eQuator – Anjloknya harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang mendera saat ini tak membuat para petani sawit Plasma Rimba Belian, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau yang merupakan mitra PTPN XIII meninggalkan sumber kehidupan yang telah mereka geluti bertahun-tahun.
Petani ingin supaya kondisi tersebut cepat pulih seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Sebab ada ribuan kepala keluarga yang menggantungkan hidup mereka di lahan ribuan hektar itu.
Seperti yang dialami Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Sawit Plasma, Rustandi yang anggotanya memiliki lahan seluas 1.546 hektar. Lahan seluas itu dalam sehari bisa memproduksi TBS 105 ton. Rata-rata per hari bisa mencapai 80 ton.
Petani plasma maupun nonplasma mengharapkan supaya gaji mereka dapat dibayar secara tepat waktu. Petani nonplasma juga mengharapkan penambahan kuota produksi jika pabrik masih memungkinkan.
Selain mempunyai kebun plasma, Rustandi juga memiliki kebun sawit nonplasma yang luasnya melebihi kebun plasma. Anjloknya harga TBS sawit dinilai mengurangi penghasilkan para petani. Namun, bagi Harianto Revin, masih ada berkah bagi dirinya beserta keluarga. Dalam satu bulan, uang hasil penjualan kelapa sawit yang diterimanya mencapai hingga puluhan juta rupiah.
Dengan penghasilan tersebut, bapak dua anak yang tinggal di Dusun Bungkong, Desa Pandu Raya ini bisa menguliahkan kedua anaknya di dua univesitas ternama di Kota Pontianak.
Ia sendiri pernah menjadi pegawai di PTPN 1999 silam. Karena melihat hasil dari perkebunan cukup menjanjikan, maka ia pun beralih menjadi petani sawit.
Awalnya, kata Harianto, kebun yang ia garap dan milik sendiri hanya tiga kapling. Karena kegigihan serta didukung oleh istrinya dalam mengatur pengeluaran uang buat keluarga, lambat laun lahan itu terus bertambah menjadi 19 hektar.
Setiap bulan, uang hasil penjualan kelapa sawit tiga kapling itu selalu disisihkan. Baik untuk keperluan hidup maupun menyekolahkan anak-anak mereka.
Ia mempunyai kiat tersendiri hingga sukses seperti sekarang ini. Yakni selalu memberi kepercayaan penuh pada sang istri dalam mengatur keuangan.
Pola kemitraan yang dibangun antara petani dan perusahaan sangat membantu sekali. Perhatian perusahaan terhadap petani yang menjadi mitra sangatlah baik.
Ia juga merasakan, ada peningkatan perekonomian yang cukup memadai dibanding sebagai petani penoreh karet zaman dulu yang pernah ia lakoni.
Harga karet tidak menentu. Tiap hari belum tentu dapat hasil yang banyak. Tapi begitu berkebun kelapa sawit sangat jauh berbeda. Hasilnya puluhan kali lipat.
Kalaupun ada petani sawit yang menyatakan hidupnya susah, itu tidak selalu benar. Harianto menyadari bahwa kondisi harga TBS yang naik turun membuat perusahaan kewalahan menampung buah kelapa sawit mereka.
Untuk diketahui, memang ada perbedaan antara petani plasma dan petani nonplasma dalam penentuan harga TBS. Untuk harga TBS di Plasma, PTPN XIII merujuk pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 14/Permentan /OT.140/2/2013, tanggal 5 Februari 2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
Peraturan Gubernur Kalimantan Barat Nomor 134 Tahun 2006, tanggal 12 April 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Indek K dan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun Kalimantan Barat.
Mengenai nonplasma atau pihak ke-III adalah petani yang menanam sendiri atau membangun sendiri kebun kelapa sawitnya dan tidak melibatkan serta tidak ada ikatan dengan PTPN XIII.
Namun, untuk petani nonplasma atau pihak ke-III ini, PTPN XIII masih bisa menerima TBS mereka. Sejauh masih ada kapasitas oleh pabrik yang tersedia.
Dasar pembelian TBS petani nonplasma merupakan perjanjian kerja sama (PK) yang didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, termasuk mekanisme jual belinya.
Mengenai mekanisme pembelian TBS, yang dilakukan oleh PTPN XIII dari petani nonplasma adalah sama dengan yang dilakukan oleh PKS swasta yang ada di sekitar PKS milik PTPN XIII.
Apalagi, kelompok petani nonplasma adalah pengusaha yang memiliki luasan tanaman kelapa sawit di atas 10 hektar, bahkan ratusan hektar.
Reporter: Achmad Mundzirin
Redaktur: Andry Soe