Selain menimba ilmu fotografi, 28 fotografer Jawa Pos Group (JPG) juga banyak mendapat pelajaran hidup. Kerasnya kehidupan para penambang belerang di Ijen, Banyuwangi, Jawa Timur, membuat para fotografer belajar untuk saling berbagi dan bersyukur.
Ocsya Ade CP, Pontianak
eQuator.co.id – Puas menikmati kemolekan Gunung dan Kawah Ijen plus menjepret sana-sini, kami diharuskan cepat turun ke kaki gunung. Asap dari penyulingan belerang, Kamis (31/3) siang, itu mulai pekat dan berbahaya. Semua pewarta foto terengah-engah, harus berjuang sekuat tenaga untuk melewati rute yang sangat curam.
Bagi yang sudah tak kuat, ada cara lain. Troli roda dua pengangkut belerang juga digunakan sebagai jasa ojek dorong. “Mau didorong sampai ke bawah (kaki gunung, red) Mas? Rp150 ribu saja,” tawar Suparto (31), satu diantara ratusan penambang belerang.
Dan, begitulah, sebagian dari kami ada yang menggunakan jasa itu dengan menawar Rp120 ribu. Dapat rezeki nomplok, pemuda Banyuwangi yang biasanya dipanggil Parto itu bergegas memanggil rekannya untuk mengantarkan kami menuju kaki gunung dengan jarak tempuh tiga kilometer.
Mereka, para pengais rupiah di medan menyeramkan, ini mempunyai teknik tersendiri. Jika di turunan belok ke kiri, mereka mengerem roda bagian kiri. Troli roda tersebut didesain memiliki rem pada kedua rodanya.
“Kalau bawa belerang, misal terlalu kencang dan nabrak atau terjatuh, ndak apa-apa terjatuh saja. Tapi, kalau bawa orang mesti hati-hati,” tutur Bapak dua anak itu.
Sebenarnya, pekerjaan sambilan ini sangat berisiko. Tapi apa boleh buat, ekonomi keluarga menuntut, dapat kerja apa saja ya manut.
“Ini sampingan saja, kalau ada wisatawan yang mau minta antar, kami antar. Kami fokusnya pada nambang. Dulu juga ada orang Kalbar yang ke sini dan kami antar karena dia kecapekan,” ungkapnya.
Dalam sehari di musim ramai pengunjung, Parto bisa 2-3 kali mengantar wisatawan ke kaki gunung. “Lumayanlah, bisa untuk nambah-nambah (duit,red) jajan anak,” beber dia.
Tak hanya diantar pakai troli, menggotong wisatawan pun mereka siap. Namun tarifnya muahal, kisaran Rp1-Rp2 juta. “Kalau gotong, kami berempat kerjanya,” terangnya.
Inilah kelebihan Ijen, wisatawan bisa menikmati keindahannya tanpa perlu berlelah-lelah. Asal, ya itu tadi, koceknya lumayan tebal.
“Kalau dipaksakan sih saya bisa sampai ke kaki gunung tanpa naik troli. Tapi, kita kan mencoba untuk berbagi dan ingin tahu seperti apa kehidupan para penambang ini,” jelas Cecep Mulyana, Fotografer Batam Pos yang menggunakan jasa ojek troli.
Menurut dia, perjalanan ke Ijen ini banyak pembelajaran yang didapat. “Kita harus syukuri apa yang dimiliki, pekerjaan yang dilakoni dan segalanya yang sekarang masih ada,” tuturnya.
Setibanya di kaki Ijen, pakai atau tak pakai troli, kami melanjutkan perjalanan ke coffee shop yang cukup keren di kawasan Desa Kemiren, Kecamatan Glagah. Namanya, Sanggar Genjah Arum. Di situ masih banyak cerita seru pelatihan Bengkel Foto JPG. (*/bersambung)