Barista Anti Mati Gaya

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Banyak pengalaman lucu selama mengikuti Indonesia Shari’a Economic Festival 2018. Apalagi dengan penampilan barista di stand Bank Indonesia.

Ketika lewat di stand sebuah pondok pesantren yang memajang banyak produk kopi, saya dicegat barista yang bertugas di situ.

“Nah ini barista senior dari Bank Indonesia. Tolong action dulu di stand kami,” kata barista berbadan kurus, yang saya tidak sempat menanyakan namanya itu.

Mas Eko Suprayitno yang berdiri di samping saya langsung tertawa ngakak. “Langsung dapat gelar barista senior nih,” ujarnya sembari cekikikan.

Apa boleh buat. Majulah saya. Barista di stand itu segera menyodorkan berbagai alat penyeduh kopi. Dari termometer, timbangan digital hingga mokapot dan timer. “Kita akan segera menikmati cita rasa kopi produk pesantren yang diracik barista senior Bank Indonesia,” katanya.

Mas Eko yang berdiri di deretan pengunjung tampak senyum-senyum sembari mengarahkan kamera handphone ke arah saya. “Barista senior siap action!” sahutnya.

Terus terang, saya sebenarnya bukan barista sungguhan. Ilmu menyeduh kopinya hanya ala kadarnya. Belajarnya pun suka-suka, di sela-sela menulis naskah buku. Bersama Jos Granados.

Doktor Eko Suprayitno yang tergelak melihat penulis beraksi sebagai barista senior

Tapi show must go on. Tidak boleh mundur lagi. Yang ingin mencicipi sudah menunggu. Berjejer di seputar meja.

“Oke guys… sekarang saya akan memperlihatkan cara menyeduh kopi terbaik dengan cara termudah. Dijamin bapak dan ibu bisa melakukannya sendiri di rumah,” kata saya.

“Apa kopi terbaik di stand ini?” tanya saya kepada dua barista yang berdiri di kiri dan kanan saya.

“Ada kopi Arabica dan Robusta. Hasil roasting seminggu yang lalu,” kata barista yang kurus sembari menyodorkan dua kantong kopi.

Saya buka satu per satu kantongnya. Lalu saya hirup aromanya. “Ini kopi yang bagus,” kata saya kepada pengunjung.

“Ada kopi lain yang unik?” tanya saya.

“Ada kopi lanang,” sahut barista yang gemuk.

Ini dia. Kata saya dalam hati. Memang kopi ini yang saya incar sejak hari pertama pameran.

“Oke bapak dan ibu. Saya akan menyeduh kopi lanang. Nanti semua bisa mencicipi kelezatannya,” kata saya.

Segera saya tuangkan kopi lanang yang masih butiran itu ke mesin grinder. “Tidak ditimbang dulu senior?” tanya barista kurus.

“Seharusnya kopi ditimbang sebelum masuk mesin grinder. Tapi bagi yang sudah biasa, cukup dengan feeling,” jawab saya dengan suara keras agar terdengar di telinga pengunjung.

“Barista senior memang beda. Feelingnya sudah terlatih,” kata barista gemuk. Pengunjung di depan saya tampak mengangguk-anggukkan kepala.

Saat hendak menuangkan air panas, lagi-lagi barista kurus bertanya. Apakah saya butuh termometer. “Barista senior bisa main feeling. Air yang sudah mendidih, diamkan saja barang 3 hingga 5 menit. Suhunya akan turun menjadi kurang lebih 80 derajat Celsius,” jawab saya.

“Barista senior memang beda. Feelingnya benar-benar main,” komentar barista gemuk.

“Ini bisa sebagai panduan bapak dan ibu di rumah yang ingin ngopi enak tapi tidak punya termometer. Bisa pakai feeling. Tunggu 3 – 5 menit setelah air mendidih,” jelas saya.

Pelan-pelan saya tuangkan air dari ceret leher angsa itu ke permukaan bubuk kopi di dalam V60. “Diamkan dulu 30 detik hingga 1 menit,” kata saya.

“Tidak langsung dituang air yang banyak senior?” tanya si kurus.

“Oh, jangan. Biarkan dulu air panas ini mengurai senyawa yang ada dalam bubuk kopi,” jelas saya menirukan petunjuk Jos Granados, teman saya yang barista sungguhan saat mengajari saya menyeduh kopi.

“Lama juga ya,” kata si gemuk.

“Harus sabar. Kopi yang dibuat terburu-buru hanya menghasilkan kopi pahit,” jelas saya dengan gaya yang meyakinkan.

“Ikuti petunjuk senior. Ini baristanya Bank Indonesia pusat. Sudah teruji,” kata si kurus. Si gemuk saya lihat mengangguk-anggukkan kepalanya.

Akhirnya selesai juga pertunjukannya. Setengah mokapot tersaji. Cukup untuk lima gelas tester berukuran kecil.

“Bagaimana rasanya?” tanya saya kepada seorang ibu yang datang bersama anak gadisnya.

“Pahit. Boleh minta gula?” jawabnya.

“Bagaimana dengan adik kita?” tanya saya kepada gadis itu.

“Pahit om. Saya sukanya pakai susu,” komentarnya.

“Jadi bapak dan ibu. Kopi itu memang ada pahitnya. Tapi jangan karena pahit lalu minum kopi dengan gula atau susu. Minum saja kopinya tanpa campuran apa pun. Ulang lagi dan ulang lagi sampai bisa menemukan enaknya kopi,” jelas saya.

“Bagaimana rasanya mas barista?” tanya saya.

“Pahitnya nendang banget senior,” jawabnya.

Tiga dari lima gelas tester sudah diteguk. Semua berkomentar pahit. Sisa dua gelas lagi. Saya berbagi dengan Mas Eko.

“Bagaimana Mas Eko rasanya?” tanya saya.

“Pahitnya josss banget nih,”jawabnya sambil memberi kode jempol.

Susah empat tester mengatakan pahit. Terakhir giliran saya. Ternyata memang pahit.

Sepertinya kopinya terlalu pekat. Komposisinya kurang tepat karena tidak menggunakan alat pengukur. “Kopi lanang memang pahit. Tapi itulah keistimewaannya. Namanya juga kopi tidak normal. Jadi, nikmatilah ketidaknormalannya,” jelas saya .

Dua barista – si kurus dan si gemuk – tampak puas. Sebelum saya pulang, keduanya minta foto bersama. “Terima kasih senior sudah bersedia mampir. Kami bangga mendapat kunjungan barista senior Bank Indonesia…” ucapnya.

Saya hanya bisa tertawa. Dalam hati. Andai dia tahu siapa saya, mungkin dia akan menyesal berfoto bersama.(jto)

*admin disway.id, redaktur tamu eQuator.co.id