Agri Culture vs Politic Property

Oleh: Joko Intarto

eQuator.co.id – Tentara Kerajaan Mataram Islam tahun 1628 itu gagal total. Benteng Hollandia di Batavia gagal direbut dari pendudukan Belanda.

Salah satu penyebab kegagalan itu: kekurangan bahan makanan. Jarak Mataram (Jogja) dengan Batavia (Jakarta) terlalu jauh. Perlu waktu berhari-hari bagi pasukan darat. Tanpa bahan makanan yang cukup, mustahil mereka bisa sanggup berperang dalam waktu yang lama.

Setahun kemudian, Sultan Agung Hanyokrokusumo kembali menyerang Batavia. Dengan persiapan logistik yang lebih baik.

Tak hanya tentara yang diberangkatkan. Tapi juga para petani. Untuk menggarap lahan-lahan pertanian di sepanjang pantai utara pulau Jawa. Mendirikan lumbung-lumbung padi dari Cirebon hingga Karawang.

Serangan kedua ini cukup telak. Pasukan Belanda kocar-kacir. Benteng Hollandia berhasil diporakporandakan. Namun pasukan VOC masih cukup tangguh. Meski menderita kerugian besar, Belanda tetap bercokol di Nusantara hingga 300 tahun kemudian.

Hampir empat abad peristiwa itu terjadi. Namun bekas-bekasnya masih bisa dilihat hingga hari ini: agri culture. Serangan kedua Kerajaan Mataram Islam itu melahirkan budaya pertanian yang maju di sepanjang Pantura. Menjadikan daerah itu sebagai lumbung padi nasional. Hingga kini.

Agri culture menjadi tema menarik dalam focused group discussion ‘’Pemberdayaan Petani dan Zakat Fitri’’, Kamis lalu, di Hotel Alia Cikini, Jakarta Pusat. Forum Zakat, pemrakarsa FGD, merasa gusar dengan impor beras yang masih terus berlangsung.

Seperti diketahui, pemerintah telah memutuskan akan mengimpor 1 juta ton beras dalam dua tahap. Masing-masing 500 juta ton. Tahap pertama telah tiba. Tahap kedua dalam beberapa waktu lagi.

‘’Pemerintah terus mencetak sawah baru. Mengapa impor beras tak kunjung berhenti?’’ Itulah pertanyaan besar. Yang mengemuka sepanjang diskusi.

Mencetak sawah baru memang mudah. Asal ada lahan dan dana, sawah bisa dicetak kapan saja dan di mana saja.

Tetapi mencetak agri culture sangat susah. Butuh puluhan tahun, bahkan ratusan untuk menjadikan masyarakat Pantura memiliki kultur petani.

Sayangnya, pemerintah masih kurang memperhatikan petani. Politik pangan belum menjadi perhatian. Masih kalah dengan ‘’politik property’’.

Konversi lahan-lahan pertanian, terutama sawah untuk padi, terus terjadi. Seperti mobil yang melaju tanpa rem. Sawah tergerus. Tak terkendali. Terutama di daerah yang masyarakatnya berkultur petani padi.

‘’Ini akan menimbulkan bahaya besar beberapa tahun lagi. Impor tak akan pernah berhenti. Kemandirian pangan tak akan pernah terjadi,’’ kata Sigit, CEO Al-Azhar Peduli Ummat.

Apa solusinya? ‘’Konversi lahan pertanian untuk property harus dihentikan. Harus ditahan,’’ kata Sigit.

Saya mengusulkan agar semua lembaga amil zakat melakukan gerakan nasional wakaf tunai. Mengajak semua umat Islam di seluruh Indonesia, berwakaf uang. Melalui lembaga amil zakat mana pun.

Dana wakaf itu digunakan untuk embeli sawah-sawah yang terancam beralih fungsi menjadi lahan property. Kelak, lembaga zakat akan menjadi pengelola bank sawah. Yang menjadi penopang kemandirian pangan nasional. Bagaimana menurut Anda? (jto)

 

*Admin disway.id