eQuator – Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sudah secara resmi meluncurkan program Bela Negara pada Kamis, 22 Oktober lalu. Namun perbedaan pandangan tentang penting tidaknya kebijakan politik ini masih terus menjadi perdebatan.
Beberapa argumen yang sampai ke telinga kita. Setidaknya ada tiga pasal dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditambah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, yang jadi pijakan program ini.
Tiga pasal dalam UUD 1945 itu terdiri atas Pasal 27 ayat (3), “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan Negara”. Kemudian Pasal 30 ayat (1) UUD 1945, “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pertahanan dan keamanan Negara”.
Selanjutnya, Pasal 30 ayat (2) UUD 1945, “Usaha pertahanan dan keamanan Negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
Sebelum dilanjutkan, mungkin kita perlu menyamakan persepsi dulu, yakni bahwa program Bela Negara ini tidak sama dengan Wajib Militer yang pernah diterapkan banyak negara seperti Singapura, Tiongkok, Amerika, Korea, Chili, Ekuador dan lainnya. Karena pertanyaan itu sudah berulang kembali dijawab Ryacudu dengan kalimant “beda”, “tidak sama”. Dan tentunya itu tidak perlu lagi dibahas di sini.
Namun sebagai masyarakat awam, program ini tetap menyimpan banyak pertanyaan di tengah minimya sosialiasi yang diberikan. Ada ungkapan cukup menarik yang disampaikan seorang Pengamat Politik, Yudi Latif dalam tulisannya di salah satu kolom Kompas berjudul “Bela Negara di Tengah Asap” baru-baru ini. Kira-kira begini bunyinya: “Hidup di negara ini, warga harus semakin terbiasa untuk berdamai dengan kebingungan”.
Ada dua pertanyaan yang kerap terlontar dari orang yang sedang bingung tentang suatu persolan, “kenapa” dan “apa tujuannya”. Kenapa negara harus meminta–walaupun dalam beberapa kutipan wawancara Ryacudu menjelaskan bukan memaksa–warganya untuk mengikuti program Bela Negara? Apa motifnya? Dan kenapa pula program ini harus digerakkan secara masif dan dibatasi.
Seperti diketahui, untuk Bela Negara, Menhan membutuhkan tidak kurang dari 100 juta pria dan perempuan usia produktif. Jumlah ini harus terkumpul sejak 22 Oktober 2015 hingga 22 Oktober sepuluh tahun ke depan atau dua kali masa periode pemerintahan. Ada apa dalam sepuluh tahun ke depan? Apa yang sedang mengancam bangsa ini sebenarnya? Ketakutan macam apa yang mau di-counter?
Kita mungkin tidak terlalu mempermasalahkan jika situasinya berkata lain. Perang sudah selesai. Orang-orang Belanda dan Jepang sekarang sudah ‘semeja minum teh’ dengan pejabat kita.
Partai Komunis Indonesia (PKI) juga sudah kapok setelah gagal dalam misi mustahilnya, pada 30 September, 50 tahun lalu. Dan itu menjadi pelajaran maha penting bagi siapa saja atau kelompok manapun yang mencoba mengubah ideologi Pancasila dengan ideologi lain. Jadi apa yang akan segera ‘meledak’? Rakyat? Bisa jadi!
Tidak menutup kemungkinan, pemberontakan atau lebih tepatnya sebentuk luapan kemarahan bisa saja terjadi dan kapan saja, jika pemerintah tidak segera berhenti bermain-main dengan nasib rakyat.
Jika korupsi tidak segera diberangus, Dollar dan harga sembilan bahan pokok tidak segera stabil, kemiskinan terus akut, Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tarif listrik terus naik, lapangan kerja menyempit, pengangguran membuncit, ketidakadilan di mana-mana dan masih banyak PR (Pekerjaan Rumah) lainnya. Mirisnya, bahkan untuk urusan asap saja pemerintah kita butuh waktu berbulan-bulan?.
Sementara di sisi mata uang lainnya, kekuatan asing begitu mendominasi, mengeruk kekayaan perut ibu pertiwi. Di tengah suhu politik yang karut marut. Pengalihan isu, saling garuk, jatuh-menjatuhkan. Kebijakan ekonomi belum sepenuhnya berpihak. Pedagang kecil dipaksa bertarung dengan pemodal raksasa. Seterusnya…dan seterusnya.
Masalah kesetiaan, satu di antara masing-masing lainnya tidak pernah ragu, rasa cinta tanah air bahkan sudah terlanjur bercampur dengan darah yang mengalir di setiap nadi rakyat Indonesia.
Sumpah setia kepada negara untuk mempertahankan Indonesia sampai tetes darah terakhir sudah menjadi sumpah setiap bayi yang lahir di negeri ini. Namun kesabaran itu soal batas.
Selain soal kondisi dan latarbelakang yang banyak diperbincangkan. Apa tujuan dari program Bela Negara ini. Jika hanya untuk membentuk karakter anak bangsa untuk lebih mencintai dan menghargai negara ini. Itu sebenarnya sudah dilakukan juga oleh kementerian-kementerian terdahulu.
Hingga kini, pendidikan bela negara dikombinasikan melalui berbagai matapelajaran sekolah, di tiap jenjangnya. Dalam setia even-even kebudayaan. Ada juga program 4 Pilar Kebangsaan yang juga digulirkan. Banyak organisasi-organisasi kepemudaan yang juga memiliki program senada. Terakhir, dulu kita kenal juga yang namanya Keamanan Rakyat (Kamra), tetapi sudah dibubarkan.
Kita mungkin tidak akan melontarkan pertanyaan-pertanyaan genting di atas, soal situasi dan kondisi, kalau program ini misalnya digulirkan melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bukan Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Wibawa negara ini terbangun karena rakyatnya kuat. Negara tidak akan mudah dihancurkan atau disusupi kekuatan manapun, jika masing-masing dari kita mau jujur dan adil soal pembagian hak dan kewajiban.
Namun, karena program ini sudah terlanjur bergulir, dan selama itu baik bagi bangsa ini, rakyat berkewajiban mendukungnya. Kita tidak berharap jika program ini hanya dijadikan pemanis belaka yang ujung-ujungnya hanya menambah daftar panjang proyek kementerian. (Fikri Akbar)