eQuator.co.id – Pontianak-RK. Dituduh melontarkan kata-kata melecehkan etnis tertentu di Facebook, Akhiang dianiaya sejumlah orang di tokonya di Jalan Siaga, Sungai Raya, Kubu Raya, Selasa (2/5) sekira pukul 10.15 WIB. Pria 51 tahun itu pun mengalami luka berat.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun Rakyat Kalbar, sejumlah orang mengetok pintu rumah Akhiang. Saat itu yang membukakan pintu anaknya Akhiang. Setelah pintu terbuka, sekelompok orang tersebut meminta Akhiang keluar dari rumah untuk mengklarifikasi mengenai kata-kata yang dituliskan akun Facebook atas nama Achiang di salah satu postingan pengguna Facebook.
Akhiang pun keluar dan pintu rumah ditutup. Akhirnya terjadilah penganiayaan tersebut. Akhiang mengalami memar di bagian muka dan luka sobek di kepala yang diduga akibat pukulan benda tumpul.
Julianus, 35, merupakan salah seorang yang melihat langsung kejadian tersebut. Rumah Julianus bersampingan dengan warung korban. Saat kejadian Julianus sedang mandi di rumahnya.
Menurut Julianus, saat kejadian, Akhiang bersama istri, anak laki-laki dan anak perempuannya, sedang berada di dalam warung yang keseharian digunakan berjualan makan vegetarian. Tiba-tiba ia mendengar suara minta tolong.
“Pelaku datang ke rumah korban, istri dan anaknya dikunci di pintu belakang, sehingga mereka berteriak minta tolong, dan berkata mau diapakan suami saya,” kaya Julianus kepada Rakyat Kalbar.
Mendengar suara minta tolong, Julianus bergegas mendatangi rumah korban. “Saya gak sempat pakai baju, langsung lah saya pakai celana dan langsung lari ke luar,” ceritanya.
Saat mendekati korban, dia melihat ada tiga orang. Salah seorang dari mereka, Julianus mengenalinya lantaran dulu pernah menjadi kawan ngumpul. Mereka memperlihatkan android berisikan kata-kata bernuansa Sara di Facebook yang diduga ditulis Akhiang.
“Karena saya kenal, saya kemudian bertanya ada apa ni? Dia bilang kau jangan ikut campur,” kisahnya.
Melihat korban dan pelaku masih sebatas bertengkar mulut Julianus kemudian kembali ke rumahnya untuk mengenakan baju. “Karena saya merasa bukan urusan saya saya pulang dulu untuk memakai baju,” ucapnya.
Namun saat dia datang lagi, korban sudah duduk tersandar di lantai depan rumahnya. Disampingnya ada tumpukan kayu. Usai
Menganiaya Akhiang, pelaku langsung kabur.
Saat kejadian warga ramai melihat. Namun tidak ada yang berani melerai. “Warga yang melihat juga tidak berani melerai, saya yang kenal jak dengan penganiaya jak diancam,” katanya.
Korban langsung dilarikan ke klinik terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Selanjutnya di rujuk ke RS. Kharitas Bakti
“Korban kemudian dibawa ke Klinik Windi, yang tak jauh dari situ, untuk pertolongan pertama,” papar Julianus.
sementara itu, Harnia yang merupakan istri Ketua RT setempat mengatakan, Akhiang sudah 5 tahun berjualan dan tinggal di tokonya tersebut. “Namun dia hanya izin tinggal, dia warga Gang Teratai Putih, bukan Siaga,” kata perempuan 60 tahun berkerudung itu kepada Rakyat Kalbar.
Lily, istri korban mendatangi rumah Harnia bermaksud bertemu suaminya untuk melaporkan kejadian tersebut. Namun suaminya tidak ada di rumah, lantaran sedang berada di luar kota.
“Sebelum saya melaporkan ke polisi saya melapor ke sini dulu, suami saya di pukul empat orang, sampai harus dijahit di kepala, dan saya tak boleh melihat,” kata Harnia menirukan ucapan Lily., Lily mengatakan kepada Harnia, bahwa akun Facebook yang dituduhkan pelaku penganiayaan bukanlah milik suaminya.
“Pelaku (pemilik akun facebook) itu masih muda, suami saya tu sudah tua, lebih tua dari orang tersebut, tapi mukanya agak mirip,” kata Harnia menirukan kalimat Lily. Setelah ke RT, Lily melaporkan kejadian ini kepihak kepolisian Sektor Sungai Raya untuk dilakukan proses penyelidikan.
Terpisah, Kapolresta Pontianak AKBP Wawan Krisyanto menuturkan, pihaknya sedang mendalami kasus penganiayaan tersebut dengan pemeriksaan saksi-saksi. Seorang yang diduga pelaku penganiayaan juga telah diperiksa. “Untuk yang diduga pelaku, baru satu orang yang kita diperiksa,” ujarnya kepada Rakyat Kalbar.
Wawan menjelaskan, motif penganiayaan yang dialami korban diduga karena kesalah pahaman. Berawal dari tulisan di media sosial. Dimana akun Facebook yang wajahnya mirip korban menuliskan kata-kata yang diduga mengandung unsur ujaran kebencian.
Kepolisian akan melakukan penegakan hukum berkerja sama atau di-backup Direskrimum dan Direskrimsus Polda Kalbar. “Kita masih dalam penyelidikan, Kalau ada perkembangan kita akan informasikan segera,” pungkasnya.
Di dalam negara hukum tidak dibenarkan main hakim sendiri. Semua persoalan sedapat mungkin bisa diselesaikan melalui jalur hukum.
“Tidak bisa kemudian kita setiap ketika ada persoalan kita menyelesaikan dengan cara kita sendiri,” kata Pengamat Hukum Pidana Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak, Hermansyah ketika dihubungi Rakyat Kalbar melalui sambungan telepon, Rabu malam (2/5).
Menurut Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Untan ini, meskipun masyarakat tidak terlalu percaya dengan aparat penegak hukum, itu lain persoalan. Namun perbuatan main hakim sendiri tidak dibenarkan.
“Biar bagaimana pun kita harus menempuh jalur hukum, bahwa nanti kita kecewa dengan aparat penegak hukum, tidak berarti itu melegalisasi kita untuk melakukan main hakim sendiri. Tidak boleh,” paparnya.
Hermansyah, menjelaskan dalam KUHP ada beberapa Pasal yang mengatur tentang penganiayaan. Yakni Pasal 351, 352, 353, 354 dan 355. Pasal 351 dianggap penganiayaan biasa. Pasal 352, Penganiayaan ringan. Pasal 353 penganiayaan berencana. “Penganiayaan berencana artinya penganiayaan yang dilakukan dengan ada tenggang waktu dan mempersiapkan segala sesuatunya sehingga terjadinya penganiayaan itu,” terangnya.
Jadi kata dia, ada pebuatan pesiapan untuk melakukan suatu tindak pidana penganiayaan. Sedangkan Pasal 354, merupakan penganiayaan berat. Ini penting, apakah perbuatan itu spontanitas atau berencana, penyidiklah yang menentukannya.
“Tetapi yang jelas, apabila perbuatan itu dalam tenggak waktu relatif lama, ada perbuatan permulaan (pesiapan,) kejahatan itu, penganiayaan yang direncanakan,” tuturnya.
Dikatakan Hermansyah, aparat hukum harus proaktif, saat melakukan penyidikan dan pemeriksaan. “Tentunya dengan berdasarkan pijakan hukum yang benar,” pungkas Dosen yang karib disapa Pak Her ini.
Sementara Praktisi information technology (IT), Hajon Mahdy Mahmudin S. Kom mengatakan, dalam prakteknya, teknologi sosial media sering dijadikan ajang SARA dan ujaran kebencian.
“Ini bukti bahwa belum dewasanya masyarakat internet Indonesia. Pemerintah harus andil dalam memberikan edukasi untuk pendewasaan masyarakat internet,” ujarnya dihubungi Rakyat Kalbar melalui pesan WhatsApp, Rabu (2/5).
Hajon menjelaskan, ujaran kebencian sudah diatur dalam undang-Undang ITE (Informasi Transaksi Eletronik), Pasal 28 ayat 2. Selain itu SARA juga diatur dalam KUHP Pasal 156, 156a dan 157.
Penerapan pasal-pasal ini harus lebih tepat, sehingga sangat efektif dalam proses penegakan keadilan. Namun di sisi lain tidak memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Pasal 28 ayat (2) Undang-undang ITE merupakan pasal paling kuat dan tegas serta jelas dalam menindak penyebaran kebencian dibanding pasal-pasal pidana lainnya. Jarang sekali UU Anti-Diskriminasi diterapkan di pengadilan.
Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas SARA”. Ketentuan sanksi pidana Pasal 28 ayat (2) tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (2) berbunyi: “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 miliar rupiah.”
“Maksud dan tujuan dari Pasal 28 ayat (2) ini pada prinsipnya adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA,” paparnya.
Lebih lanjut Hajon memaparkan, dalam praktek dan perkembangan hukum di Indonesia bahwa Undang-undang ITE menggunakan unsur SARA yang diterjemahkan dengan muatan yang lebih luas lingkupnya dibanding Undang-undang Anti-Diskriminasi. Sebab tidak hanya mengatur etnis dan ras namun ada unsur kejahatan dalam frase ‘agama dan antargolongan’ yang tidak ada di dalam Undang-undang Diskriminiasi. Selain itu, perkembangan teknologi sebagai media sebar ujaran kebencian ataupun SARA menjadi salah satu pemicunya.
Untuk itu, dia mengimbau kepada pengguna internet sebaiknya harus selalu cek ricek dan kroscek apakah berita tersebut hoax atau mengandung ujaran kebencian atau tidak. Jangan asal sebar.
“Kita harus paham bahwa bukan kita sendiri pengguna internet tersebut, bisa jadi orang lain yang membaca menjadi tersinggung atau bahkan sakit hari membaca apa yang kita share (bagikan)” tutupnya.
Laporan: Andi Ridwansyah, Maulidi Murni, Ambrosius Junius
Editor: Arman Hairiadi