eQuator.co.id – Saya naik taksi. Kemarin. Tanpa tujuan. “Muter-muter saja. Sambil menunggu salat Jumat,” kata saya pada sopir. Nama sopir ini Sorong DM. Kata ‘sorong’ diambil dari nama kota di Papua Barat. Tempat ayahnya bertugas. Sebagai TNI AL. Saat Sorong lahir ayahnya sedang bertugas di Sorong. Sedang DM singkatan dari Darmojo. Menandakan ia orang Jawa. Dari Solo.
“Muter ke mana?” tanya Pak Sorong.
“Terserah,” jawab saya.
Saya memang hanya ingin mencoba taksi ini: taksi listrik. Yang pertama di Jakarta. Dioperasikan oleh Blue Bird. Sejak Hari Kebangkitan Nasional, Senin 20 Mei lalu. Hari itu saya ingin merayakan Hari Kebangkitan Nasional dengan cara naik mobil listrik impor.
Hari Senin itu saya mencoba menghubungi call center Blue Bird. Berhasil. Tapi gagal mendapatkan taksinya. “Kami tidak bisa menjanjikan jam berapa bisa melayani bapak,” ujar petugas call Center.
Keesokan harinya saya terima WeChat dari Bung Joko Intarto. Ia tidak bisa pakai WA hari itu. Lagi dikendalikan pemerintah. Tapi kami sudah biasa pakai WeChat.
“Saya menang 1-0,” tulis Joko Intarto. “Tadi saya sudah naik taksi listrik,” tambahnya.
Saya pun mengaku kalah. Lalu minta tolong agar dipesankan taksi itu untuk keesokan harinya.
Saya diminta telepon sendiri. Ke sopir itu. Ke nama itu. Nomor teleponnya: +6285215103008.
Beres.
Blue Bird baru punya 25 unit mobil listrik. Merknya BYD. Produksi Hangzhou, ibu kota Provinsi Zhejiang. Satu provinsi dengan pabrik mobil Geely.
Secara fisik mobil BYD ini sempurna sekali. Tidak ada bedanya dengan sedan biasa. Kelas taksi ini secara fisik sejajar dengan Toyota Camry.
Saya sudah biasa naik taksi listrik. Di Tianjin. Atau Chengdu. Karena itu pertanyaan saya langsung saja: hari pertama pegang mobil listrik apa yang paling Anda khawatirkan?
Pak Sorong pun sama: takut kehabisan listrik di jalan. Lebih takut lagi: belum ada tempat charging umum di Jakarta. Pak Sorong rupanya tidak tahu di PLN Gambir sudah menyediakan itu. Dulu.
“Sekarang sudah tidak khawatir lagi,” ujar Pak Sorong. “Sudah biasa,” tambahnya.
Jumat kemarin itu, misalnya. Pak Sorong berangkat dari pool di Blue Bird pukul 7 pagi. Ia langsung ke bandara Soekarno-Hatta. Tanpa penumpang. Ingin cari penumpang di bandara.
Pak Sorong sudah diberitahu manajemen: mobil listrik tidak perlu antre. Bisa langsung ambil penumpang. Pak Sorong dapat penumpang dengan tujuan Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Mengantar orang Balikpapan. Yang akan ke pesantren Darunnajah.
“Saya akan menjemput putri saya yang sekolah di Darunnajah,” ujar Pak Dimas, pengusaha properti dari Balikpapan itu. “Untuk liburan lebaran di Balikpapan,” tambahnya.
“Saya pilih taksi listrik karena ingin mencoba,” ujar Pak Dimas, pemilik PT Bulan Bintang Abadi.
Kemarin itu saya memang lama menunggu kedatangan Pak Sorong. Yang sudah janjian pukul 09.00. Tapi saya persilakan saja Pak Sorong melayani penumpangnya itu dulu. Sampai selesai. Hanya saja saya minta bisa bicara dengan penumpangnya itu. Pak Dimas itu. Yang ternyata ia kenal saya.
Dari Ulujami itulah pak Sorong menjemput saya di SCBD Jakarta. Tanpa penumpang. Lalu muter-muter bersama sejauh lima kilometer: SCBD-Monginsidi-Semanggi-SCBD.
Begitu turun dari taksi, saya lihat listriknya: masih 74 persen.
Pak Sorong kelihatan tenang. Dari jam 7 pagi sampai jam 10 baru menghabiskan 26 persen listrik.
“Kekhawatiran kehabisan listrik di jalan sudah hilang sama sekali,” ujar Pak Sorong, yang mengaku seorang mualaf.
Pun selama lima hari ini. Pak Sorong selalu masih menyisakan 40 persen listrik. Saat ia kembali ke pool. Padahal ia menjalankan taksinya sejak pukul 7 pagi sampai 11 malam.
“Teman saya juga sudah mengantar penumpang dari Jakarta ke Cilegon. Pulang-pergi. Ternyata tidak sampai 60 persen,” katanya.
Sebenarnya ia masih punya satu kekhawatiran lagi. Tapi juga sudah hilang: yakni saat melintasi rel kereta api.
“Ini kan mobil listrik. Saya dengar mobil yang melintasi rel itu bisa kesetrum,” katanya.
Waktu pertama melintasi rel di Kemayoran Pak Sorong sengaja berhenti dulu. Agar mobil-mobil di depannya melewati rel dulu. Pak Sorong punya ruang untuk melintas dengan cepat.
Ternyata aman. Sejak itu ia tidak khawatir lagi.
Saya juga pernah punya satu kekhawatiran. Saat saya mengendarai Tesla. Di musim hujan. Ketika air di jalan di depan rumah saya menggenang cukup dalam. Saya masuki genangan itu. Ternyata tidak apa-apa.
Saya ceritakan pengalaman saya itu ke Pak Sorong. Ia berterima kasih. Bisa lebih tenang. Ia belum pernah mengalami berhadapan dengan genangan air di jalan.
Sebagai anak ke 10, Pak Sorong hanya punya anak satu. Putri. Lulusan Gadjah Mada. Jurusan hubungan internasional. Anak itu kini sudah bekerja di perusahaan swasta.
Pak Sorong sendiri lulusan D3 akuntansi di Jakarta selatan. Lalu bekerja di pabrik pembuatan alat-alat pengeboran minyak di Batam. Lebih 10 tahun bekerja di sana. Mendapatkan istri pun di Batam. Ketika perusahaan itu ikut krisis di tahun 1998 Pak Sorong terkena PHK. Ia mencoba usaha sendiri. Di banyak bidang. Mulai dari percetakan sampai kirim TKI. Gagal semua. “Mungkin sudah terbiasa bekerja ikut orang. Tidak bisa jadi pengusaha,” katanya.
Akhirnya ia berlabuh di Blue Bird. Sebagai sopir. Sejak hampir 10 tahun lalu.
Mobil listrik sudah hadir. Sambutannya biasa-biasa saja. Tidak ada charging umum. Tidak ada parkir istimewa. Tidak ada nomor khusus. Tidak ada fasilitas istimewa –seperti di negara yang gila green energy.
Kita, alhamdulillah, tidak gila. (Dahlan Iskan)