eQuator.co.id – JAKARTA – Ivan Armadi Hasugian, pelaku pengeboman dan penusukan di Gereja Katolik, Medan tidak terhubung jaringan teror. Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) memastikan dia mendapatkan pemahaman radikal dari berbagai situs dan media sosial. Bahkan, cara pembuatan bom juga didapatkan via internet. Ivan merupakan pelaku pengeboman dengan sebutan lone wolf, yang merencanakan, membuat dan mengeksekusi sendiri aksi terornya.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) Komjen Suhardi Alius menuturkan, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Ivan yang berusia 17 tahun 10 bulan belum terhubung dengan jaringan teror. Dia sempat mengaku bertemu dengan orang tidak dikenal, namun pengakuannya diragukan. ”Kami sudah cek, tapi tidak spesifik,” tuturnya.
Awalnya, Ivan dapat mengakses internet dari warung internet milik kakaknya. Dari internet itulah, dia mendapatkan informasi soal Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Bahkan, dia juga kagum pada pemimpin ISIS Abu Bakr al Baghdadi. ”Makanya ada simbol bendera ISIS yang dibuat sendiri,” ujarnya.
Cara membuat bom juga didapatkan dari internet. Dia menyebutkan bahwa ada sejumlah situs yang mengajarkan pembuatan bom tersebut. Dia mempraktekkan semuanya sendirian. Makanya, ditemukan berbagai kabel dan bahan bom di kamar kosnya. ”Kami telusuri situs apa saja yang dikonsumsinya,” ujarnya.
Apakah ada latar belakang tertentu yang membuatnya menjadi radikal? Suhardi menuturkan bahwa pemeriksaan terhadap Ivan masih terus dilakukan. Biasanya ada alasan tertentu yang membuat seseorang bisa seirama dengan paham radikalisme. ”Contohnya, anak dari Imam Samudera yang akhirnya tewas di Suriah,” ungkapnya.
Prilaku Ivan yang sendirian dalam merancang pengeboman dan mengeksekusinya merupakan fenomena tersendiri. Suhardi menuturkan bahwa kalau di Indonesia, lone wolf seperti Ivan ini baru pertama kali. Namun, di Prancis sudah pernah terjadi semacam itu. ”Dia memang terinspirasi dari teror di Prancis,” terangnya.
Suhardi juga menerangkan bahwa Ivan yang masih usia anak itu membuat semua pihak harus khawatir. Penggunaan internet, melalui media sosial dan berbegai situs ternyata bisa meracuni sampai ke ideologi seseorang. ”Ivan ini teracuni saat browsing di warung internet kakaknya, maka seharusnya pengawasan dari keluarga menjadi penting,” jelasnya.
Saat ini, sesuai catatan BNPT terdapat lebih dari 9 ribu situs dan media sosial yang menyebarkan pemahaman radikal. Pemblokiran situs radikalisme itu hanya satu cara yang harus diikuti dengan berbagai upaya pencegahan lainnya. ”Makanya semua harus ikut terlibat, BNPT berupaya untuk mengkoordinasi dengan semua kementerian,” paparnya.
Dugaan pelaku aksi teror di Gereja yang belajar merakit bom dari internet dan media sosial ditanggapi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dia menuturkan situs-situs yang menjurus pada ajakan berbuat teror dan radikalisme akan mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Bahkan, JK memerintahkan agar situs semacam itu ditutup saja.
”Medsos-medsos berbahaya pemerintah dapat menyetopnya,” ujar JK usai memberikan kuliah umum pada peserta sekolah pemimpin tinggi (sespimti) di Istana Wakil Presiden Jalan Medan Merdeka Selatan, kemarin (29/8). Situs yang berbahaya seperti itu akan diperlakukan seperti situs-situs porno yang selama ini telah ditutup. ”Kita memang harus hati-hati dan harus lebih dewasa memperlihatkannya,” ungkap dia.
JK sendiri belum mendapatkan laporan terkait dengan motif aksi teror pada Pastor di Medan itu. Tapi, dia mendengar beberapa spekulasi yang menyebutkan bahwa aksi teror itu bermotif dendam pribadi. ”Ada yang bilang sentimen pribadi. Tunggu hasil penyidikan dari polisi,” ungkapnya.
Lebih lanjut, JK yang berulangkali terlibat sebagai juru damai di beberapa konflik besar di Indonesia itu menuturkan masyarakat tidak boleh mudah terprovokasi. Apalagi, menyangkutpautkan satu persoalan kekerasan dengan isu-isu agama. Sebab, itu akan sangat mudah merembet dan jadi konflik yang lebih luas.
”Poso dan Ambon itu akar persoalannya bukan masalah agama, tapi masalah demokrasi (pemilihan kepala daerah, Red). Kalau Aceh masalah ketidakadilan ekonomi,” kata JK di hadapan sektiar 135 perwira peserta sespimti.
Dia mengingatkan para perwira polisi, persebaran informasi saat ini begitu cepat melalui media sosial dan internet. Itu sangat berbahaya bila dipergunakan untuk menyebarkan kebencian dan paham radikal. ”Kalau dulu 2-3 pekan baru tersebar. Sekarang 3-4 menit lewat medsos,” ujar dia.
Sementara itu, pakar analisis kebijakan perlindungan anak Hadi Utomo mengatakan bahwa penyebab Ivan Armadi Hasugian, remaja berusia 17 tahun yang nekat menjadi “pengantin” bom bunuh diri di Medan adalah kegagalan dalam pengasuhan oleh kedua orang tuanya.
Meskipun, lanjutnya, dalam hal ini kedua orang tuanya diketahui berprofesi sebagai pengacara dan abdi negara atau pegawai negeri sipil (PNS). ”Karena orang tua yang gagal mendidik dan juga mengasuh diri sendiri, rentan berdampak pada kegagalan orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak,” kata Hadi.
Tidak hanya itu, Hadi berpendapat bahwa Ivan merupakan salah satu anak yang mengalami tekanan psikologi di dalam keluarganya sendiri. Hal tersebut bisa jadi karena kedua orang tuanya yang tidak harmonis atau perlakuan kasar kedua orang tuanya terhadapnya seperti suka memukul atau membentak dengan kata-kata kasar.
Karena hal tersebut, Hadi menyebut bahwa Ivan merupakan remaja yang tengah mengalami kegagalan jiwa bukan gangguan jiwa, atau dengan kata lain tidak memiliki kecerdasan emosi. ”Anak yang seperti ini akan mencari kebahagiaan, kepuasan, dan kenyamanan di luar rumah. Ketika mencari hal tersebut dia bisa bertemu dengan orang atau kelompok yang salah atau kelompok yang benar. Kebetulan anak ini bertemu kelompok yang salah dan dibahagiakan oleh kelompok tersebut,” tuturnya.
Mengomentari hal lain, Hadi mengecam penyebaran foto wajah pelaku yang dinilainya sebagai pelecehan terhadap harga diri dan martabatnya sebagai seorang anak. Konvensi Hak Anak (KHA) Pasal 37a menyatakan bahwa anak harus dilindungi dari segala bentuk penyiksaan atau bentuk kekejaman lain atau perlakuan merendahkan martabat atau tidak manusiawi atau hukuman badan.
”Anak yang berkelakuan keliru harus diperlakukan dengan sopan, tidak disiksa, tidak diberi perlakuan kekejaman lainnya, tidak diperlakukan merendahkan martabatnya, tidak diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi,” terang dia.
Dia menambahkan bahwa pasal tersebut khusus ditujukan kepada Aparat Penegak Hukum (APH) dan militer. ”Dan harus melindungi anak dari kekerasan yang di lakukan masyarakat, seperti yang menimpa anak ini,” imbuhnya.
Menkopolhukam Wiranto juga menyatakan hal senada. Aksi yang dilakukan Ivan merupakan inisiatifnya sendiri. ”Hasil Pendalaman dari aparat keamanan, dia tidak masuk dalam jaringan teroris,’’ ujar Wiranto di kompleks Istana Kepresidenan kemarin (29/8). Menurut Wiranto, Ivan hanya terobsesi dengan apa yang dilihatnya lewat internet.
Wiranto menuturkan, paham radikalnya juga terbukti dari tulisan I Love Al Baghdadi yang ditemukan di ransel, juga cuplikan-cuplikan hasil browsing tentang ISIS. Lalu, di kamar kos Ivan ditemukan bahan bom seperti kabel tembaga, trafo, dan bubuk mesiu atau black powder. ”Mungkin bukan mesiu karena di sana banyak baterai NaCl yang biasa untuk flashlight,’’ lanjutnya. Selain itu, ada 85 bohlam dan bahan lain yang sederhana. Sehingga, ledakannya juga sangat kecil dan lebih mirip petasan ketimbang bom.
Untuk saat ini, tutur mantan Panglima ABRI itu, Ivan kemungkinan bakal dikenakan pasal yang menangani kejahatan anak di bawah umur. Sebab, usianya saat ini masih 17 tahun dan 10 bulan. Menurut dia, kasus Ivan seharusnhya penjadi peringatan serius bagi para orang tua untuk lebih perhatian terhadap perkembangan anak.
Wiranto menegaskan, terorisme merupakan musuh bersama. Tidak cukup hanya mengandalkan aparat untuk mengatasi radikalisme maupun terorisme. Peran utama dalam pencegahan justru ada pada keluarga, karena bagaimanapun keluarga adalah pihak yang paling dekat. (idr/byu/jun/dod)