Tuhan yang Sombong

eQuator – Secara pribadi, saya pernah melihat orang yang mengenakan jubah panjang, bersurban, jenggotan, dahinya hitam -seperti orang yang banyak sujud-, lewat di tengah kerumuman. Sepintas cukup mengagumkan. Namun sorot matanya justru tidak bersahabat.

Saya percaya, jika tujuan hidup ini sebenarnya bagaimana kita mampu menerjemahkan sifat-sifat Keilahian Tuhan ke dalam diri dan kehidupan. Orang-orang yang berhasil menuju kesempurnaan itu, biasa diistilahkan dengan sebutan insan kamil. Orang-orang yang berada di level ini, dipercayai akan sukses, selamat di dunia dan akhirat.

Namun begitu, Tuhan sendiri memberikan batasan dan aturan main untuk sifat-sifat-Nya ini. Dari sekian banyak sifat, terdapat satu sifat yang tidak boleh diemban oleh manusia, yakni sombong.

“Aku” tidak menuntut banyak dari Iblis. Bahkan “Aku” mempersilahkan Iblis untuk melakukan apapun sesuka hatinya di dalam Surga sana, “Aku” hanya meminta satu hal kepadanya, sujudlah kepada Adam. Tetapi dengan kesombongannya, Iblis harus menderita terusir dari Surga.

Manusia dilarang keras memiliki sifat yang satu ini. Rasulullah Muhammad juga mewanti-wanti, dengan mengatakan, bahwa Surga tidak akan menerima manusia manapun yang di hatinya masih terdapat sifat sombong, kendatipun itu hanya sebesar debu.

Bukan karena menafikan kesombongan. Tetapi karena memang tanggungjawab mengemban sifat ini sangatlah besar dan maha berat. Membutuhkan kekuatan dan kekuasaan “selevel” Tuhan untuk bisa menyandang sifat ini. Kita tahu sudah banyak manusia yang gagal mencobanya.

Dan lagi, sebenarnya Tuhan sendiri tidak mengizinkan manusia memakai selendangnya ini, karena Dia tidak rela jika ada makhluk yang menyamai-Nya. Sebagai Sang Khalik, Tuhan sudah bersumpah, bahwa Dia-lah Yang Maha Segalanya. Kesombongan hanya milik-Ku, “Aku” lah yang berhak sombong. “Kesombongan adalah selendang-Ku, barang siapa yang memakainya maka akan Aku hancurkan dia”.

Banyak orang hebat yang hancur karir politik dan kekuasaannya runtuh ketika dia sombong. Dan hampir tidak ada seorang pun pemegang kekuasaan yang selamat ketika tergoda dengan “keanggunan” sifat ini. Sebagian besar bahkan mati dengan begitu hinanya.

“Dan (juga) Qarun, Fir’aun dan Haman. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari kehancuran itu)”. (al-Ankabut: 39). “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong”. (QS an-Nahl: 23).

Kembali soal kata “menerjemahkan” yang umum diartikan sebagai upaya memindah, menyalin, atau mengalih-sesuai-kan, dari satu bentuk atau kondisi kepada kondisi atau bentuk baru yang lain. Dengan begitu, perubahan ini tentu tidak mengurangi bentuk asli maupun menambah bentuk copy-an.

Seorang pengagum yang tergila-gila kepada sang idola. Seluruh kehidupannya merupakan prototype dari sang idola -mulai dari gaya hidup, penampilan (style), tutur kata, model rambut, fashion, dan semuanya- sampai-sampai tidak tersisa lagi ruang bagi jati dirinya sendiri, yang pada gilirannya dia tidak kenal lagi siapa dirinya.

Toh sang pengagum bukanlah idola dan selamanya tidak akan pernah menjadi si idola. Begitu pun manusia sebagai hamba tidak akan pernah menjadi Tuhan, walaupun memiliki sifat-Nya.

“Demikianlah Allah mengunci mati setiap hati orang yang sombong lagi menyalahgunakan kekuasaan.” (al-Mukmin: 35). “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. (Luqman: 18).

Sekali lagi, kejadian-kejadian alam, seperti meletusnya Krakatau di Jawa, gempa bumi yang rentan terjadi di Jepang, berbagai macam badai yang kerap menghantam Amerika Serikat, angin topan, tornado, tsunami yang menyapu Banda Aceh dan Sumatera, dilanjutkan lagi dengan gempa yang menggoyang  Yogyakarta -semua itu tejadi hanya karena Tuhan ingin mengingatkan kembali, kalau manusia itu hanyalah makhluk lemah tidak berdaya, yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa-Nya.

Karena manusia tidak lebih dari jasad yang lahir dari setitik air mani yang hina, hidup dengan selalu membawa kotoran di dalam perutnya, dan akan berakhir menjadi rata dengan pijakan kaki (tanah).

Sampai akhirnya, kita harus sadar bahwa hidup ini sangat bergantung kepada suatu kekuatan maha hebat, peletak segala sesuatu, pemilik segalanya, penggenggam segala kekuasaan, maha dahsyat yang memiliki segala sifat yaitu Tuhan, Dia-lah Allah Subhanahuwata’ala.

Tetapi Allah dengan segala kemurahan-Nya memberikan kiat kepada kita untuk meruntuhkan sifat keangkuhan ini dengan “Bersujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada-Ku”.

Karena sujud adalah lambang perendahan diri kita yang serendah-rendahnya, agar kita dekat dengan Allah. Semakin seseorang merendahkan dirinya, maka semakin dekat pula ia dengan Yang Maha Tinggi.

Para sufi tidak menggambarkan Surga sebagai tempat yang dialiri sungai susu dan khamar, penuh dengan buah-buahan yang ranum serta para bidadari nan rupawan. Mereka menganggap hal itu hanya sebagai perlambangan saja.

Menurut para sufi, hal yang paling indah dari Surga adalah pertemuannya dengan Allah Swt. Persatuan dengan Tuhan yang penuh kasih, yang hal itu takkan bisa dicapai bila masih ada satu titik keangkuhan, walau hanya sebesar biji sawi di dalam hati. Wallahu ‘alambisshawab. (Fikri Akbar).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.