Inilah angka-angka yang bisa mengurangi stress: enam hari terakhir jumlah penderita baru virus corona terus menurun.
1 Februari 10.000.
2 Februari 11.200.
3 Februari 13.500.
4 Februari 16.600.
5 Februari 19.700.
6 Februari 2.500.
7 Februari 2.800.
8 Februari 2.100.
9 Februari 2.600.
10 Februari 2.100.
11 Februari 2.022.
Kelihatannya puncak perkembangan virus sudah tercapai di tanggal 5 Februari. Sejak 6 Februari angkanya menurun.
Bahkan kalau Provinsi Hubei dikeluarkan dari statistik itu pertambahan penderita baru menurun 57 persen.
Misalnya: tanggal 3 Februari ada 890 penderita baru.
Tanggal 10 Februari ‘hanya’ 381 orang.
Di Provinsi Hubei pun, kalau kota Wuhan dikeluarkan dari statistik juga memberi harapan besar.
Tanggal 3 Feb penderita baru masih 1.121 orang.
Tanggal 10 Feb ‘tunggal’ 545 orang.
Maka bisa disimpulkan penderita baru di seluruh Tiongkok turun begitu drastis. Angka di Propinsi Hubei sendiri juga menurun tajam.
Demikian juga di Kota Wuhan –meski masih yang paling parah.
Di luar Tiongkok jumlah penderita yang meninggal juga tetap dua orang: 1 di Hongkong, 1 di Filipina. Dua orang itu pun sudah menderita sejak masih di Wuhan.
Optimisme itu kian tinggi kalau dilihat angka-angka yang sembuh. Yang juga terus meningkat tinggi. Sudah 10 hari terakhir angka yang sembuh selalu jauh lebih besar dari yang meninggal.
Isolasi Kota Wuhan membawa pengaruh besar. Dan besarnya korban di Wuhan benar-benar karena telatnya penanganan. Akibat dokter yang menemukan gejala awal wabah ini justru diperiksa polisi. Tengah malam pula. Dianggap sebagai sumber keresahan. (DI’s Way:Dukungan Hastag).
Dua pejabat tinggi partai di Propinsi Hubei pun sudah dicopot. Dua hari lalu.
Sebanyak 5.000 dokter baru, 15.000 perawat diperbantukan ke Wuhan. Peralatan dikerahkan total. Hampir semua orang Wuhan diperiksa.
Petugas lebih proaktif ke penduduk. Melakukan pemeriksaan ke rumah-rumah.
Kalau Wuhan teratasi hampir berarti semua persoalan seperti selesai.
“Kalau minggu lalu ketakutan saya pada level 5, hari ini di level 3,” ujar teman Beijing saya tadi malam.
Memang menyusul problem pasokan. Harga bahan makanan naik 30 persen. Pun di Singapura.
Apalagi masker.
Impor masker sampai dilakukan dari seluruh dunia.
Juga dari Indonesia. Seorang teman saya yang menangani kargo internasional mengatakan itu. Tiap hari sekitar 2 sampai 3 ton masker made in Indonesia dikirim ke Tiongkok. Lewat bandara Bangkok. Yang masih memiliki jalur penerbangan cargo ke sana.
Pun sampai harga masker di dalam negeri naik drastis.
Meski ada trend membaik, kewaspadaan terhadap virus tetap tinggi.
Provinsi Guangdong –yang ibukotanya Guangzhou– mengesankan Perda baru: situasi sekarang ini dianggap sudah dalam keadaan darurat perang. Yakni perang melawan virus.
Menurut Perda baru itu pemerintah berhak mengambil alih hak milik swasta. Rumah sakit swasta, apartemen, pabrik-pabrik bisa diambil sementara. Untuk keperluan penanganan korban virus.
Pemerintah bisa memaksa pabrik untuk memproduksi apa pun yang terkait virus. Misalnya memproduksi masker, alat suntik, infus dan seterusnya.
Sampai kemarin teman-teman saya yang di Beijing masih belum berani berkantor. Masih bekerja di rumah.
Sebenarnya sejak Senin kemarin kantor harusnya sudah buka. Liburan tahun baru sudah berakhir. Tapi pemerintah menambah libur itu satu minggu lagi.
Bagi yang buka kantor boleh. Tapi harus melapor berapa yang masuk kerja hari itu. Berapa lama berkantor. Berikut identitas lengkapnya.
Sejak Cap Go Meh lalu Beijing sudah tidak salju lagi. Tapi udara masih sangat dingin. Tadi malam masih 3 derajat celsius.
Kereta cepat masih beroperasi tapi jumlahnya dikurangi. Kereta jurusan Beijing-Guangzhou misalnya, masih tidak berhenti di Kota Wuhan. Yang letaknya persis di pertengahan.
Teman saya di Kota Nanchang –tetangga propinsi Hubei– sudah ada yang masuk kantor. Dengan memakai masker. Dan menjaga jarak dengan karyawan lain: harus lebih 1 meter.
Sampai di sini kita masih belum melihat peranan IT, AI, face regocnition yang nyata dalam ikut mengatasi wabah ini.
Sebenarnya agak ironi. Gegap gempita Tiongkok di bidang itu ternyata belum bisa banyak bicara di saat sangat diperlukan.
Wabah ini telah sekali lagi menegur keteledoran manusia. Tapi wabah tetaplah wabah. Bisa terjadi di mana saja. Bisa pula berupa gempa.
Karena itu WHO memutuskan untuk secara resmi memberi nama baru virus Wuhan ini: Covid-19.
Agar jangan sampai nama Wuhan menjadi korban. Demikian juga etnis tertentu.
Wabah, gempa, tsunami bisa di sekitar kita.
Wabah bukanlah Brompton, HD, oplas dan sebangsanya. Yang dengan cepat bisa hilang menguap seketika.(Dahlan Iskan