Harian DI’s Way

Oleh: Joko Intarto

Selamat kepada Abah Dahlan Iskan atas penerbitan Harian DI’s Way yang bukan koran hari ini. Saya sepakat. Harian DI’s Way memang bukan koran. Melihat ukurannya yang mungil.

Kalau boleh jujur, saya sebernarnya deg-deg-an terus sejak semalam. Malam ini Harian DI’s Way akan launching secara virtual. Tetapi saya mendapat kabar percetakannya di Oso Wilangun. Gresik masih belum selesai.

Mesin cetak memang sudah berdiri. Tetapi tanpa dinding. Tiangnya pun masih darurat. Menggunakan ridging besi seperti tenda konser. Dengan percetakan darurat itulah DI’s Way menyapa pembaca Surabaya mulai pagi ini.

Tadi pagi saya memantau beberapa status teman-teman saya di Surabaya. Ada bebera[a orang yang mengabarkan sudah menerima kiriman Harian Di’s Way. Walau agak terlambat.

Keterlambatan kirim pada hari pertama adalah hal biasa. Loper perlu mencari alamat dengan benar. Mencari alamat ini harus menunggu matahari terbit. Agar bisa membaca nomor rumah pelanggan dengan jelas.

Ada juga yang merasa surprise melihat fisik Harian DI’s Way yang tidak lazim. Tidak seperti koran pada umumnya.

Lebih cocok disebut apa? Tabloid? Bukan. Ukuran tabloid lebih besar. Saya lebih suka menyebutnya sebagai majalah yang terbit setiap hari.

Harian DI’s Way ini mengingatkan saya pada penerbitan ‘Kliping’ pada pertengahan tahun 1980 yang lalu. Waktu itu saya masih mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.

Saat mahasiswa saya sudah punya bisnis: Agen majalah Tempo. Kemudian meningkat menjadi agen tabloid Monitor. Lalu nambah lagi: Sub agen Jawa Pos, Jakarta Post dan Kliping.

Kliping adalah majalah yang terbit setiap hari. Topiknya saja yang berbeda-beda setiap harinya. Misalnya, Senin untuk masalah hukum, Selasa masalah ekonomi, Rabu masalah pendidikan dan seterusnya.

Kliping hanya menerbitkan kembali artikel para pakar yang terbit di 10 koran paling berpengaruh di Indonesia. Tulisan itu diketik ulang kemudian ditambah gambar ilustrasi.

Tentu Harian DI’s Way tidak sama dengan Kliping. Harian DI’s Way menampilkan reportase berbagai peristiwa aktual. Rubriknya juga beragam, Mirip koran pada umumnya. Ukurannya saja yang kecil. Selebar majalah.

Edisi perdana terbit sebal 48 halaman menggunakan kertas koran sebagai media cetaknya. Kertas ini biasa disebut CD paper. Kualitasnya di atas kertas buram di bawah HVS.

Sejarah penerbitan koran dimulai dengan lembaran kertas berukuran kecil. Pada zaman Belanda. Ukuran kertasnya A4. Layoutnya disusun dengan huruf timah terbalik, satu huruf demi satu huruf.

Saya masih menyaksikan sekali teknik menyusun huruf itu di koran Harian Indonesia, satu-satunya koran berbahasa Mandarin yang terbit pada masa Orde Baru. Koran ini diterbitkan pemerintah.

Mesin cetak yang digunakan zaman itu dikenal dengan nama mesin sheet atau stencyl. Kertas dicetak per muka. Tidak bisa langsung cetak bolak-balik. Bayangkanlah mesin fotocopy. Kurang lebih seperti itu.

Mesin sheet ini kecepatan produksinya rendah. Satu jam hanya bisa mencetak 1.000 lembar. Kalau oplahnya 10.000 eksemplar butuh waktu cetak 10 jam. Perlu banyak mesih sheet untuk mencetak banyak halaman koran zaman itu.

Teknologi berkembang. Ditemukan mesin cetak yang dikenal dengan istilah webb. Kertasnya tidak potongan, melainkan gulungan. Mesin bisa mencetak bolak-balik, berlembar-lembar sekal cetak.

Mesin webb memiliki kecepatan produksi sangat tinggi. Saat memimpin Indo Pos dulu, mesin yang saya gunakan memiliki kecepatan 60.000 eksemplar per jam. Sekali cetak 24 halaman full color bolak-balil. Perlu 2 line mesin untuk mencetak 48 halaman Indo Pos.

Mesinnya webb itu berukuran raksasa: Panjang mesinnya 125 meter. Bayangkan saja panjang lapangan sepak bola. Kertas gulungan yang dicetak kalau diurai akan menjadi lembaran sepanjang 18 Km.

Lebar kertas koran pun beberapa kali mengalami perubahan. Pada tahun 1991, saat saya menjadi wartawan Jawa Pos, ukuran kertas koran normal adalah A0 atau broadsheet. Orang-orang di penerbitan koran menyebutnya: kertas 9 kolom. Karena beritanya ditulis dalam 9 kolom.

Krisis moneter pada tahun 1998 membuat harga kertas naik tinggi. Penerbit menyiasatinya dengan mempersempit ukuran kertas dari 9 kolom menjadi 7 kolom. Ukuran itu menjadi standar normal sampai sekarang.

Nah, DI’s Way memperkenalkan ukuran kertas baru: Ukuran A4. Dengan tampilan ini, DI’s Way benar-benar bukan koran. DI’s Way adalah koran new normal.(jto)

Penulis adalah redaktur tamu Harian DI’s Way