Oleh: Joko Intarto
DI’s Way sekarang punya pemimpin redaksi. Biasa disebut pemred. Ia sahabat saya. Dulu sama-sama menjadi wartawan di Jawa Pos.
Saya tidak tahu apakah ia sekarang masih tercatat sebagai wartawan Jawa Pos atau sudah pensiun atau dipensiun manajemen baru.
Sudah 10 tahun saya tidak aktif di harian itu. Sudah banyak teman-teman saya yang tidak di sana lagi. Apalagi sejak manajemennya beralih ke Tempo.
Saat menelepon saya siang tadi, ia hanya memperkenalkan diri sebagai ”penjaga gawang”. Tugasnya pun sederhana: Memelototi karya redaksi.
Saya rasa tugas itu cocok untuknya. Apalagi kacamatanya saya lihat kian tebal. Tentu lebih sangar kalau melotot.
T. Sebut saja begitu, menelepon untuk tiga hal.
Pertama minta izin sebagai pemred DI’s Way. Permintaan ini tidak masuk akal. Sebab saya bukan pemilik DI’s Way. Saya hanya pencetus gagasan menerbitkan website DI’s Way agar Pak Dahlan Iskan mau menulis lagi. Konsekuensinya: Saya harus menjadi redakturnya selama setahun pertama.
Kedua, T minta kesediaan saya untuk menulis secara tetap. Minimal seminggu sekali. Di DI’s Way itu. Untuk permintaan ini, saya menyanggupi. Sebab menulis adalah hobi saya satu-satunya.
Ketiga, T minta restu untuk penerbitan harian DI’s Way dalam format cetak sebagai kelanjutan website DI’s Way yang saya gagas dua tahun lalu. Kali ini saya pura-pura terkejut. ”Serius DI’s Way akan terbit cetak setiap hari?” tanya saya.
T pun dengan riang bercerita tentang rencana penerbitan DI’s Way yang sering disebut Pak Dahlan ‘bukan koran’ itu. Bukan koran, lalu apa? ”Harian. Tapi bukan koran,” kata T.
Sebenarnya saya sudah agak lama mendengar rencana Pak Dahlan menerbitkan media cetak (lagi). Tapi baru sepekan yang lalu saya tahu kalau namanya DI’s Way.
Sempat saya bayangkan DI’s Way yang edisi Surabaya ini sama dengan DI’s Way edisi Kaltim dengan nama DI’s Way Kaltim. Ternyata beda. DI’s Way Kaltim adalah koran. DI’s Way Surabaya bukan koran. Bukan koran tapi terbit harian. Terbit harian tapi bukan koran.
Saya sempat berdikasi beberapa jam pekan lalu dengan anak-anak milenial yang berada di belakang layar. Mereka menangani aspek pemasarannya. Pak Dahlan ikut rapat. Hanya membuka saja. Setelah itu beliau pergi. Seperti biasanya.
Melalui Zoom Meeting saya tahu: Mereka benar-benar anak muda. Remaja dewasa. Usianya masih belasan. Sebagian masih belum genap 25 tahun.
Melihat wajah-wajah mereka, saya menebak: Tidak ada satu pun yang pernah menjadi pedagang koran. Di tangan merekalah DI’s Way akan bertaruh keberuntungan.
Apakah saya pesimistis dengan kemampuan mereka? Sama sekali tidak. Saya justru punya keyakinan bahwa mereka bisa menjual DI’s Way dengan cara baru. Dengan strategi baru. Dengan konsep baru.
Sekarang saya mulai sedikit mengerti, mengapa Pak Dahlan selalu mengatakan DI’s Way bukan koran. DI’s Way memang produk media cetak jenis baru. Produknya akan diperkenalkan kepada publik pada 4 Juli mendatang. Lewat acara peluncuran yang bisa disaksikan melalui Zoom Webinar untuk 1.000 orang.
Jagaters kebagian tugas menyediakan link webinarnya. Itu saja. (jto)