Ular aneka jenis dan babi hutan biasa dijumpai Satriani dalam perjalanan menuju sekolah. Bertahan demi para murid meski masih berstatus honorer dan insentif tak bisa menutupi biaya transportasi.
SAKINAH FITRIANTI, Pangkep
eQuator.co.id – JALANAN dikelilingi gunung kapur. Bebatuan besar di kiri dan kanan. Di bagian tepi, jurang terjal menganga. Terpeleset sedikit, bisa berujung maut.
Begitulah akses ke SDN 44 Bakka, Kelurahan Bontoa, Kecamatan Minasatene, Pangkep, Sulawesi Selatan. Medan ekstrem ke kawasan yang terisolasi itu pula yang harus dilalui Satriani, guru di sekolah tersebut.
Setiap hari, selama 10 tahun terakhir, Satriani menyusuri jalan pendakian sepanjang 3 kilometer, lalu jalan turunan sepanjang 4 kilometer. Pergi pulang, total dia harus berjalan kaki sepanjang 14 kilometer.
”Dari rumah, saya harus naik motor dulu sampai ke titik terakhir jalan yang bisa dilalui kendaraan,” urainya kepada Fajar.
Ibu dua anak itu sebenarnya masih berstatus guru honorer. Mengampu mata pelajaran agama Islam. Sejak 2008. Kendati begitu, dia bertahan. Tetap mengabdi di tengah kondisi berat.
Tawaran untuk pindah lokasi mengajar memang kerap datang kepadanya. Sekerap itu pula dia menolak. Bagi dia, murid-murid dan masyarakat Bakka sudah seperti keluarga sendiri. Dia betah mengajar di atas perbukitan itu.
Perjuangannya dimulai setelah salat Subuh berjamaah dengan suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai petani. Satriani mengendarai sepeda motor ke permukiman warga di Kelurahan Bontoa. Jaraknya 8 kilometer. ”Jadi, memang perjalanan saya tiap hari cukup jauh. Sekitar 30 kilometer tiap hari,” katanya.
Setengahnya dilalui dengan kendaraan. ”Kemudian, setengah lagi dilanjut dengan jalan kaki,” sambung perempuan kelahiran Samaelo, 20 Juli 1986, itu.
Kerap dia jumpai binatang liar di perjalanan. Saat berada di tengah hutan. Mulai ular aneka ukuran dan jenis hingga babi hutan. Alasan itulah yang membuat dia selalu sedia sangkur di ransel yang dibawanya tiap hari. Senjata tajam tersebut digunakan sebagai alat berjaga-jaga saja. ”Apalagi kalau saya sendirian jalan pulang. Biasa sudah, malam baru sampai di rumah dan keluar dari rumah masih subuh,” kata guru pendidikan agama Islam itu.
Di SDN 44 Bakka, dia mengajar 26 murid. Dari kelas I hingga kelas VI. Memang tak banyak murid di sekolah itu.
Di kelas I, hanya ada enam murid. Kelas II punya tiga murid. Di kelas III, ada dua murid. Kelas IV diisi empat murid. Kelas V memiliki delapan murid. Lalu, di kelas VI ada delapan murid.
Itu pun, hanya ada tiga ruang kelas. Kelas I digabung dengan kelas II, kelas III digabung dengan kelas IV, dan kelas V digabung dengan kelas VI. Tidak ada aliran listrik di kampung tersebut. Kondisi itu cukup menyulitkan murid ketika ada buku yang hendak difotokopi. ”Sama sekali tidak ada listrik. Jaringan seluler juga tidak ada,” katanya.
Jadilah kalau ada materi pelajaran yang akan difotokopi, dia harus mempersiapkannya lebih awal. ”Supaya dapat difotokopi di kota,” urai Satriani.
Untuk semua perjuangan itu, insentif yang dia terima sangatlah tak sepadan. Biaya transportasi saja –yang menempuh jarak begitu jauh– tidak bisa tertutupi dengan insentif yang dia terima per triwulan melalui pos bantuan operasional sekolah (BOS).
Namun, Satriani memakluminya. ”Pemberian insentif honorer berasal dari dana BOS. Sementara jumlah siswa yang sedikit juga menjadi tolok ukur dana BOS,” katanya.
Untuk menghemat dan menutupi pengeluaran, setiap menjalani rutinitas mengajar di sekolah tersebut, dia kerap membawa bekal. Antara lain, mi instan dan telur.
”Banyak juga warga yang mengajak untuk makan. Jadi, kami biasa ke rumahnya untuk numpang makan siang,” katanya.
Kepala Bidang (Kabid) Jalan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Pangkep Kallang menjelaskan, jalanan ke Bakka akan dikerjakan. Diharapkan, ke depan jalan itu sudah bisa dilalui kendaraan. Untuk tahap awal, akan dikerjakan 4 kilometer. ”Kami sudah anggarkan sebesar Rp 1 miliar,” katanya.
Satriani tentu berharap sekali janji itu terwujud. Agar sedikit mengurangi beban dan risiko yang dia tanggung demi bisa mengajar murid-murid tercinta. (*/Jawa Pos/JPG)