Berbagi Kisah Inspiratif, Berjuang Bangun Usaha

Catatan Dahlan Iskan di Ultah Perdana DI's Way (bagian ketiga)

SOSOK INSPIRASI. Dahlan Iskan bersama Robert Lai, Sudomo dan lainnya saat ultah DI’s Way perdana di lapangan basket DBL Academy, Sabtu (9/2).

Perayaan setahun DI’s Way, 9 Februari 2019 di lapangan basket DBL Academy tak hanya membuka cerita perjuangan Dahlan Iskan berhasil cangkok hati. Atau tentang berhasil lolos dari serangan penyakit aortic dissection. 

Abdul Halikurrahman, Surabaya

eQuator.co.id – Di momen ulang tahun DI’s Way, Dahlan juga menyajikan kisah-kisah inspiratif. Soal kiat-kiat membangun kerajaan bisnis. Ada Sudomo: Big bosnya kopi kapal api yang juga ikut berbagi kisah.

Dahlan lantas meminta Sudomo naik panggung. “Beliau adalah raja kopi,” ucap Dahlan sebelum meminta Sudomo bercerita panjang lebar.

Dahlan mengatakan, 25 tahun silam dia mendapat cerita: seorang Sudomo yang ingin mengubah ‘budaya’ orang Tiongkok. Yang gemar minum teh supaya beralih minum kopi.”Beliau bikin lah pabrik kopi di Shanghai,” ujarnya.

Tapi, kebiasaan orang di sana tetap saja sukanya minum teh. Nasib pabrik kopi yang didirikan Sudomo pun kurang bagus. Namun Sudomu sepertinya kadung hidup dengan hoki.

Saat pabrik kopi yang didirikannya itu kurang beruntung, tiba-tiba pemerintah Shanghai punya program: membangun lapangan balap mobil formula one. Sirkuit dibangun tepat di tanah yang berdiri pabrik kopi kurang beruntung itu. Akhirnya tanah itu dibeli pemerintah setempat. “Diganti rugilah. Keuntungannya melebihi pabrik kopi,” ucap Dahlan sembari tertawa.

Namun, belakangan budaya ngopi ikut berkembang di kota Shanghai. Tak kalah pesat seperti di Indonesia. “Sekarang pak Domo kembali bikin pabrik kopi di sana,” jelasnya.

Setelah memberi pengantar, Dahlan pun meminta Sudomo bercerita. Tentang kiat membangun dan mempertahankan usahanya itu. Di tengah serbuan pendatang baru bidang bisnis kopi. Yang kini juga digandrungi generasi melenial.

Sudomu pun memulai ceritanya. Usaha kopi kapal apinya, berdiri di tahun 1927. Kini sudah menjadi perusahaan besar. Usaha tersebut sebetulnya warisan dari orangtuanya. Orangtuanya memikul menjual kopi dari Jalan Panggung ke Pelabuhan Perak. Hanya untuk menunggu kapal dari Belanda bersandar. “Semua penumpangnya turun. Dan beli kopi,” kisahnya.

Aktivitas orangtuanya berjalan sampai tahun 1965. Atau sampai Sudomo menjadi pelajar SMA. Kebetulan Sudomo sekolah di SMA yayasan Tiong Hua.

Entah apa alasannya. Saat itu, sekolahnya tersebut ditutup pemerintah. Itu sebabnya ia putus sekolah. Dirinya pun tak lagi melanjutkan pendidikan di SMA lain.

“Akhirnya saya berhenti. Saat itu saya senang. Sekolah tutup. Wah, Enak. Bisa main-main terus,” tuturnya sembari tertawa.

Di usianya yang sudah beranjak dewasa kala itu, Sudomo menganggur. Orangtuanya menyuruh agar dia bekerja saja. Ada satu perusahaan swasta yang sudah direkomendasi ayahnya.

“Jadi saya bekerja satu tahun full di perusahaan vulkanisir ban. Di situ ramai. Tugas saya mengerok ban bekas,” ceritanya.

Setelah setahun, ia memutuskan berhenti bekerja di perusahaan tersebut. Ia kemudian kembali ke orangtuanya. Ikut jualan kopi. Menjadi sales langsung. Keliling Surabaya.

Kampung Doli menjadi tempat pemasaran yang baik kala itu. Kopi yang ia jual laris manis di sana. Maklum, aktivitas orang di kampung Doli saat itu lebih banyak malam ketimbang siang.

“Kemudian lebih besar lagi di Bangurejo. Kalau saya ke sana kenal semua dengan saya,” katanya.

Cerita itu cukup menggambarkan bagaimana kerja keras ia dulu merintis usaha kopi kapal apinya itu. Hingga kini menjadi besar. Sutomo mengatakan, seorang pengusaha sukses pasti awalnya berjuang dengan kerja keras. “Jadi, pengusaha suskes hari ini, itu belum tentu didapat dengan mudah. Pasti ada sejarahnya,” lugasnya.

Kembali ke perjuangan merintis usaha kapal apinya. Tahun 1970 Sutomo, hidupnya sudah mulai maju. Sistem pemasaran kopi sudah tak konvensional.

Dirinya coba pasang iklan. Hasilnya efektif. Untungnya cash. Bintangnya saat itu pelawak. Namanya Paimon. Begitu ditayang ke TV, omset penjualannya naik luar biasa.

Meski usaha terus menanjak, tetapi Sutomo tak berhenti melakukan ekspansi. Ia mempelajari sistem produksi kopi berteknologi. Seperti yang dilakukan orang-orang eropa. “Di eropa sudah menggunakan mesin modern,” ungkapnya.

Ia pun tertarik memiliki mesin produksi itu. Lantas ia bikin surat ke produsen mesin tersebut. “Saya dikasi penawaran. Harga mesinnya 137 juta rupiah. Itu tahun 1970,” jelasnya.

Ditahun itu, uang sebilai Rp137 juta super besar nilainya. Ia pun bingung bagaimana cara memiliki mesin tersebut. Sebab ia tak punya uang segitu banyak. “Dari mana saya bisa dapat uang,” ujarnya.

Dia tak begitu saja menyerah. Malah tekadnya semakin bulat. Harus bisa memiliki misin canggih tersebut. Selama setahun, ia belum juga bisa membelinya. “Setahun, saya hanya bertanya saja berapa harganya,” kisahnya.

Sampai-sampai ia ditanya sales mesin tersebut. Anda ini tanya terus. Tapi tidak beli. Saya bilang saya mau beli. “Tapi, tidak saya punya uang,” ucapnya.

Setelah berpikir keras, dia akhirnya beranikan diri ajukan kredit ke beberapa bank dan lembaga keuangan. Bukanya dapat pinjaman, ia malah ditertawakan.“Jadi saya tidak bisa kredit,” pungkasnya.

Setelah cara itu gagal, ia kembali ajukan kredit. Tapi langsung dari suplayer mesin tersebut. Si suplayer itu kebetulan bule. Bule itu tertarik dengan proposal yang diajukannya. “Akhirnya disetujui lah,” sebutnya.

Sutomo kredit setahun setengah. Bayar per enam bulan sekali. Orangtuanya kaget. Kata orangtuanya: ini buat bangkrut. “Saya keluarkan alasan. Kalau sehari bisa kerja 8 jam, kita bisa bayar cicilan,” katanya.

Saat itu, ia berumur 28 tahun. Setelah membeli mesin, usaha kopi kapal api dengan kemasan fakum dan hidrogen. Semakin maju.

“Saya pertama yang melakukan. Dalam 1 tahun saya jadi market leader Indonesia,” paparnya.

Dia menyimpulkan: modal menjadi sukses rumusnya hanya dua. Yaitu punya mental pemberani dan berani ‘berutang’ dengan kalkulasi yang tepat.

Menurutnya, usia muda memang waktunya bekerja keras. Sebab di usia muda nyali masih kencang. “Kalau muda itu berani mati. Kalau sudah tua sudah takut mati,” katanya berkelakar.

Selain Sutomo, ada pula pengusaha kosmetik Wardah. Salman Subakat. Dia juga berbagi cerita membangun perusahaan warisan orangtuanya tersebut.

Cerita Salman tak jauh berbeda dengan Sutomo. Membangun usaha memang perlu kerja keras dan tekad yang besar. (*/bersambung)

 

Editor: Arman Hairiadi