garuda Pancasila, maupun perjuangan diplomasi Indonesia dalam menghadapi transisi kemerdekaan hingga kedaulatan penuh didapatkan. Dia menjelaskan, Muntok menjadi salah satu tempat bersejarah kedaulatan Indonesia. Sebelum menghadapi perundingan di Konferensi Meja Bundar (KMB), Sultan Hamid II bersama kepala-kepala negara/daerah yang tergabung di dalam BFO, mendatangi Soekarno, Hatta, H. Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, dan lainnya yang sedang diasingkan di Muntok, Pulau Bangka oleh Belanda akibat agresi militer Belanda ke II di Yogyakarta.
Kala itu, Sultan Hamid II sebagai Ketua BFO datang ke Muntok menemui Soekarno untuk membicarakan persoalan-persoalan persatuan bangsa, agenda teknis penyerahan dan pengakuan kedaulatan, persiapan-persiapan untuk perundingan di Konferensi Inter Indonesia I & II di Yogyakarta dan di Jakarta.
“Di Gedung/Roemah Persinggahan BTW tersebutlah perundingan, lobi-lobi politik dan kesepakatan tokoh-tokoh bangsa dilakukan. Kemudian dengan kedaulatan tersebut, kemerdekaan dapat kita nikmati hari ini,” terangnya.
Dia menyebutkan, di bagian ruang makan Gedung/Roemah Persinggahan BTW menjadi ikon penting bagi pengakuan atau penyerahan kedaulatan terhadap Indonesia agar diakui dunia. Di sinilah penentuan Kemerdekaan penuh itu dicapai. Tanpa ini Indonesia sulit merdeka.
Anshari mengatakan, Pemprov Bangka Belitung terlihat sangat serius mengembangkan destinasi wisatanya. Meningat provinsi itu memiliki banyak potensi wisata, situs sejarah dan budaya berharga.
“Faktanya masih banyak memiliki tempat-tempat bersejarah yang bernilai sebagai cagar budaya yang patut terus dirawat, dilestarikan dan dipelihara dengan baik,” tuturnya.
Anshari sempat mendatangi beberapa tempat bersejarah selama tiga hari. Penyusunan yang rapih dan administrasi yang tertata membuat potensi Bangka Belitung menjadi unggul dalam hal pariwisata.
“Kami mendapatkan beberapa buku saku dan katalog wisata di sana dari Pemprov setempat. Seperti buku Come & Explore Bangka Belitung dengan semua jenis pariwisata yang bisa dijelajahi, serta katalog Cagar Budaya Bangka Belitung,” ungkapnya.
Anshari menghitung, setidaknya ada 54 jenis situs, benda, maupun bangunan wisata sejarah yang menjadi cagar budaya. Gedung/Roemah Persinggahan BTW jelas memiliki potensi mendapatkan status Cagar Budaya Peringkat Nasional. “Ke depan Bangka Belitung bergerak untuk mendaftarkan status cagar budayanya menjadi Cagar Budaya Peringkat Nasional,” jelasnya.
Kalbar, khususnya Kota Pontianak juga memiliki begitu banyak potensi destinasi. Akan tetapi ketika membandingkan dengan Bangka, begitu banyak “lubang kosong” yang harus diisi Pemprov Kalbar maupun Pemkot Pontianak. Mulai dari keseriusan menata dan menginventarisasi benda, bangunan, dan situs yang dianggap cagar budaya, hingga pelestarian dan perawatan cagar budaya tersebut.
“Sayangnya, banyak bangunan di zaman penjajahan Belanda di Pontianak serta Kalbar sudah diroboh atau dihancurkan, atau tidak sesuai dengan bentuk aslinya,” sebutnya.
Pemugaran dengan tak mentaati aturan atau Undang-undang adalah bentuk kehancuran cagar budaya. Dulu Kota Pontianak juga memiliki gedung atau rumah Residen yang terletak dekat Alun Kapuas. Kini menjadi bangunan atau gedung baru demi kepentingan penguasa pada saat itu.
Kota Pontianak juga memiliki Tugu Peringatan Pembantaian Jepang yang dibangun oleh Sultan Hamid II tahun 1945. Kemudian dirobohkan pemerintah berkuasa. Gereja Katedral hari ini juga tidak sama dengan bentuk semula.
Kendati demikian, setidaknya Kalbar masih memiliki beberapa situs sejarah yang patut diperhatikan kelestariannya. Istana Kadriah Kesultanan Pontianak serta Istana-istana Kesultanan lainnya di Kalbar. Kemudian Masjid Jami’ Sultan Syarif Abdurrahman, Tugu Khatulistiwa, Makam Kesultanan Pontianak, dan Makam Juang Mandor, dan lainnya. Ke depan beberapa situs bersejarah tersebut patut pula didaftarkan menjadi Cagar Budaya Peringkat Nasional dengan segala nilai-nilai bersejarah di dalamnya.
Masih banyak pekerjaan rumah baik bagi Pemprov maupun Pemkot Pontianak dalam menata dan membangun destinasi pariwisata. Agar ke depan, ketika tetangga bertamu tidaklah masyarakat malu. Bahkan kebanggaan atas aset sejarah dan wisata kebudayaan yang dimiliki Kalbar patut terus dijaga, dilestarikan, dan terus dikembangkan.
“Kami juga mengusulkan bahwa Pemprov Kalbar atau Pemkot Pontianak membangun Museum Sultan Hamid II dan Lambang Negara Garuda Pancasila. Bila di Yogyakarta ada Rumah Garuda, dan bila Bangka tetap terjaga Museum Sejarah Bangka, mengapa Pontianak tak bangga dengan potensi Sejarah yang dimilikinya?” lugas Anshari.
Laporan: Maulidi Murni
Editor: Arman Hairiadi