Wartawan selalu kesulitan menganalisis apa yang terjadi di pusat kekuasaan Tiongkok dan Rusia.
Itu dulu. Ketika sistem komunisme masih penuh rahasia.
Sekarang wartawan mengalami kesulitan yang serupa: apa yang sebenarnya terjadi di pusat kekuasaan di Saudi Arabia.
Hanya saja di zaman sosial media ini rahasia tahta tidak sepenuhnya bisa disembunyikan.
Tiba-tiba saja tumben. Sabtu lalu beredar luas hastag “Kita adalah Salman. Kita adalah Mohammed”.
Hastag itu beredar terutama di ponsel anak muda. Di seluruh Saudi Arabia. Menyebar dengan cepatnya.
Oh ternyata lagi ada Game of Thrones lagi di sana.
Jumat subuh lalu adik satu-satunya Raja Salman yang masih hidup ditangkap. Namanya: Pangeran Ahmed bin Abdulaziz al-Saud.
Umurnya: 74 tahun.
Tuduhan padanya: akan melakukan kudeta.
Ditangkap juga sepupu Raja Salman: Pangeran Mohammed bin Nayef. Satu lagi yang juga ditangkap: Pangeran Nawaf bin Nayef, yang masih berumur 32 tahun.
Orang luar tidak ada yang tahu latar belakang sebenarnya: adakah rencana kudeta itu benar ada. Atau, itu tuduhan yang dibuat-buat. Atau sengaja diberi peluang untuk kudeta lalu ditangkap.
Bahwa sempat ada berita ‘Raja Salman meninggal dunia’ kelihatannya seperti ada kudeta beneran. Berita meninggalnya Raja Salman itu sempat beredar ke seluruh dunia. Dengan catatan: belum dipastikan kebenarannya.
Bisa saja malam itu memang ada ‘gerakan’ untuk membunuh Raja Salman yang sudah berusia 84 tahun –dan sakit-sakitan itu.
Toh pembunuhan terhadap raja bukan barang baru di Saudi.
Hanya saja upaya pembunuhan pada Raja Salman itu bisa digagalkan. Seberapa dramatik jalannya kudeta itu masih menjadi rahasia kerajaan.
Kita masih harus menunggu perkembangan berikutnya: apakah ada yang dihukum mati dalam waktu dekat.
Kalau tidak ada berarti kudeta itu baru pada tingkat rencana. Lalu bocor.
Atau rencana pun sebenarnya tidak ada. Hanya saja Putra Mahkota yang sekarang, Pangeran Mohammed bin Salman (MbS) tidak ingin ada kerikil yang akan meloncat ke dalam sepatutnya.
Pangeran Ahmed bin Abdul Aziz al-Saud adalah kerikil besar. Di antara keluarga kerajaan Pangeran Ahmed-lah yang paling senior.
Banyak keluarga kerajaan yang berpendapat harusnya Pangeran Ahmed yang jadi putra mahkota. Toh MbS masih sangat muda –sekarang 36 tahun.
Tapi Raja Salman tentu ingin anaknyalah yang naik tahta –sepeninggalnya nanti. Tiga tahun lalu ketika MbS masih berumur 33 tahun Raja Salman mengangkat anaknya itu.
Berarti sekaligus mencabut gelar Putra Mahkota yang pernah diberikan kepada Pangeran Ahmed.
Saat itu Pangeran Ahmed memang tidak setuju atas pengangkatan MbS. Namun ia kalah suara: 2 lawan 1. Memang Dewan Kesetiaan
Kerajaan hanya beranggotakan 3 orang. Dewan itulah yang dimintai pertimbangan untuk urusan terpenting kerajaan. Tiga orang itu adalah anggota keluarga kerajaan yang paling senior.
Sejak itu Pangeran Ahmed lebih banyak tinggal di luar negeri. Terutama di London.
Selama ditinggal pergi itu banyak sekali kejadian besar di kerajaan: penangkapan besar-besaran atas kerabat kerajaan. Mereka ditahan di Hotel Ritz Carlton di Riyadh, ibu kota Saudi Arabia.
Ikut ditangkap pula beberapa pengusaha besar yang terkait dengan mereka.
Alasan penangkapan itu: mereka melakukan korupsi.
Mereka baru dilepaskan setelah membayar uang pengembalian ke kerajaan.
Kejadian besar lain: Saudi melakukan serangan militer ke Yaman. Lalu menjadi perang yang berkepanjangan. Sampai sekarang.
Di bidang ekonomi juga terjadi serangkaian perubahan besar: membangun kota wisata masa depan, menetapkan strategi 2030 dan membawa perusahaan minyak terbesar di dunia, Aramco, ke lantai bursa.
Di bidang sosial lebih banyak lagi perubahan: wanita boleh mengemudi, boleh ke luar negeri tanpa muhrim, boleh urus paspor dan visa sendiri, boleh nonton sepakbola dan konser, mengundang show penyanyi dan grup band tingkat dunia.
Bulan lalu tokoh agama Yahudi dari Israel sudah bisa datang ke Riyadh. Untuk menghadiri dialog antar iman di Saudi Arabia.
Banyak pula dilakukan penangkapan terhadap ulama-ulama besar.
Dan yang hebohnya luar biasa adalah pembunuhan brutal atas wartawan Arab Saudi Jamal Khashoggi di Istanbul itu.
Semua itu terjadi setelah MbS menjadi Putra Mahkota. Muda, modern, radikal, dan penuh rencana besar. Termasuk rencana mengubah ekonomi Saudi agar tidak lagi tergantung pada minyak bumi.
Pangeran Ahmed sebenarnya lebih banyak ‘sunyi’ sejak MbS menjadi Putra Mahkota. Tapi ia pernah sekali salah langkah. Yakni ketika ada demo anti kerajaan Saudi di London.
Pangeran Ahmed diberitakan pernah mengatakan semua peristiwa besar tersebut bukan kesalahan sistem kerajaan. “Itu tanggungjawab dua orang saja,” katanya.
Yang dimaksud adalah Raja Salman yang terlalu banyak memberi wewenang kepada Putra Mahkota. Dan satunya lagi adalah MbS itu sendiri.
Kalimat itu telah menjadikan Pangeran Ahmed sebagai ‘simbol’ oposisi atas kekuasaan di Saudi sekarang.
Tapi untuk menggulingkan MbS memang tidak mungkin. Selama Raja Salman masih ada. Rupanya Raja Salman harus disingkirkan dulu. Baru MbS bisa kehilangan pijakan.
Ternyata MbS-lah yang memenangkan pertarungan tingkat tahta itu.
Kini tidak ada lagi satu pun kerikil di sepatu MbS. Virus Corona yang mulai menyerang Saudi pun tidak ia hitung sebagai kerikil. (Dahlan Iskan)