Salah satu tugas lembaga zakat adalah menyejahterakan kelompok fakir dan miskin. ‘’Menyejahterakan’’ itu gampang dipidatokan, tetapi tidak mudah untuk diimplementasikan.
Tidak mudahnya mengentas kemiskinan karena banyak sebab. Pertama, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tergolong besar. Berbagai data menyebutkan jumlah penduduk berstatus fakir dan miskin di Indonesia pada tahun 2017 sekitar 27 juta jiwa.
Kedua, menemukan metode mengentas kemiskinan yang tepat. Kelompok masyarakat berstatus fakir dan miskin ini boleh dibilang unik. Golongan fakir masih memiliki asset dan skill. Tetapi untuk kaum miskin tidak punya kekayaan dan keahlian sama sekali.
Ketiga, golongan fakir dan miskin itu ada di mana-mana. Di kota, di desa, di pegunungan, di pinggir pantai. Sebarannya teramat luas.
Keempat, mulainya mau dari mana? Di sinilah berkembang berbagai metode. Ada metode berdasarkan riset ilmiah. Ada juga yang hanya mengandalkan logika. Saya termasuk penganut mazhab kedua: mazhab logika.
KANTONG KEMISKINAN
Dalam praktik, konsep pemberdayaan mayoritas berangkat dari pemikiran orang-orang tak berdaya supaya memiliki kemampuan harus ‘’diberi’’ sesuatu.
Apa yang diberikan? Modal kerja!
Skema kredit murah, kredit usaha kecil menengah, kredit mikro, kredit ultra mikro dan lain-lain terus meluncur. Tentu banyak yang berhasil. Tetapi banyak juga yang tidak.
Selain modal kerja, pemerintah juga menyelenggarakan berbagai pelatihan, khususnya di bidang industri rumahan atau industri kecil. Berbagai workshop produksi hingga tata kendali mutu digelar. Pesertanya bejibun.
Hasilnya, banyak peserta pelatihan yang gagal mengimplementasikan. Usaha kecil yang dirintis dengan modal kerja bantuan itu mati di tengah jalan.
Mengapa? Karena tidak ada pembelinya. Berbagai pelatihan itu akhirnya hanya menjadi penambah pengetahuan saja.
Peserta pelatihan makin cerdas, makin berpengehuan, tapi tidak makin sejahtera. Bahkan menanggung utang!
Memberi modal kerja tidak salah. Menyediakan workshop juga benar. Tetapi yang sangat mendesak bagi kelompok fakir dan miskin bukan itu, melainkan jaminan pasar.
Untuk apa membuat produk kalau tidak ada yang membeli? Bila pembelinya sudah ada, barulah modal kerja dan workshop itu diperlukan.
Pedesaan dan pesisir merupakan basis kemiskinan yang harus mendapat perhatian ekstra. Mengapa? Karena mayoritas penduduk fakir dan miskin hidup di pedesaan dan pesisir pantai.
Kemiskinan di pedesaan dan pesisir itu sungguh sebuah ironi. Sangat tidak masuk akal melihat ada penduduk desa begitu miskin, sementara mereka hidup di wilayah dengan tanah pertanian luas dan subur.
Begitu pula yang terjadi di pesisir pantai. Para nelayan hidup miskin di pinggir laut yang kaya ikan!
Apakah para penduduk desa dan para nelayan itu begitu malasnya sehingga menjadi miskin? Tidak. Penduduk desa merupakan kelompok masyarakat yang sangat keras dalam bekerja.
Mereka miskin yang mereka hasilkan tidak memiliki nilai tambah yang tinggi. Produk yang mereka hasilkan hanya produk berharga rendah.
Mari kita lihat fakta-fakta berikut ini. Di sebuah mall, harga satu cup jagung manis berukuran 200 mililiter Rp 15.000. Sementara harga jagung di desa tidak sampai Rp 10.000 per Kilogram.
Jagung manis yang mahal itu diimpor dari Thailand. Apakah menanam jagung manis hanya bisa dilakukan petani Thailand? Apakah varietas jagung manis hanya bisa hidup di wilayah Thailand? Tentu saja tidak.
Pertanyaannya, mengapa jagung manis itu tidak ditanam para petani di desa-desa di pelosok Nusantara? Mungkin tidak ada yang mau repot dan buang-buang waktu!
Mengimpor jagung manis dari Thailand lebih mudah. Hari ini impor, seminggu kemudian barang sudah tiba. Outlet sudah bisa dibuka.
Melibatkan para petani membutuhkan waktu paling tidak dua bulan dengan hasil yang belum tentu sesuai standar yang diharapkan.
Di Amerika Serikat, harga satu cup daging rajungan atau blue crab seberat 3 Lbs berkisar antara USD 27 hingga USD 31. Bila dikonversi dalam rupiah sekitar Rp 300 ribuan.
Sebagai kawasan penghasil rajungan, nelayan Indonesia justru sibuk menangkap segala macam biota laut dengan cantrang yang sekarang dilarang itu.
Mengapa nelayan tidak mau menangkap rajungan? Karena menurut nelayan, menangkap rajungan lebih banyak ruginya!
Rata-rata hasil tangkapan rajungan nelayan tidak bisa diterima eksportir. Mengapa? Ternyata karena nelayan tidak mengetahui metode mempertahankan kualitas daging rajungan sebagaimana spesifikasi industri makanan di Amerika Serikat.
Salahkah industri tidak mendidik nelayan? Tidak salah. Mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas utama negara. Industri hanya memanfaatkan hasilnya.
Berangkat dari pemikiran itulah, perlu sebuah program pemberdayaan yang mempertemukan sociopreneur di satu sisi dengan industrialpreneur di sisi lainnya.
Industri memberi kesempatan kepada kaum fakir dan miskin sebagai bagian dalam supply chain, baik suplai bahan baku industri maupun tenaga kerja.
Di sinilah peran penting lembaga amil zakat sebagai agen pemberdayaan. Lembaga zakat berada pada posisi tengah yang menginisiasi keterhubungan antara sociopreneur dengan industrialpreneur.
Lembaga zakat bekerja menjalankan perintah agama, untuk menyejahterakan kaum fakir dan miskin dengan dana zakat, infak, sedekah dan wakaf yang dikelolanya. Penyalurannya melalui program ekonomi produktif, bukan bagi-bagi uang yang hanya habis untuk makan.
*Admin www.disway.id, blogger