Asiang idealis soal suasana ketika menikmati kopi. Ia ingin orang-orang yang datang ke warkopnya tidak sekadar nongkrong, bincang-bincang bisnis, berbual ria, ditemani satu dua cangkir kopi.
“Orang bilang suruh pasang internet, oh tidak mau saya, tidak usahlah,” ujarnya.
Karena, dia menginginkan orang-orang datang ke warkopnya untuk benar-benar menikmati kopi sembari bersosialisasi. “Sekarang anak muda juga udah ngerti minum kopi, mereka ke sini memang mau minum kopi,” jelas Asiang.
Mungkin itu sebabnya ia tak berniat untuk membuka cabang, pun tidak terpikir untuk mewariskan usahanya yang sudah punya branding itu. “Kalau saya sudah tak ada, tutup jugalah mungkin warkop ini,” tukasnya.
Ia mengaku sering mendapat tawaran membuka cabang atau bahkan membuat waralaba untuk warkopnya. “Di Jakarta, di Surabaya, di Bandung, orang datang nanyakan, tapi saya bilang tidak,” beber Asiang.
Dan, pria yang sudah lebih dari 20 tahun menjalankan bisnis warung kopi ini tidak merasa jenuh menyeduh kopi. “Karena itu saya tidak mau buat banyak-banyak, udah segini saja cukup,” tuturnya. Asiang sangat ketat dengan jadwal kerjanya, di atas jam 12 siang, jangan harap berkesempatan menyaksikan atraksi khasnya ketika menyeduh kopi.
Saksi keberadaan Warkop Asiang pun mengakui kepiawaiannya. Adalah Vincencius, 78 tahun, bersaksi kalau Warkop Asiang merupakan salah satu yang tertua di kawasan Gajah Mada hingga Merapi.