-ads-
Home Kolom Arab Saudi dan Paradoksnya

Arab Saudi dan Paradoksnya

Oleh Ibnu Burdah

Kolom. Ibnu Burdah

eQuator.co.id – VISI Kerajaan Arab Saudi untuk membuka diri ke dunia terlihat indah pada awalnya. Namun, mengubah negara yang sejarahnya sejauh 150 tahun dengan ashr al infitah (era keterbukaan) tak semudah itu. Banyak faktor yang menghalangi proyek besar Muhammad bin Salman (MBS) 2030.

Semangat rukyat 2030 memang mengacu pada perubahan Arab Saudi. Lebih tepatnya, perubahan ekonomi di Tanah Suci. Saudi ingin melepas peran ’’juragan minyak’’ serta masuk ke pasar investasi dan finansial global.

Kenapa harus melepas industri minyak? Cadangan minyak milik Kerajaan Al Saud masih 266,6 miliar barel pada 2017. Apa hanya karena harga minyak mentah lesu sejak 2014?

-ads-

Jawabannya tak sesimpel itu. Pemerintah berusaha untuk mencari pemasukan alternatif di tengah defisit anggaran selama lima tahun berturut-turut. Selain pengembangan infrastruktur, dana mereka disedot oleh pengerahan militer di berbagai negara.

Dari kacamata Saudi, pantas jika kerajaan gila-gilaan belanja alutsista dan operasional militer. Mereka dikepung lawan. Di selatan, kaum Houthi menguat di Yaman; di utara ada Iraq; dan di timur ada Iran.

Nah, dari pembicaraan peperangan itu, kita bisa masuk ke topik utama: paradoks yang ada di kerajaan Salman. Mereka ingin membuka perdagangan dan budaya agar ekonomi kuat. Di sisi lain, mereka makin agresif dalam pertarungan regional.

Hal tersebut ditambah lagi dengan drama keluarga kerajaan. Perlu diketahui, banyak gejolak di antara klan penguasa Al Saud. Raja Salman sudah menggeser dua putra mahkota, Muqrin bin Abdulaziz dan Muhammad bin Nayef. Pembagian kekuasaan yang dulu linier dan merata kini terpusat pada klan Salman.

Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) juga menyimpan semangat pemudanya. Dia mendirikan bioskop dan mengizinkan perempuan menyetir. Namun, dia juga menjegal bangsawan yang berseberangan dengannya.

Pertanyaan saya? Bagaimana bisa membebaskan sebuah negara yang masih dikekang penguasa. Jika Saudi berhasil melalui demokratisasi, alangkah baiknya. Saya yakin Indonesia pun menyambut baik hal itu.

Kita punya sejarah panjang dengan Saudi. Banyak kepentingan seperti TKI dan investasi. Paling utama soal Makkah-Madinah. Namun, saya sendiri harus mengakui infitah sulit dicapai. Terutama pada saat kepercayaan dunia internasional menipis akibat tuduhan pelanggaran HAM di Yaman dan kasus Jamal Khashoggi. (seperti dipaparkan kepada Muhammad Salsabyl Ad’n/Jawa Pos/JPG)

 

*Pengamat politik Timteng dan dosen UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Exit mobile version