Sejarah berdarah itu rupanya menjadi catatan penting mahasiswa Kalbar. Kaum cerdik dan pandai menganalisa, Partai Komunis Indonesia (PKI) di negeri ini belum ‘mati’. Lantas seperti apa pandangan kaum intelektual terhadap isu bangkitnya PKI?
Deska Irnansyafara, Pontianak
eQuator.co.id – Sudah menjadi rahasia umum, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) adalah manuver politik untuk menjatuhkan kekuasaan rezim Presiden Soekarno. Founding father NKRI.
“Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia itu serangan terhadap jenderal-jenderal. Kalau di dalam politik, gerakan itu bertujuan menggulingkan Presiden Soekarno,” ucap Fedry Dwi Saputra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (Untan) dijumpai Rakyat Kalbar, Minggu (1/10).
Pria yang karib disapa Feday itu berpendapat, PKI berhasrat menjatuhkan Soekarno. Ketika tujuan menggulingkan Presiden pertama Indonesia itu tercapai, PKI ingin menerapkan sistem komunisme di Indonesia. Pada masa itu, PKI dianggap kesulitan mencari celah.
“Karena PKI sangat berseberangan dengan idealisme Pancasila Indonesia. Makanya mereka butuh suatu pengakuan,” katanya saat berdiskusi dengan dua sahabatnya di kawasan Digulis Untan.
Mahasiswa semester III itu mengapresiasi kebijakan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, menginstruksikan jajarannya untuk menayangkan kembali film G30S/PKI. Sehingga dapat ditonton masyarakat secara bersama-sama. “Perintah Panglima itu sangat bermanfaat untuk anak muda zaman sekarang. Karena anak muda zaman sekarang ini kelihatannya sudah kurang perhatian dengan sejarah kelam Indonesia,” tegas Feday.
Sejarah G30S/PKI merupakan isu nasional yang luas. Oleh sebab itu, setiap generasi bangsa mesti punya atensi terhadap sejarah tersebut. “Saya kutip pernyataan Presiden Soekarno soal Jasmerah. Jangan pernah sekali-sekali melupakan sejarah,” sebutnya.
Dengan penayangan film G30S/PKI, Feday berharap, anak muda lebih kritis dengan isu bangkitnya PKI. “Mereka bisa mengantisipasi gerakan-gerakan seperti ini di masa yang akan datang,” pesannya.
Kepada wartawan koran ini, Feday mengatakan, bibit-bibit PKI di Indonesia tidak hilang. Parameternya, pada zaman Presiden Soeharto, PKI tidak diberantas. “Mereka tetap ada dan beranak pinak. Cuma hak-hak mereka di bidang pendidikan, bidang politik dan mencari kerja saja yang dikurangkan,” ungkapnya.
Feday berpandangan, selama masa Presiden Soeharto memimpin, PKI memendam kebencian. “Di era reformasi sekarang ini, disaat mereka sudah tidak terlalu dikekang, boleh jadi mereka sudah mengumpulkan massa. Jadi bisa saja ada kemungkinan PKI akan bangkit kembali. Tentu hal ini harus segera diantisipasi,” tegasnya.
Mahasiswa kelahiran Kota Pontianak itu menilai, praktek-praktek PKI di masa lampau, masih terasa di masa kini. Salah satunya, sifat PKI yang antikritik. “Pada waktu itu, PKI dengan kejam memberantas orang-orang yang tidak mau mengikuti pendapatnya,” ujar Feday.
Sementara itu, Victoria Fridayana, mahasiswa Fakultas Hukum Untan lainnya berpandangan, PKI adalah partai yang berbeda jauh dengan ideologi Indonesia, yaitu Pancasila. “Kenapa komunis bertentangan sekali dengan negara kita? Karena mereka ingin mengganti ideologi Indonesia dengan ideologi komunis. Menggantinya secara kudeta. Yakni secara diam-diam dan paksa,” ulasnya.
Pada waktu itu, PKI menyasar masyarakat yang kurang paham dan rasa nasionalismenya kurang kuat. Oleh karena itu, 52 tahun silam beberapa oknum sipil dan militer terpengaruh untuk mendukung gerakan hitam itu.
Gadis yang akrab dipanggil Ria itu berpendapat, PKI tidak boleh lagi eksis di Indonesia. Karena bertentangan dengan norma-norma hukum bangsa. Seluruh warga negara Indonesia harus komitmen mempertahankan ideologi bangsa, yakni Pancasila.
“Itu penting, sebab masyarakat sekarang lebih banyak radikalisme-nya. Contohnya lebih mementingkan kepentingan individu dan kelompok. Padahal kita tahu, Indonesia memiliki keanekaragaman dan multikultarisme yang begitu luas,” ujar Ria.
Kalau ideologi Indonesia tidak bisa dipertahankan di masa sekarang, tentu akan berefek di masa depan. “Kita bakal kehilangan masa depan yang memiliki rasa nasionalisme, cinta tanar air dan rasa mempertahankan Pancasila,” tutupnya. (dsk)