eQuator.co.id – Berat badan saya turun terus. Tinggal 66 kg. Dari 70 kg sebelum operasi. Saya harus melawannya. Dengan makan lebih banyak.
Tapi sampai Rabu (14/2) selera makan saya belum pulih. Air liur masih terasa pahit. Seperti umumnya orang yang habis sakit keras yang lama.
Saya paksakan untuk makan banyak. Biar pun tidak ada selera.
Teman-teman mengatakan saya terlalu kurus. Pipi menipis. Tapi dengan tinggi 168 cm sebenarnya itulah berat ideal saya. Menurut kaidah kesehatan. Hanya saja karena belum pernah sekurus ini rasanya seperti orang habis sakit.
Memang. Kalau saja saya sudah bisa olahraga seperti dulu, kekurusan badan saya ini sedikit tertutupi oleh otot yang terbentuk. Sayangnya saya belum bisa ikut senam secara penuh.
Sesekali saya memaksakan diri bergabung dengan grup senam saya tapi hanya untuk ikut pemanasannya. Kadang bisa sampai akhir tapi dengan porsi gerak hanya 25 persennya.
Saya temui dokter Benjamin. Konsultasi soal turunnya timbangan itu. Jangan-jangan ada bahaya lain di baliknya.
“Kalau sampai sebulan ke depan masih terus turun kita periksa lebih detil,” ujar Dr dr Benjamin Chua, yang mengoperasi aorta saya.
Yang harus diingat, katanya, saya adalah mantan penderita kanker stadium akhir. Kanker hati. Yang waktu itu, 11 tahun lalu, diatasi dengan cara mengganti hati yang penuh kanker itu dengan hati baru milik orang yang meninggal.
Logikanya benih-benih kanker itu sudah beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Sejauh ini tidak ada tanda-tanda benih kanker itu muncul kembali. Setiap enam bulan saya check-up ke rumah sakit di Tianjin, Tiongkok. Diteliti kemungkinan muncul kembalinya kanker itu. Tidak ditemukan.
Tapi dengan pecahnya aorta saya di Madinah akhir Desember lalu kondisi badan saya sangat drop. Apalagi aorta dissection itu baru ketahuan setengah bulan setelah kejadian.
Dengan kondisi badan yang lagi drop segala penyakit bisa muncul tanpa perlawanan dari sistem imunitas tubuh. Apalagi sejak ganti hati itu saya minum obat untuk menurunkan imunitas badan. Setiap hari.
Yang juga saya khawatirkan adalah banyaknya obat yang saya minum selama proses penyelesaian aorta dissection ini. Pasti mengganggu sistem tubuh saya. Termasuk akibat banyaknya cairan kontras yang masuk ke tubuh saya selama saya menjalani CT scan yang berulang kali.
Pernah, untuk persiapan operasi, CT Scannya empat kali. Berarti empat kali juga cairan kontras dimasukkan ke darah saya. Itulah cairan yang berasal dari proses nuklir. Mengandung radiasi. Untuk membuat kamera bisa membedakan mana bagain tubuh yang bemasalah dan mana yang normal.
Di Tianjin, saya hanya boleh menjalani CT Scan enam bulan sekali. Agar tidak terlalu sering ada cairan kontras yang masuk tubuh. Itu pun setiap kali mau CT Scan diingatkan agar membawa air minum 1,5 liter.
Begitu CT Scan selesai air sebanyak itu harus diminum. Untuk membersihkan penguruh cairan kontras dari dalam darah.
Sedang di Singapura ini, sekali CT Scan langsung empat seri, berarti empat kali pula dimasuki cairan kontras. Hanya dalam waktu dua jam. Padahal dua hari sebelumnya sudah menjalani proses yang sama. Begitu banyak cairan kontras yang masuk tubuh saya.
Di Singapura, dokter tidak mengingatkan perlunya minum banyak air setelah CT Scan. Tapi Robert Lai menyiapkannya. Teman saya itu sudah terbiasa merawat saya di Tianjin. Tahu apa yang harus dilakukan.
Tapi empat kali dimasuki cairan kontras hanya dalam waktu dua jam membuat saya khawatir. Tidak mungkin saya minum 1,5 liter x 4 sekaligus.
Kembali ke soal berat badan yang merosot terus. Apa yang paling dikhawatirkan dengan terus turunnya berat badan?
“Terus terang kita harus mulai waspada dengan kanker,” kata dokter Benjamin Chua. “Apalagi Anda punya riwayat itu,” tambahnya.
Tapi Benjamin minta saya bersabar dulu. Jangan panik. Tunggu sebulan lagi. Apakah berat badan masih terus turun.
Saya pun pulang ke Indonesia. Untuk ikut Hari Pers Nasional di Padang. Yang puncaknya dihadiri Presiden Jokowi. Saya, kata teman-teman, sebaiknya hadir. Saya adalah Ketua Umum Serikat Perusahaan Pers.
Soal kesehatan saya, satu tim dokter disiapkan. Yang melakukan pemeriksaan tekanan darah, dll, tiga kali sehari.
Saya bersyukur bisa hadir di Padang. Termasuk bisa ikut pertemuan khusus lima wartawan senior dengan Presiden Jokowi. Tentu saya tidak akan beberkan jalannya pertemuan. Atau pembicaraan khusus itu. Itu pertemuan tertutup. HP pun harus ditinggal di luar ruangan.
Saya bahagia bisa empat hari di Padang. Bertemu teman-teman pers dari seluruh Indonesia.
Hanya saja, program menaikkan berat badan saya gagal. Air liur saya yang masih pahit tidak cocok dengan jenis nasi di sana yang dalam bahasa Kalimantan, disebut karau.
Di Jawa, saya suka masakan Padang karena nasinya sudah disesuaikan dengan selera lokal: tidak suka nasi karau.Tidak pulen.
Saya pun tiap hari makan lontong. Atau ketupat. Dengan lauk monoton: sate padang…yang hanya saya ambil sausnya…untuk makan ketupat itu. (Bersambung)
Note: Atas permintaan banyak pembaca, Dahlan Iskan memperpanjang tulisan bersambungnya, “Lolos dari Lubang Aorta Dissection”, dari 10 menjadi 12 edisi.