AI di Ngawi

Oleh: Dahlan Iskan

Dahlan Iskan

eQuator.co.id – Anak-anak SMA kumpul. Sabtu lalu. Di pendopo kabupaten Ngawi.

Sekitar 300 orang. Dari berbagai kecamatan. Termasuk kecamatan pelosok seperti Sine dan Ngrambe.

Saya bertanya pada mereka: siapa yang bapaknya menanam jagung. Empat anak unjuk  tangan.

Saya minta mereka naik panggung. Bersama saya.

Saya tanya lagi: berapa harga jagung saat ini. Empat-empatnya bisa menjawab. Dengan harga berbeda-beda. Kian ke pelosok kian murah harganya. Hanya Rp 3.000/kg.

Saya tanya lagi: berapa harga jagung dua bulan yang lalu. Khususnya bulan Nopember dan Desember.

Mereka juga tahu. Tinggi sekali. Sampai Rp 6.000/kg.

Pertanyaan berikutnya: mengapa jagung mereka tidak bisa dipanen pada saat harga lagi tinggi-tingginya.

Juga bisa menjawab.

“Karena baru bisa tanam di bulan Oktober. Saat sudah ada hujan. Jadi baru bisa panen di bulan Maret nanti,” katanya.

Empat anak SMA itu saya minta mencari ide. Agar bapaknya bisa panen jagung di bulan Nopember atau Desember.

Saya minta empat siswa itu berunding. Di bawah pohon rindang. Di halaman sebelah pendopo bupati. Yang bisa kami lihat dari pendopo.

Mereka duduk di atas rumput. Melingkar. Berdiskusi.

Hasil rundingan itu akan dipresentasikan. Di depan teman mereka. Di pendopo ini. Menjelang akhir acara nanti.

Siswa lain tetap di pendopo. Untuk sharing DI’s Way. Yang temanya klise: mempersiapkan generasi milenial.

Saya coba lemparkan pertanyaan lain: siapa yang tahu apa itu 5G.

Dua orang unjuk tangan. Saya minta keduanya naik panggung.

Jawaban keduanya sangat bagus. Akurat. Kekinian.

Dari mana mereka tahu semua itu? “Dari youtube,” kata mereka.

“Kami sering lihat youtube. Cara menjelaskannya,” tambahnya.

Dibanding dengan cara sebagian guru mereka mengajar.

Memang banyak guru yang membosankan siswa. Itulah tantangan guru ke depan: bersaing dengan guru dari negara youtube. Juga bersaing dengan guru yang bukan manusia.

Saya pun melontarkan satu istilah: AI. “Siapa yang tahu apa itu AI,” tanya saya. “Hadiahnya salaman dengan pak Wakil Bupati dan Mas Tommy Cahyo Gutomo,” tambah saya.

Wakil Bupati Ngawi, Ony Anwar Harsono, memang hadir di forum itu. Nyentrik. Umurnya baru 36 tahun. Ini pereode kedua. Saat terpilih pertama dulu baru berumur 28 tahun.

Pak Wabub selalu pakai celana jeans. Dan mengenakan blangkon tanpa pentolan di belakang. Blangkon khas Ngawi.

Tagline pribadinya: Cah Angon. Si Pengembala. Itu mengena sekali di pemilih pedesaan. Cara Cah Angon itu rupanya sudah mulai ditiru. Saya lihat di salah satu perempatan Ngawi. Ada baliho besar. Kampanye caleg DPR. Gambarnya si caleg lagi menggendong kambing.

Si Caleg, kata Tommy yang juga lagi nyaleg, memang peternak kambing yang sukses.

Cah Angon sendiri alumni arsitek Universitas Islam Indonesia (UII) Jogja. Sama seperti Tommy. Yang jadi ketua alumninya.

Dengan jumlah anggota lebih 1.000 orang. Nama UII top di Ngawi.

Ternyata ada juga anak SMA di pelosok ini. Yang tahu apa itu AI. Padahal saya tidak memberi kisi-kisi kepanjangannya.

Milenial betul-betul tidak boleh dianggap enteng. Pun di pelosok-pelosok.

Untung saya tidak sok ceramah pagi itu. Bisa-bisa isi ceramah saya dianggap sudah tidak ada yang baru.

Pertanyaan siswa pun berat-berat: apakah guru AI nanti juga punya perasaan. Kan AI bukan manusia.

Saya tidak ahli AI (artificial intellegence). Saya tidak bisa menjawabnya. Hanya saya ceritakan sedikit. Bahwa perasaan itu bisa dirumuskan unsur-unsurnya. Yang mungkin terdiri dari ribuan unsur. Atau ratusan ribu. Mewujud dalam big data. AI akan bisa memproses big data itu dengan cepat.

Kemenangan AI saat melawan juara catur adalah contohnya. Bagaimana rahasia dan taktik lawan main caturnya dirumuskan. Menjadi big data. Lalu diproses oleh AI. Dianalisa. Ke mana langkah lawan caturnya itu.

Tapi saya tidak yakin dengan jawaban itu. Saya minta siswa mencari sendiri jawaban yang lebih tepat. Lewat internet. Yang sudah mereka kuasai.

Sebenarnya gurulah yang harus bertanya begitu. Demi menyelamatkan masa depan pekerjaan mereka.

Di Tiongkok sudah mulai dicoba. Guru manusia digantikan oleh guru yang bukan manusia. Jangan bayangkan itu robot. Seperti yang kita kenal selama ini. Itu adalah ‘bukan manusia’ tapi  ‘memiliki kecerdasan’. Hampir tak terbatas pula.

Guru yang biasa-biasa saja akan ditinggalkan muridnya. Semoga tidak ditinggalkan gajinya.

Saya merenung sejenak. Saat Tommy lagi memanggil penanya berikutnya. Masih di era 4G saja anak SMA di pelosok sudah begitu majunya. Bagaimana kalau sebentar lagi 5G. Yang kecepatannya 100 kali dari 4G.

Kadang saya bisa maklum kalau banyak yang sewot pada Huawei. Termasuk Amerika. 5G akan sangat dramatik mengubah masyarakat dunia.

Negara miskin, kalau pandai memanfaatnya, akan bisa menyalip di tikungan. Mengejar negara kaya.

Tapi saya tetap ingat tanaman jagung. Bagaimana agar petani miskin bisa panen jagung di bulan Nopember atau Desember. Di saat paceklik jagung. Agar penghasilan petaninya naik dua kali lipat.

Empat siswa yang berunding di bawah pohon itu memberi tanda. Sudah berhasil merumuskan caranya.

Kata kuncinya adalah air.

Sikap lama menyerah kepada alam harus berubah. Biaya mencari air lebih kecil dari meningkatnya hasil penjualan.

Ada pula ide intensifikasi. Saat jagung sudah tua, segeralah daun dan batang atasnya dipangkas. Sambil menunggu buah jagungnya kering di pohon benih baru sudah bisa ditanam. Cara ini bisa membuat panen maju tiga minggu.

Saya usul agar keempat siswa itu langsung diluluskan. Hasil rumusan mereka begitu bagusnya. Hanya setengah jam. Berunding di bawah pohon.

Semua itu karena mereka berpikir.

Membiasakan berpikir   itulah tugas guru. Agar pekerjaan guru tidak diserobot AI di masa depan. (Dahlan Iskan)