Bawa Botol Air Mineral Kosong, Air di Toilet Bisa untuk Isi Ulang

Tim Kaltim Post Group Road to Singapura (2)

WEFIE. Rombongan KPG wefie berlatar Hotel Marina Bay Sands. Desi Wulandari-Radar Sampit

Tiga Bangunan pencakar langit memiliki satu atap yang berbentuk pesawat terbang, jadi salah satu ikon. Hotel Marina Bay Sands pun daya tarik tersendiri setiap pelancong yang datang ke Negeri “Singa”.

DESI WULANDARI, Sampit

eQuator.co.id – Pagi Minggu (15/10), rombongan Kaltim Post Group/KPG (Jawa Pos Group) memutuskan tidak menikmati sarapan roti gandum yang disediakan oleh hotel tempat menginap. Soalnya, Komisaris Utama KPG, Zainal Muttaqin, mengajak rombongan untuk menikmati makan di warung makan milik warga India.

Hidangan di sana, menurut Pak Zam –karib dia disapa—, sejenis masakan Padang. Meskipun tidak terbiasa bersantap di pagi hari, saya tetap berupaya menikmati. Sebab perjalanan hari ini diprediksi kembali cukup menguras tenaga.

Setiap selesai makan, rata-rata anggota rombongan pasti membawa botol air mineral kosong berukuran tanggung. Maklum, di negeri “Singa” ini, air mineral cukup mahal. Sebotolnya, yang berukuran tanggung, 3 Singapore Dollar (SGD). Sekitar Rp30.000.

Untungnya, toilet umum di sana menyediakan keran air yang dapat langsung diminum airnya, sehingga kami dapat mengisi ulang botol kosong air mineral yang di Indonesia harganya paling mahal Rp5.000.

Selesai sarapan, rombongan menuju stasiun MRT, entah kemana lagi tujuan hari ini. Saya tidak banyak bertanya dan terus mengikuti saja. Setelah sampai di stasiun tujuan, berjalan di lorong bawah tanah ternyata tidak membosankan. Sebab sepanjang lorong terpajang kaca di sisi kiri dan kanannya. Ditempeli pula lukisan bunga warna-warni.

Setiap orang yang berjalan, sesekali singgah untuk berfoto mengabadikan pemadangan tersebut. Sesampainya di ujung lorong, kami menaiki lift menuju lantai atas. Kami dibawa Pak Zam ke bawah kaki Hotel Marina Bay Sands.

Di Singapura, pejalan kaki memang diistimewakan. Tidak perlu takut susah atau sakit kaki untuk menaiki dan menuruni tangganya. Setiap sudut kota ada fasilitas umum seperti eskalator dan lift untuk penyandang disabilitas.

Tak heran, banyak penyandang disabilitas berjalan seorang diri menggunakan kursi roda mereka. Setiap fasilitas umum di kota ini juga menyediakan ruang khusus bagi penyandang disabilitas. Sehingga, walaupun hampir setiap hari berjalan kaki, penulis tidak lelah yang berlebihan. Tak seperti ketika berjalan di Indonesia yang sering kali berjejalan. Sesak.

Gedung Marina Bay Sands, yang awalnya terlihat kecil, langsung tiba-tiba besar dan menjulang tinggi di depan mata. Hotel ini menyediakan spot untuk berfoto yang pas bagi para pelancong.

Puas berfoto dengan latar belakang Marina Bay Sands, perjalanan dilanjutkan ke beberapa fasilitas hotel lainnya. Di sana juga terdapat spot foto. Bagunan dengan rangka besi yang dibuat menyerupai ranting pohon. Dengan biaya sekitar 8 SGD, lebih kurang Rp80.000, wisatawan dapat menaikinya dan melihat pemandangan Marina Bay Sands dari ketinggian.

Hmm.. Rasanya tak afdol kalau sudah sampai tapi tidak menaiki fasilitas hotel yang satu itu. Saya pun nekat naik, menikmati pemandangan Marina Bay Sands dari ketinggian. Setelah puas, rombongan melanjutkan perjalanan ke salah satu mal besar, sembari mencari tempat untuk makan siang.

Di dalam mal didapati tempat judi legal yang paling terkenal. Kalau Anda cuma bawa uang receh, jangan coba-coba untuk masuk deh.

Karena keesokan hari merupakan hari terakhir di sana, rombongan memutuskan malam itu jadi waktu berburu oleh-oleh. Tempat paling terkenal atau pusat oleh-oleh adalah Mustafa Centre. Penjualnya rata-rata orang India.

Harga barang-barang di tempat itu terbilang murah untuk orang Singapura, tapi jika dikurskan ke Rupiah, tetap saja mahal. Yah, gitu deh, saya tak dapat terlalu banyak membeli oleh-oleh. Hanya membeli cokelat, kabarnya itu oleh-oleh wajib dari Singapura.

Belum usai hunting di Mustafa Centre, saya diajak salah seorang rekan menuju kawasan Bugis Street. Di sana, juga pusat oleh-oleh khas Singapura. Justru harga-harga di situ lebih murah dibandingkan Mustafa Centre. Namun, tempatnya lebih lusuh. Kalau di Indonesia, mungkin seperti Tanah Abang kali ya. Selesai urusan shopping oleh-oleh ini, rombongan memutuskan untuk kembali ke hotel dan istirahat.

Kota ini, dari kacamata saya, memang surga bagi para pelancong. Perjalanan hingga larut malam dinikmati, kapan lagi menghabiskan malam minggu di luar negeri.

Pinggiran jalan yang dilengkapi dengan penerangan lampu dan kursi-kursi taman menjadi tempat menikmati malam. Rasa aman dan tidak khawatir terjadinya tidak kejahatan juga dirasakan. Polisi dan satpam yang wara wiri berjaga di tempat umum memang tidak terlihat, tapi setiap sudut kotanya terpasang CCTV yang aktif mengawasi. (*/Radar Sampit/JPG)