eQuator.co.id – Pontianak-RK. Tim Kuasa Hukum Frantinus Nirigi menginginkan perkara yang dilakukan kliennya dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan melihat dari sisi kemanusiaan. Karena, jika ditelisik lebih jauh, kondisi keluarga saat ini cukup menyedihkan.
“Kami ingin perkara ini dapat diselesaikan dengan baik demi kemanusian dan secara kekeluargaan. Lagi pun ini joke bomb. Orang Papua memang banyak joke-nya,” ujar Marcelina Lin, Kuasa Hukum dari Kantor Firma Hukum Ranik Lin Associate, Rabu (30/5).
Saat memberikan keterangan, tampak mata Marcelina berlinang. Agaknya dia memang sedih ketika menceritakan kondisi Frans. “Saya prihatin dengan keadaannya. Secara pribadi saya tanya dia berkaitan dengan keluarga, dia menangis. Dia terpukul dengan kejadian ini. Karena keinginan dia pulang ke Papua kan ingin ikut tes PNS. Dan, tiga laptop (dua rusak, satu normal) yang dibawa adalah titipan keluarganya,” ceritanya.
Frans dikatakan Marcelina, sudah enam tahun tidak pulang ke kampung halamannya. Menurut cerita Frans, disampaikan Marcelina, ayahnya merupakan mantan Menteri pada zaman Belanda. Saat ini usia ayahnya sudah 90 tahun. Ibunya merupakan ibu rumah tangga yang berusia sekitar 50 tahun.
“Adik beradiknya ada 12 orang. Empat sudah meninggal. Dua sudah menikah dan sisanya ada yang masih sekolah. Paling bungsu berusia delapan tahun,” papar dia.
Frans ingin pulang untuk mengabarkan kebahagiaan atas status Sarjana yang ia raih di Untan. Karena, hanya dia satu-satunya yang sudah menyandang status sarjana di keluarganya.
Harapan agar perkara ini diselesaikan secara kekeluargaan, karena Mercelina melihat, banyak kasus serupa yang tidak dilanjutkan. Bahkan pelakunya ada yang berstatus anggota DPRD.
“Kenapa kemudian yang dilakukan Frans ini dinaikan kasusnya?” tanya Marcelina.
Marcelina dan rekannya masih menunggu kabar baik dari Lion Air setelah ada pertemuan singkat itu. “Tadi pihak Lion Air mengatakan akan menindaklanjuti pertemuan kami. Kami masih menungu,” tuturnya.
Melalui kuasa hukumnya, Frans menyampaikan permintaan maaf kepada seluruh penumpang yang menjadi korban, bahkan seluruh masyarakat Indonesia yang menyoroti perkara ini.
“Kalau saja dia bisa saya hadirkan, dia ingin menyampaikan permintaan maaf kepada semuanya, karena terjadi kepanikan,” ucap Marcelina.
Rakyat Kalbar juga sempat bertemu dengan Frans. Namun dia tak banyak bicara. Dia saat itu tengah menelepon keluarganya di Papua. “Kakak Ipar saya mau ke sini,” singkatnya.
Tak hanya kuasa hukumnya, Dekan Fisip Untan, Drs. Sukamto, M. Si juga tahu tentang kehidupan Fran. Selama menjadi mahasiswanya, Frans selalu bersikap baik. Tidak pernah bertingkah aneh. Walau dari sisi akademi dia tidak menonjol. “Itu yang saya tahu. Ini bukan membela dia, tapi memang itu kenyataannya selama ia jadi mahasiswa,” katanya kepada Rakyat Kalbar, Selasa (29/5).
Maka dari itu, Sukamto meminta kepolisian harus bijak menangani kasus ini. Harus menyimpulkan dari dua sisi. Baik dari pramugari dan Frans. “Jangan hanya melihat dari satu sisi saja. Jadi, lebih bijaksana lah dalam melihat kasus ini,” pinta dia.
Kalau memang Fran salah, tetapkan salah. Bila ia benar, tetapkan akan menjadi benar. “Berimbanglah dalam melihat kasus,” ucapnya.
Terlepas dari itu semua, Sukamto tetap mengimbau masyarakat untuk tidak sembarangan bercanda. Harus lihat situasi dan kondisi. “Apalagi belum lama ini kita diteror bom, sehingga ngucap bom dikit aja udah bikin khawatir sekali,” terangnya.
Terpisah, Pardi, seorang doktor di Fisip Untan menyebutkan, bahwa Frans memang logat bicaranya cepat. “Saya saja selalu minta dia mengulang kalimat jika ada yang tidak jelas,” ujarnya.
Fran adalah mahasiswa penerima beasiswa dari Pemerintah Provinsi Papua. Dia asal Wamena. Selama menempuh kuliah di Kalbar, belum pernah dia pulang ke kampungnya. “Biayanya mahal. Dia cerita bisa sampai Rp10 juta kalau mau pulang,” ungkap Pardi yang juga dosen pembimbing Fran.
Bahkan dikabarkan dia pernah menjadi kuli bangunan untuk menambah biaya hidup dan kuliah di Bumi Khatulistiwa ini. “Makanya dia bertahan. Dari Jayapura ke tempat asalnya harus menempuh waktu empat jam perjalanan lagi,” sambung Pardi.
Ia juga tidak menampik kemungkinan ada stigma dalam melihat penampilan Fran. “Kesannya keras. Padahal tidak kok. Semoga apa yang dituduhkan tidak benar,” harapnya.
Laporan: Ocsya Ade CP
Editor: Arman Hairiadi