eQuator.co.id – Alamat itu benar. Tetap benar. Masih benar. Masjidnya di rumah itu. Di pojokan itu. Di dalam pagar kayu yang rapat itu. Itulah satu-satunya rumah yang ada pagarnya di kota Hays. Yang tidak pernah ada tanda-tanda kehidupan itu. Begitulah hasil penelusuran saya. Trims, pembaca ikut menelusuri keberadaannya.
Hari Jumat berikutnya saya ke pojokan itu lagi. Melewati pusat kota. Yang penuh dengan gereja. Satu deret jalan saja bisa ada tiga gereja. Beda aliran. Hampir berhimpitan. Saya sengaja datang ke pojok itu agak telat: pukul 12.30. Sepi. Masih sama: tidak ada nafas yang terdengar. Saya coba tunggu di pinggir jalan. Sambil menulis naskah untuk Disway.
Saya satu-satunya orang yang menunggu entah apa di sebuah mobil satu-satunya yang parkir di kawasan itu. Uh… panjang banget kalimat ini, hahaha.
Setengah jam kemudian ada kejutan: sebuah pick-up berhenti di depan yang seperti pintu itu (baca Disway Jumat lalu). Di bak mobilnya ada tangga. Ada kaleng cat.
Pengemudinya turun. Bawa tangga. Masuk ke yang seperti pintu itu. Tanpa prosedur. Seperti pemilik rumah. Setidaknya seperti sudah biasa masuk pekarangan itu. Orang bule. Badannya gemuk. Pakai jean. Sepatu proyek. Cambang dan kumisnya lebat. Memutih.
Saya turun dari mobil. Melongok ke dalam yang seperti pintu itu. Saya ucapkan salam ke si gendut itu: hai… good afternoon. Ia menyambut dengan ramah. Saya perkenalkan diri. Dia juga. Ternyata dia kontraktor. Yang akan memperbaiki pagar bangunan itu.
Pada jam-jam yang saya kira mau Jumatan. Ia mengatakan lagi survey. Untuk memasang tanda. Sesuai dengan kontrak dengan owner-nya. Agar orang tahu rumah apa ini. Ialah yang memberi tahu saya: ini tempat orang Islam kumpul.
”Mana orangnya?” tanya saya.
Si Gendut geleng-geleng kepala. Ia tidak tahu. Tidak tahu apa-apa. Tapi ia baik sekali.
”Saya kenal pemiliknya ini,” katanya.
”Namanya Sayed. Saya berteman dengan Sayed. Memberi beberapa kali pekerjaan kecil,” katanya.
Ia pun merogoh saku. Ambil HP. Ia bicara dengan yang disebut Sayed. Tentang pekerjaan yang akan ia lakukan di situ. Lalu menceritakan ada orang Indonesia. Ingin sembahyang. Setelah mendengar penjelasan yang disebut Sayed ia menepuk bahu saya: ‘’Sembahyangnya nanti pukul 14.30. Anda kembali lagi saja nanti pada jam itu. Jangan tanya-tanya saya. Saya tidak tahu apa-apa’’.
Lalu ia pulang. Meninggalkan saya sendirian di halaman sempit itu. Saya teringat persis kata-kata si Gendut baik hati. Salat Jumat pukul 14.30? Hah? Salat Jumat aliran apa ini? Di Indonesia pukul 12.30 sudah selesai. Paling telat, kalau khotbahnya egois, pukul 13.00. Tergantung pula jam pergeseran mataharinya.
Jam berapa pun, ini menarik. Setidaknya sudah ada pertanda-pertanda. (Bagi yang suka membaca novel-novel Paulo Coelho tentu tahu, istilah ‘pertanda-pertanda’ itu sangat dalam artinya). Saya tidak mau balik lagi. Saya akan tunggu di situ saja. Dua jam lagi. Saya harus memanfaatkan pertanda-pertanda itu.
Kalau benar ini yang disebut masjid, tentu boleh masuk. Kenapa tidak. Sudah ada pertanda-pertanda. Saya naiki tangga teras kecil. Tangga kayu. Teras kayu. Saya dorong pintunya. Tidak terkunci. Upss… terlihat dapur. Agak berantakan. Saya lebih melongok lagi: ada pintu toilet.
Tiba-tiba saya ingin kencing. Dorongan ingin kencing membuat saya masuk rumah itu. Habis kencing saya dorong pintu yang lain: hamparan sajadah. Ini dia. Masjid beneran. Bukan lagi pertanda-pertanda.
Di hamparan karpet tebal itulah saya menanti. Menunggu datangnya jam 14.30. Sendirian. Sepi. Sunyi. (dis)