Agar Opera Wayang Orang Hokkian Lestari

WAYANG ORANG HOKKIAN. Salah satu pagelaran opera wayang Hokkian di Kelenteng Indah Murni, Jalan RA Rozak, Palembang, beberapa waktu lalu. MUHAMMAD HATTA-SUMATERA EKSPRES

Seni opera wayang Hokkian hanya bisa disaksikan pada waktu tertentu. Misalnya, ketika perayaan Capgomeh atau acara kelenteng. Pelestari kesenian wayang orang Tionghoa itu tak banyak jumlahnya. Salah seorang dari mereka adalah Hasan Solihin.

Dwi Apriani, Palembang

Seorang pria duduk santai sembari menyedot segelas jus tomat di RM Sri Melayu. Dari mata sipit dan bentuk wajahnya, bisa dikenali kalau pria itu keturunan Tionghoa. Di hadapan pria itu, tersusun rapi ratusan kaset yang cover-nya bergambar orang-orang dengan dandanan ala pemain wayang orang.

Dialah Hasan Solihin. Baru-baru ini dia terpilih kembali menjadi ketua Opera Wayang Hokkian. “Ini kaset-kaset yang berisi cerita tradisional dalam opera wayang orang,” ucapnya membuka obrolan dengan Sumatera Ekspres (Jawa Pos Group).

Pria yang akan disapa Ko Acit juga Ketua Yayasan Kesenian Tridharma Sam Khau Bun Geisah. Yayasan itu bergerak dalam pelestarian kesenian wayang opera Hokkian. Sesuai namanya, wayang orang Hokkian, maka yang memainkan wayang orang tersebut merupakan orang-orang yang bermarga Hokkian. Mereka pun pandai berbahasa Hokkian.

Kesenian ini sudah dimainkan di Palembang sejak 1948. “Pernah tutup karena kebijakan pemerintah ketika itu, tapi kami bisa bertahan hingga sekarang,” bebernya. Ada 40 orang yang tergabung dalam opera wayang orang asuhan pria kelahiran 1 Oktober 1968 itu.

Sebanyak 32 orang di antaranya adalah pemain atau pemeran. Delapan orang lainnya para pemain musik opera wayang orang tersebut. Mereka selalu menampilkan cerita yang berbeda tiap kali tampil. Tentu saja dengan lakon dan karakter pemain yang berbeda pula.

“Tema cerita dipilih sesuai dengan momen saat itu,” jelas Acit.

Biasanya, pihak yang mengundang mereka bisa memilih beberapa tema atau judul cerita untuk dipentaskan. Mulai dari kisah cinta, intrik dalam kerajaan, kisah asmara, pengkhianatan hingga proses peradilan.

“Yang paling menarik dan banyak ditonton ketika opera kami mementaskan kisah cinta,” tuturnya sembari tersenyum.

Acit dan kawan-kawan berusaha menggaet generasi muda, khususnya dari keturunan Tionghoa agar mencintai dan mau ikut melestarikan kebudayaan itu. Saat ini, ia menilai hanya kalangan orang Tionghoa yang sudah berumur saja yang menyukai pertunjukkan mereka. Dan meski mereka menggunakan 100 persen bahasa Hokkian, tapi banyak yang tidak mengerti bahasa itu.

“Kami sediakan digital teks di panggung agar mereka bisa baca dan mengerti jalan ceritanya,” imbuh Acit. Melalui digital teks itu mereka menampilkan sinopsis dari intisari cerita yang dipentaskan.

Acit berani mengklaim kalau opera mereka satu-satunya di Indonesia yang telah menerapkan sistem komputerisasi ini dalam tiap pementasan. Dalam pementasan, pihaknya juga mengutamakan setting latar panggung, musik, dan properti yang digunakan

Intinya, kenyamanan penonton diutamakan. Melalui opera wayang orang itu, pihaknya berusaha menampilkan kehidupan sebenarnya. “Jadi penonton akan bisa mengikuti alur dan memahami makna cerita yang kami sajikan,” jelas suami Susi Susanti itu.

Pemeran opera wayang orang tersebut kebanyakan dari kalangan pelajar dan pengusaha. Karena bagian dari hobi, semua pemain tak mengharapkan dibayar mahal. Meski begitu, honor tetap ada, dibagikan setiap habis pertunjukan. “Honornya tidak besar, itu hanya ucapan terima kasih kepada semua pemain,” tuturnya Acit.

Ayah dari empat orang anak itu mengakui, semua pemain di dalam wayang orang ini adalah pria. Tidak ada satu wanita pun. Meski begitu didalam peran diatas panggung, tetap ada pemeran wayang wanita.

“Kami jadikan pemain wayang seperti layaknya wanita. Mereka bergerak, akting, dan berdandan seperti seorang perempuan pada umumnya. Suaranya pun diset nantinya menyerupai wanita,” bebernya.

Kenapa harus pria yang memainkan peran tersebut? Acit menjelaskan, pementasan wayang yang diselenggarakan rata-rata berada di tempat ibadah. Kaum wanita kerap mendapat halangan karena menstruasi dan tidak boleh masuk rumah ibadah.

Selain itu, pria bisa lebih lama memainkan wayang dibanding wanita. “Wanita bisa hamil, jadi berhenti main wayang. Kalau pria kan bisa bertahan sampai tua,” kata dia.

Dalam seni wayang itu, menggunakan beberapa alat musik tradisional Tionghoa. Ada alat musik petik, tiup, dan gesek. “Semuanya dikolaborasi menjadi satu. Jadi antara musik dan gerakan dari pemerannya harus selaras,” tukasnya.

Biasanya, lanjut Acit, para pemain akan mulai sibuk dua hingga tiga jam sebelum pementasan. Hal itu karena semua pemain harus berdandan terlebih dahulu dan melengkapi perlengkapan baik busana, hingga aksesoris yang dipakai.

Sebelum tampil di atas pentas, para pemain lebih dulu harus sembahyang dan berdoa kepada dewa pelindung wayang yakni Thian Tho Guan Suei. Patung dewa itu selalu ditempatkan di belakang panggung. “Dewa inilah yang bertanggungjawab dan melindungi semua pemain wayang,” ucap pemilik nama mandarin, Tan Tiau Guan.

Ia menerangkan, setiap pementasan wayang menggunakan durasi waktu yang fleksibel, mulai dari 15 menit hingga 8 jam. “Melihat penonton, jika ramai dan masih antusias, kami bisa main lebih lama,” tuturnya.

Opera tersebut sering dipanggil main dibeberapa provinsi di Indonesia. Bukan hanya di Palembang atau sekitaran Sumsel. Melainkan juga hingga ke Jakarta, Medan, Jambi dan sebagainya.

“Di Indonesia jarang ada opera. Jadi kita sering dipanggil,” ungkapnya. Yayasan tersebut biasanya dipanggil di acara-acara berbau tradisi Tionghoa, seperti Sincia, Kue Bulan, Capgomeh, dan sebagainya.

Perlengkapan dan peralatan yang dipakai dalam pementasan, bukan berasal dari Indonesia. Seperti alat musik, busana, aksesoris dan lain-lain didatangkan langsung dari Tiongkok.

“Semua perlengkapan ini milik Yayasan. Jika dinilai semuanya bisa sebesar Rp5 miliar. Karena memang semua peralatan dan perlengkapan mahal. Pemainnya pun harus berhati-hati,” tutur dia.

Agar pementasan berjalan lancar, semua pemain akan latihan terlebih dahulu setiap hari Senin, Rabu dan Jumat. “Setiap bulan kita kasih meeting. Saya keras dalam hal memberikan kedisiplinan kepada mereka,” ungkap pria yang kesehariannya menjadi wiraswasta itu. (*/Sumatera Ekspres/JPG)