Bangkrut, LPS Rekomendasikan Cabut Izin 75 Bank

74 BPR,1 Bank Umum

MEDIA GATHERING. Direktur Group Penjaminan LPS Prisnaresmi Joeniarto ketika acara media gathering dengan sejumlah wartawan di Hotel Harris Pontianak-Gusnadi/RK

eQuator.co.id – Pontianak-RK. Semenjak di bentuk, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mencabut sebanyak 75 izin perbankan yang kolaps atau bangkrut. 74 Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan 1 bank umum.

Menurut Direktur Group Penjaminan LPS Prisnaresmi Joeniarto jumlah tersebut terhitung dari 2006 sampai sekarang. Pada 2016 ini terdapat sembilan bank yang dicabut izinnya. Bahkan menurutnya, jumlah ini kemungkinan akan bertambah.

“Saya tidak bawa datanya, namun demikian bukan berarti BPR tidak berkembang, buktinya sampai saat ini banyak BPR yang muncul,“ katanya saat acara media gathering dengan sejumlah wartawan di Hotel Harris Pontianak, Selasa (25/10).
Pencabutan izin ini, kata dia, merupakan salah satu dampak persaingan. “BPR harus bisa menjaga berapa biaya yang harus dikeluarkan, membayar tingkat bunga kepada nasabahnya dan berapa yang harus mereka peroleh dari jumlah kredit,” ujarnya.

Jika tidak pas, kata Prisnaresmi, bank tentu akan mengalami kesulitan. Terlebih, saat ini sudah bank menyalurkan dana dengan bunga rendah. Sehingga, masyarakat bisa memilih untuk beralih.

“Saya rasa itu merupakan seleksi alam,” ujarnya.
Dijelaskan dia, dalam proses pencabutan izin, wewenang berada di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kemudian LPS melakukan perhitungan. “Artinya dalam perannya, LPS hadir untuk penilaian, jika lebih murah pencabutan izin usaha atau lebih murah untuk menyelamatkan bank,” pungkasnya.

“Jika lebih murah dicabut LPS, akan merekomendasikan ke OJK untuk mencabut izin usaha bank itu. Ketika dicabut LPS mulai menjalankan fungsinya dengan penjaminan simpanan serta likuidasi bank,” timpal Prisnaresmi.

Ditambahkan, Dewan Penasihat DPD Perhimpunan Bak Pengkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Kalbar Syafrin Lewi, dibanding bank umum, BPR masih terkendala dari segi teknologi. “Seperti halnya sistem yang harus dipenuhi dalam pelayanan, networking-nya harus lebih ditingkatkan, contohnya kita buka cabang di KKU dan koneksi networking-nya sangat dibutuhkan, dan untuk itu kita kembali lagi ke dana yang harus dikeluarkan cukup besar,” ungkapnya.

Dijelaskan Syarfin, paradigma masyarakat yang menganggap BPR merupakan tempat kredit tidak sepenuhnya tepat. Sebab, BPR masih banyak menyediakan produk-produk lainnya, seperti menabung. “Orang beranggapan bahwa BPR hanya tempat untuk kredit, dan mereka tidak tahu di BPR juga bisa menabung. Nah, paradigma ini juga yang akan kita ubah, dengan kata lain dari nama BPR yang awalnya Bank Pengkreditan Rakyat akan kita ubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat,” demikian Syafrin. (agn)