Pemerintah Kota Salatiga Berbagi Tips Merawat Toleransi kepada Pemerintah Kota Pontianak dan Kegiatan Studi Banding

eQuator.co.id-Pontianak. Perbedaan kultural adalah hal yang lumrah dan konsekuensi dari masyarakat yang beragam seperti kota Pontianak. Perbedaan tersebut harus dikelola dengan cara-cara yang tepat atas Kerjasama pemerintah dan masyarakat kota Pontianak.

Seperti yang disampaikan Walikota Pontianak melalui Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra, Yaya Maulidia, dalam kegiatan studi banding Virtual antara pemerintah kota Pontianak dengan Kota Salatiga (15/9)

Pada kegiatan yang dilakukan dengan cara hybrid dengan menggabungkan teknis daring dan luring ini, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Ketua Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia (FPBI) dan kepala kantor Perwakilan Kementerian Agama kota Salatiga membagikan pengalaman kerja yang sudah dilakukan dan berkontribusi untuk membangun kota Salatiga yang lebih toleran.

H. Taufiq Rahman, kepala kantor perwakilan kementerian agama Salatiga menyadari keberagaman masyarakat Salatiga dan masih kentalnya unsur kultural.

“Kota Salatiga ditakdirkan oleh Tuhan sebagai Kota yang multiklutural dan kota kecil yang beragam,” ujarnya

Sedangkan ciri Horizontal kata dia, yakni adanya keberagaman suku, agama, dan tradisi, sedangkan ciri veritkal adalah adanya perbedaan ekonomi dan pandangan politik.

“Sehingga memberikan ciri khusus di Kota Salatiga. Ciri itulah yang mereka Kelola dalam program-program kerja Kemenag kota Salatiga,” terangnya

Kota Salatiga memiliki rumah moderasi, yaitu rumah bersama yang menjadi tempat berkumpul dan penyelesaian jika terjadi sebuah konflik antaragama. Kebijakan Kementrian Agama menguatkan peran agama dalam menciptakan perdamaian.

Pada umumnya, Kota Salatiga yang masih kental dengan unsur kebudayaan disebut memerlukan peran agama dalam memberikan keseimbangan namun tidak bertubrukan dengan nilai-nilai budaya.

Tak hanya bicara perdamaian, di Salatiga, agama juga diupayakan dalam peningkatan ekonomi dan melaksanakan penyuluhan agama dengan konteks budaya lokal.

“Sebelum melakukan penyuluhan, biasanya penyuluh harus mengenali kulutur budaya lokal, dan setelah itu baru memberikan penyuluhan sesuai dengan kebudayaan popular di suatu tempat, seperti penggunaan pakaian ataupun yang lainnya,” terang Taufiq.

Dalam perjalanannya merawat toleransi, pemerintah Kota Salatiga bukan tidak pernah mendapatkan permasalahan.

Zainal Arifin, Mahasiswa Studi Agama-Agama IAIN Pontianak yang ikut dalam kegiatan ini menyampaikan rasa penasarannya bagaimana kota Salatiga menghadapi oknum-oknum yang membawa isu sara mengotak-atik masyarakat di momen-momen politik seperti Pilpres dan pilkada.

Menurut Taufiq Rahman, Noor Rofiq dan Amin Siahaan, kolaborasi antara FKUB, FPBI dan unsur masyarakat lainnya terus diperkuat.

“Jika terjadi permasalah isu SARA yang berkenaan dengan agama, maka kami akan berkoordinasi dengan FKUB, jika isu suku maka kami akan berkoordinasi dengan Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia,” kata Taufiq.

Noor Rofiq selaku Ketua FKUB Kota Salatiga mengatakan setiap tahunnya FKUB Salatiga belajar dan berkunjung ke setiap ke kota-kota yang toleran. Hal ini menyebabkan Salatiga mendapatkan predikat kota toleran versi Setara Institut setiap tahunnya.

Juga penghargaan kepada Kota Salatiga sebagai kota dengan Kurikulum Belajar Kebhinnekaan terbaik pada tahun 2017 yang diberikan oleh Kementrian Pendidikan Nasional.

“FKUB Salatiga punya program untuk menciptakan kerukunan dimulai dari kecamatan, aktif dalam kegiatan di ruang lingkup provinsi Jawa Tengah dan ikut serta dalam kegiatan akhir tahun untuk kegiatan-kegiatan lintas iman. FKUB juga aktif melakukan sosialisasi kebhinnekaan dan lintas iman di masyarakat, bahkan kegiatan upacara bhakti sosial, kesehatan, dan tampil bersama-sama Forum Persatuan Bangsa Indonesia,” tambah Noor Rofiq. Dalam perjalanannya, kerja FKUB sepenuhnya mendapatkan dukungan dari Walikota.

Tidak hanya mengurusi kerukunan agama, sejalan dengan itu, Amin Siahaan yang merupakan Ketua Forum Persaudaraan Bangsa Indonesia (FPBI) Kota Salatiga juga membagikan peran mereka dalam melakukan mediasi antara kelompok yang berbeda dalam bidang etnis. Pendekatan budaya dan kultural dalam membuka ruang-ruang perjumpaan kelompok yang berbeda pun kerap dilakukan seperti Temu Akrab etnis yang dilakukan setiap 2 tahun sekali, Gebyar Budaya Nusantara, seni budaya dan khas suatu etnis, juga berkolaborasi dan memberi dukungan kepada Mahasiswa Baru terhah Kirap Budaya, sehingga mewarnai lintas etnis di Salatiga.

Firdaus Zarin, Wakil Ketua DPRD kota Pontianak mengapresiasi kerja Komitmen pemerintah kota Salatiga untuk menjaga toleransi yang begitu sangat besar. Hal ini ditunjukkan terkait kebijakan alokasi anggaran untuk FKUB, Kemenag dan FPBI Kota Salatiga cukup besar.

Disebutkan bahwa Kota Salatiga setiap RW mendapatkan anggaran 50 juta untuk melakukan program kebinekaan, sehingga menciptakan kondusifitas yang tinggi di Kota Salatiga.

Pemerintah juga sangat antusias dalam mewujudkan 3W, Wasis, Waras, dan Warep. Yang artinya adalah semakin tinggi pendidikannya maka akan semakin toleran, semakin tinggi kesejaterhaannya maka menjadikan masyarakatnya menjaga kesejahteraannya. Juga program lainnya mendapatkan perhatian dari Kemenag dan Walikota Salatiga.
Sri Wartati, ketua pengurus harian Suar Asa Khatulistiwa yang menginisiasi kegiatan ini bersama Jaringan Pontianak Bhineka mengatakan harapannya agar kota Pontianak bisa mengikuti jejak kota Salatiga, memperkuat institusi pemerintah kota Pontianak membuat kebijakan dan praktek yang mempromosikan keberagaman dan kebhinekaan, sesuai dengan tujuan diadakannya kegiatan ini. (Ova) rilis.