Banyak Penegak Hukum Tak Paham Putusan MK

Pengawasan BUMN-BUMD

Ilustrasi : Internet

eQuator.co.id – Jakarta-RK. Penegak hukum yang mudah menjerat korupsi BUMN dan BUMD dengan dalih terjadi kerugian patut disayangkan. Sebab, itu menunjukkan ketidakpahaman mereka terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai audit keuangan BUMN dan BUMD.

Pengamat hukum asal Universitas Gadjah Mada (UGM) Richo Wibowo mengatakan, dalam praktiknya, memang banyak penegak hukum yang tidak memahami sepenuhnya putusan MK No 62/PUU-IX/2013. Dalam pertimbangan putusan tersebut sebenarnya tegas disebutkan bahwa audit keuangan BUMN tidak boleh disamakan dengan instansi pemerintah.

“Ini yang tidak banyak dipahami penegak hukum,” ujarnya. Dengan adanya putusan tersebut, penegak hukum semestinya mengawasi keuangan negara yang ada di BUMN atau BUMD dengan paradigma usaha atau business judgment rule. Tidak lagi berdasar paradigma pengelolaan kekayaan negara dalam penyelenggaraan pemerintahan atau government judgment rule.

Artinya, jika terjadi kerugian dalam BUMN dan BUMD, penanganannya tidak bisa disamakan dengan yang terjadi di instansi pemerintahan. Yang disampaikan kandidat doktor dari School of Law, Utrecht University, itu memang terdapat dalam putusan MK nomor 62 di halaman 233.

Richo menambahkan, putusan MK tersebut juga tidak bulat. Hakim MK saat itu, Harjono, melakukan dissenting opinion. Dia menyatakan, keuangan BUMN terpisah dengan keuangan negara dan harus tunduk pada hukum privat. “Hakim Harjono menyatakan, BPK tetap berwenang mengaudit BUMN, tapi harus tunduk dengan style hukum privat,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu mengatakan, soal kerugian negara dan kekayaan negara memang kerap multitafsir. Apalagi jika menyangkut bisnis yang dilakukan BUMN dan BUMD. Penegak hukum sering tidak memahami setiap UU yang menaungi.

“UU BUMN, UU BUMD, dan UU Perseroan Terbatas (PT) itu ibarat sopir yang mau ke Bandung dan lewat tol Cipularang. Namun, lantas disalahkan dan diperiksa pakai UU Keuangan Negara yang diibaratkan kenapa ke Bandung tidak lewat puncak,” katanya. Memang sama-sama sampai ke Bandung, tetapi tidak tepat.

Menurut dia, sudah pada tempatnya kalau BUMN, BUMD, maupun PT memakai UU yang memang diperuntukkan. Yakni, aset negara dipisahkan agar pengelolaan tidak mengikuti mekanisme APBN. “Tapi tidak pernah dipakai. Padahal, sudah ada dan jelas,” imbuhnya.

Mengenai putusan MK, dia juga membenarkan bahwa aset milik BUMN masih terikat dengan negara. Tetapi, tidak menegaskan harus tunduk dengan UU Keuangan Negara. Menurut dia, kerugian negara bahaya kalau dilihat hanya sepotong-sepotong. Yang harus dilihat, apakah secara akumulatif terjadi kerugian negara akibat kelalaian.

“Harus pakai business judgment rule, kalau sudah diputuskan lewat RUPS, dan telah dilakukan dengan hati-hati, itu masuk risiko bisnis. Bukan kerugian negara,” katanya.

Dia lantas mencontohkan kinerja PT Pertamina yang selalu ada kerugian di salah satu lini bisnisnya. Namun, secara akumulasi, kinerja Pertamina itu menguntungkan. Kalau setiap kerugian lantas dipolisikan, bisa-bisa Pertamina tidak akan pernah berkembang. “Bahaya juga kalau dilihat per parsial waktu. Saat awal saya membangun pabrik, pasti rugi karena ada pengeluaran. Tetapi, secara akumulasi, nantinya bisa saja tidak rugi kan,” katanya.

Itu berbeda jika kerugian tersebut muncul karena kelalaian direksi. Namun, penegak hukum harus mengedepankan konsep business judgment rule dulu. Apakah kerugian yang muncul karena strategi bisnis atau tidak.

Penilaian pengamat hukum Richo Wibowo dan praktisi BUMN Said Didu itulah yang tergambar dalam tanggapan jaksa penuntut umum (JPU) atas eksepsi Dahlan Iskan Selasa lalu (20/12). Entah sengaja atau memang tidak tahu, dalam tanggapannya, JPU hanya mengutip sepotong putusan MK.

Mereka hanya mengutip bahwa kekayaan BUMN dan BUMD termasuk kekayaan negara. Namun, mereka tak mengutip pertimbangan mengenai pengawasan keuangan BUMN dan BUMD yang tidak boleh disamakan dengan pengawasan keuangan kementerian atau lembaga negara. (Jawa Pos/JPG)